Buah Pikir, April, 2021

Cerita tentang Ibu dalam Tradisi Kebangsaan: Pusat atau Otoritas Moral?

Oleh: Sg Wibowo,

Cleobis dan Bito adalah dua pemuda keturunan dari ras Argos. Kekayaan kedua pemuda itu cukup untuk memenuhi apapun yang mereka inginkan. Mereka juga diberkahi dengan kekuatan tubuh yang luar biasa sehingga mereka sanggup memenangkan begitu banyak penghargaan dalam berbagai pertandingan.

Suatu hari, ada sebuah perayaan festival megah untuk menghormati Dewi Juno di Argos, dan mereka harus mengantarkan Sang Ibunda menuju tempat perayaan tersebut dengan menggunakan sebuah kereta. Namun, lembu peliharaan mereka tidak kembali pulang ke rumah tepat waktu dari padang rumput. Khawatir mereka akan terlambat menghadiri festival itu, kedua pemuda tersebut langsung memasangkan kuk ke leher mereke sendiri dan menjalankan kereta yang dinaiki oleh Sang Ibu. Mereka menarik kereta tersebut sejauh empat puluh lima furlong dan berhenti tepat di depan kuil.

Tepat saat mereka tiba di depan kuil itulah, kehidupan mereka berakhir. Para pria Argos yang berkumpul mengelilingi kereta itu begitu memuji kekuatan luar biasa yang ditunjukkan kedua pemuda tersebut. Para perempuan Argos memuja Sang Ibu yang telah dikaruniai putra yang begitu hebat. Rakyat Argos memandang mereka sebagai sosok yang terbaik di antara seluruh umat manusia. Untuk itu, mereka membangun patung-patung pemujaan bagi keduanya yang mereka tempatkan di kuil Delphi. Cerita ini dituturkan oleh Herodotus dalam The Histories: Catatan Herodotus dari Helicarnus (2013, h.16).

Di tempat dan masa yang berbeda, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya. Dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi” (H.R. Ahmad). Sahabat-sahabat bertanya siapakah gerangan orang ini sehingga Rasul menyebutnya dan meminta para sahabat untuk meminta doa darinya. Baru setelah Rasulullah wafat Umar bin Khattab dan Ali bertemu dengan orang yang disebutkan oleh Rasul. Dialah Uwais al-Qarni.

Apa yang membuat Uwais al-Qarni ini begitu istimewa tidak hanya di depan Rasul tapi juga di mata Allah SWT? Rupanya baru diketahui kenapa pemuda ini melakukan hal yang mungkin tidak akan dilakukan oleh siapa pun: menggendong Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan untuk naik haji. Bukan perjalanan yang pendek: bolak-balik Yastrib-Makkah dan Makkah-Yastrib. Jarak sekitar 1.119 km itu ditempuh dengan jalan kaki oleh Uwais al-Qarni.

Kedua cerita di atas adalah tentang relasi ibu dan anak dari negara/bangsa lain. Bagaimana cerita di negeri kita? Cerita paling popular adalah Malin Kundang. Malin Kundang, seorang anak yang hidup sebatang kara dengan ibunya dan memutuskan untuk pergi merantau. Bertahun-tahun merantau, Malin Kundang menjadi saudagar yang kaya raya. Suatu hari, Malin Kundang dengan kapalnya bersandar di pantai tempat asalnya. Sang Ibu melihat kedatangan seorang saudagar yang begitu mirip dengan anaknya berusaha berusaha berbicara. Namun Malin Kundang merasa malu dengan kondisi Sang Ibu sehingga tidak mengakui sebagai ibunya. Kecewa dan sakit hati Sang Ibu berdoa: “Jika dia benar anak saya, si Malin Kundang, aku sumpahi dia jadi batu.” Konon, batu itu benar ada di daerah Pantai Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat. Cerita ini juga ada di Malaysia berjudul Si Tenggang.

 

Perempuan dalam jejak bangsa

Sejak sebelum kemerdekaan, perempuan telah memberi urun yang besar bagi proses perjuangan dan meletakkan sendi-sendi bagi Republik Indonesia. Kita bisa sebut Keumalahayati (1550-1615), Ratu Kalinyamat (meninggal 1579), Martha Christina Tiahahu (1800-1818),  Cut Nyak Dhien (1880-1908), R.A. Kartini (1879-1904), Nyi Ageng Serang (1752-1828), Dewi Sartika (1884-1947, dan masih banyak nama lagi yang bisa dituliskan. Namun hal ini sering kali dilupakan sehingga urusan perang, kemerdekaan, dan kebangsaan, selalu menempatkan perempuan di sisi luar. Pada Kongres Nasional Pertama Organisasi-organisasi Perempuan yang diadakan di Yogyakarta pada Desember 1928, secara jelas mengisyaratkan orientasi nasionalis para perempuan Indonesia (Blackburn, 2007).

Sitti Soendari dalam pidato –bahasa Indonesianya—di kongres nasional tersebut tentang “Kewajiban dan Cita-Cita Putri Indonesia” telah membicarakan ide kebangsaan dalam keberagaman. Ia mengimajinasikan Indonesia sebagai taman bunga yang luas yang berisi berbagai jenis bunga yang terlihat indah ketika bersama. Akan tetapi ide ini berubah ketika Indonesia merdeka dan menjadi negara, di mana negara bukan dianggap sebagai taman bunga melainkan keluarga. Sementara ide tentang keluarga dan negara adalah kumpulan orang yang memiliki pemimpin, sehingga makna kebangsaan kemudian bergeser (Rahayu, 2017). Sejak makna kebangsaan bergeser itulah, peran dan posisi perempuan bergeser pula. Jika dulunya berada bersama-sama bahu-membahu dengan seluruh elemen bangsa dalam membangun peradaban bangsa, pada gilirannya menjadi perempuan sebagai ‘pembantu’, ‘penyokong’, dan istilah lainnya yang menempatkannya tidak berada di dalam pokok kekuatan. Hilanglah daya magis Ibu. Bergeserlah makna otoritas moral Ibu.

