Buah Pikir, Februari, 2020

Mau Dibawa Kemana Pancasila?

Oleh : David Krisna Alka, Peneliti Populis Institute

NAIK kereta api tut… tut… tut…. Siapa hendak turut? Ke Depok, Bogor, dan Bekasi. Naiklah dengan rasa was-was dan kewaspadaan tinggi. Penumpang penuh sesak; lelaki, perempuan dan anak-anak.  Campur aduk; orang yang pergi kerja, sekolah, dagang, pengamen, copet, dan lain sebagainya. Saya sempat berpikir, pernahkah terbesit dalam pikiran mereka tentang pancasila dalam kondisi seperti itu?

Dramatik: manusia berjejalan sampai ke luar pintu dan ke atas gerbong kereta. Di luar gerbong, wajah-wajah kuyu manusia yang tak terhitung jumlahnya menggapai-gapai berdesakan. Bukan hanya di kereta. Penumpang di dalam bus dan metro mini di Jakarta tak ada bedanya. Begitulah kira-kira gambaran sebagian besar umat Indonesia yang digulung suatu tata ekonomi global yang meninggalkan dan menanggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan etika dan solidaritas.

Pertanyaannya, di manakah nilai-nilai Pancasila diletakkan oleh para penyelenggara negara yang sepenuhnya bertanggungjawab atas kondisi itu? Di manakah kemanusiaan yang adil dan beradab? Benarkah ada keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Lalu, siapa yang akan lolos dari kehancuran? Mungkinkah menemukan semacam kesadaran umum yang memungkinkan untuk bertahan? Dapatkah ditemukan suatu raison d’agir yang tidak menyingkirkan, tetapi mempersatukan penalaran dan tindakan, dalam situasi di mana manusia saling memangsa dan solidaritas antarorang senasib tidak lagi mengikat karena yang pertama dan yang utama adalah menyelamatkan diri (dan keluarganya) masing-masing?

Susan George dalam The Lugano Report:On Preserving Capitalism in Twenty-first Century (1999,2003) membukakan mata kita terhadap pacuan dunia kerja yang merenggut hari-hari hidup orang tanpa memberi imbalan; terhadap paduan sosial yang terus-menerus melemparkan tanggung jawab terhadap orang yang sudah tidak kuat memikul beban hidupnya. “Life world” kita terkoyak antara yang cekatan dan bertahan, dengan yang kurang lincah, yang lumpuh dan tertinggal. [1]

Mau dibawa kemana

Boleh percaya atau tidak, negara Indonesia bisa bertahan sampai saat ini karena ada Pancasila – fondasi bangsa yang menjadi perekat dan platform bersama di antara seluruh masyarakat. Pancasila merupakan kesatuan menyeluruh dari kesadaran historis dan kesadaran praktis bagi Rakyat Indonesia. Tapi, miris melihat perkembangan belakangan ini. Kesadaran itu malah dilupakan oleh banyak penyelenggara negara di republik ini. Korupsi menjadi-jadi, konstitusi dikangkangi. Pancasila malah dikebiri oleh elite-elite republik sendiri.

Di sejumlah daerah di tanah air, penghargaan atas hak hidup orang lain tak lagi dijadikan landasan dalam bertindak oleh berbagai kelompok masyarakat. Keringnya benih-benih kemanusiaan. Semangat eksklusivisme menguat. Sendi-sendi kehidupan mulai dan telah goyah. Rasa kasih sayang sebagai sesama manusia-manusia Pancasila hampir tiada. Kekuatan solidaritas, kedalaman moralitas, dan kejernihan nurani tak lagi dimiliki. Nasib rakyat kecil, kaum lemah, marjinal, dan terpinggirkan malah ditelantarkan.  Lalu mau dibawa kemanakah Pancasila?

Padahal, dipandang dari perspektif fungsionalis, Pancasila berperan sebagai kultur normatif yang dengan nilai-nilai terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi, tujuan sistem sosio-politik serta segala kelembagaannya pada tingkat makro dan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan individual. Pancasila tidak pula hanya menjadi faktor determinan bagi kehidupan moral bangsa Indonesia, tetapi lewat fungsinya yang teleogis akan memberikan payung ideologis bagi pelbagai unsur dalam masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis itu.

Dalam menghadapi kenyataan bahwa dalam wilayah Indonesia terdapat pelbagai unsur etnik beserta kulturnya yang bermacam-macam agama, kepercayaan, faksionalisme politik, dualisme ekonomi dan sebagainya; kesatuan (unity) merupakan nilai yang sangat tinggi. Maka proses integrasi untuk mewujudkan kesatuan itu memegang peranan yang sangat fundamental sekali untuk memberi makna kepada hidup manusia Indonesia hari ini dan masa depan.[2]

Pendidikan

Ivan Illich (1926 – 2002) pernah menyampaikan sindiran,  “Nenekku ingin saya berpendidikan, maka beliau melarangku pergi ke sekolah”. Sedangkan dalam Sceptical Essays, Bertrand Russell (1872 1970) mengatakan: “Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berpikir”. George Bernard Shaw (1856 – 1950), penerima Nobel Kesusasteraan 1925) mengeluh: “Di muka bumi ini tidak satupun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal, sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara.”