Secara konsisten, sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, moral Ibu direpresentasikan dalam tubuhnya (perempuan). Tubuh perempuan diasosiasikan sebagai representasi moral kebangsaan sehingga ada kepentingan untuk menjaga dan menyelamatkan tubuh perempuan dari ‘kejahatan’. Karena dengan demikian, itu berarti juga menjaga dan menyelamatkan kebangsaan. Ekspresi moralitas tubuh perempuan ini diwujudkan dalam konsep “ibu bangsa”. Mulai dari wilayah yang paling kecil, yaitu keluarga, posisi ibu adalah pusat moralitas yang dituntut untuk bertanggung jawab terhadap baik-buruknya perilaku (normatif), keseharian dan prestasi anak dan suami. Maka munculnya gerakan-gerakan mobilisasi terhadap perempuan oleh negara mulai dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Dharma Wanita, dan sebagainya, merupakan kelanjutan dari pemosisian perempuan sebagai pusat moralitas bangsa. Bahwa bagi perempuan, menjadi warga negara yang baik adalah menjadi ibu yang baik (Martyn, 2005).

Posisi semacam itu seolah keistimewaan yang mendorong perempuan untuk berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nyatanya, itu adalah peminggiran yang memberikan perempuan “kesibukan baru” sehingga dalam hal yang lebih substansial perempuan tidak mempunyai “makna” selain sebagai imbuhan saja. Oleh karenanya, perempuan seolah memilih kebebasan. Tetapi kebebasan saja tidak cukup. Sebab, ada tidaknya kebebasan bukanlah fungsi dari ada-tidaknya kesempatan memilih, tetapi bergantung ada-tidaknya kemampuan mengambil sendiri keputusan yang pada satu ketika harus dilakukannya (Joesoef, 2017).

Narasi di atas tentang perempuan-perempuan yang dimuliakan dan mempunyai otoritas moral (ingat, otoritas; bukan pusat moral!) adalah contoh baik bagaimana Ibu memberikan kontribusi dalam peradaban. Bagi semua bangsa, sejatinya perempuan adalah otoritas yang menduduki posisi istimewa dalam ranah sosial-budaya dan religiusitas. Sayangnya, di Indonesia kita gagal mereproduksi cerita tentang perempuan yang lebih memberi dorongan pada bangkitnya perempuan untuk tidak selalu tunduk pada nilai dan adat lama. Sehingga cerita atau narasi dalam bangsa Indonesia, perempuan berada dalam posisi diametral: lemah sekali atau keras sekali. Ibu dalam Si Malin Kundang tentu lemah sekali meskipun doanya bertuah; Calon Arang atau Rara Jonggrang tentu keras sekali. Keduanya bermakna peyoratif bagi bangsa Indonesia. Ihwal ini karena, sekali lagi, tubuh atau bahkan eksistensi perempuan sangat dipengaruhi bahkan ditentukan oleh pihak lain secara individual maupun kelembagaan untuk mendefinisikan, memberi makna, membuat aturan, bahkan melakukan kontrol terhadap tubuh perempuan atas nama kepatutan, kelaziman, atau bahkan atas nama kekuasaan.

Namun musti diingat, kontribusi perempuan dalam banyak hal bukan pada bagaimana mereka membangun kekuasaan untuknya tetapi lebih pada mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Sehingga agenda perempuan adalah agenda publik yang tidak akan singgah di kepentingan khusus mereka. Maka narasi-narasi besar yang dianggap determinan bagi proses berjalannya bangsa dan negara ini bisa tidak berlaku bagi perempuan. Kebajikan perempuan sebagai pemegang otoritas moral bisa saja di dalam hal-hal kecil yang seringkali dianggap remeh. Mungkin sejarah tentang ibu-ibu ini ada dalam resep-resep kue mereka, pola gerak mereka di dapur, tugas-tugas rumah tangga yang mereka lakukan setiap hari tanpa banyak bicara… Walaupun sering diabaikan sebagai pengukir sejarah, gerak-gerik kaum perempuan di dapur merupakan sejarah berbentuk dan dijalani, yang ditulis di ruang rumah (Newberry 2013, h. 69).

 

Terakhir bukan akhir

Cerita perempuan tidak akan pernah berakhir. Sadar atau tidak, narasi besar-kecil tentang keberadaan perempuan telah ada sejak dahulu kala. Dan perempuan bertahan ribuan tahun dalam berbagai cara untuk memastikan otoritas moral peradaban itu tetap di tangannya. Mengutip sebuah dialog dalam pewayangan ketika Yudhistira ditanya oleh seorang raksasa:

            “Apa yang melebihi berat beban bumi?” tanya raksasa.

            “Kasih sayang Ibu,” jawab Yudhistira.

Disitulah makna sesungguhnya, peradaban selalu dibangun kasih sayang Ibu: tanpa penindasan antara sesama, tertuju pada kehidupan bersama, tanpa pamrih apapun. []

Bagikan