Kritik dan keluhan terhadap dunia pendidikan di atas juga cermin dari dunia pendidikan di Indonesia. Ada tiga level yang menyelimuti masalah Pendidikan Indonesia. Level pertama adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Level kedua adalah pendidikan yang tidak bisa secara universal diakses oleh setiap warga negara Indonesia. Dan level ketiga adalah kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan paradigma pendidikan yang tepat. Bahkan, liberalisasi pendidikan di Indonesia jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun. Liberalisasi ini akan membuat generasi Indonesia dicetak sebagai pekerja tanpa peduli apa potensi mereka sebenarnya.

Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan karakter dan pendidikan nilai, justru diabaikan. Nah, dalam konteks penanaman kepada masyarakat umum, ideologi Pancasila saat ini tidak membumi, karena nilai-nilainya belum mampu diimplementasikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi nilai luhur Pancasila masih sangat jauh dari harapan. Kedudukan Pancasila sebagai penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara belum mampu diimplementasikan masyarakat. Meskipun Pancasila diakui sebagai penuntun, masyarakat justru banyak dipandu nilai di luar Pancasila seperti pragmatisme dan primordialisme.

Nilai Pancasila seharusnya merupakan kesatuan rasa cipta dan karsa yang memiliki tujuan ke depan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Tanpa tujuan masa depan, ideologi Pancasila menjadi tidak menarik. Oleh karena itu, jika ingin membumikan Pancasila sebagai ideologi hidup, bangsa ini harus menjadikannya motor penggerak masyarakat. Pancasila perlu ditransfer dalam bentuk dan model aplikatif.

Tapi, pertanyaannya, sekarang dan masa depan, apakah republik ini bisa bertahan jika tanpa ada Pancasila dan instrumen-instrumen lain yang mendukungnya. Jika tidak bisa bertahan, maka jangan tinggalkan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh ruang kehidupan kita sebagai warga negara yang sah di republik ini.

Pada titik inilah pendidikan mesti berpedoman secara murni dan konsekuen pada nilai-nilai luhur-integralistik Pancasila. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila yang merupakan kristalisasi pemikiran para founding fathers tentang kehidupan yang paling baik bagi bangsa Indonesia.

Melalui pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur-integratif Pancasila, para siswa—generasi peradaban kita itu—diyakini dapat menjadi warga negara yang baik yang mampu memahami hak dan kewajibannya, memahami ideologi negara secara utuh dan benar, membangun inklusivisme dan pluralisme, serta memahami tentang konsep demokrasi secara benar sehingga mampu berpartisipasi dalam penciptaan kehidupan demokrasi di Indonesia sebagaimana mestinya. Melalui pendidikan berbasis Pancasila ini, para siswa-generasi peradaban kita-diyakini mampu menjadi warga negara Indonesia yang baik, cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pendidikan Pancasila harus diyakini dapat menjadi penanaman nilai-nilai hidup bersama dalam keberagaman. Materi pendidikan kewarganegaraan yang disajikan di sekolah dinilai memberatkan. Di jenjang SD sudah dikenalkan soal ketatanegaraan. Padahal, semestinya di jenjang inilah pendidikan Pancasila semestinya untuk membangun karakter anak bangsa. Adapun di jenjang SMP dan SMA materi pendidikan kewarganegaraan seakan-akan hendak menjadikan siswa ahli tata negara. Semestinya di jenjang ini, siswa diajarkan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, aktif, dan kritis menyikapi situasi sosial dan kewarganegaraan.

Selain itu, pelajaran nilai-nilai Pancasila terangkum dalam kurikulum yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Dengan demikian, mata pelajaran Pancasila tidak hanya menjadi tanggungjawab guru pengampu mata pelajaran tersebut, tapi juga semua guru. Metode pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan saat ini terlalu konvensional, yakni menggunakan metode ceramah, menyalin dan mengerjakan soal-soal. Bahkan di banyak sekolah, para pengajar pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan buka guru yang sesuai dengan bidang studinya. Pembelajaran Pancasila yang kreatif dan mengasah daya kritis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki reportoar luas. Kontrol yang rendah akan rentan membuat pendidikan Pancasila disalahgunakan dan kehilangan daya transformatifnya.

Arief Rachman mengatakan, saat ini penanaman ideologi Pancasila dapat diterapkan dalam mata pelajaran Kewarganegaraan. Namun, agar ideologi tersebut dapat berjalan maksimal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proses pembelajaran. Kelemahan proses pendidikan di Indonesia pada umumnya adalah  kuat di kognitif saja. Contohnya, ada anak tahu Pancasila, tetapi sikap dia tidak mencerminkan pengetahuan yang dia tahu itu. Dalam setiap proses pembelajaran harus meliputi tiga aspek, yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (pengalaman). Begitu pula dengan penanaman ideologi Pancasila dalam pelajaran Kewarganegaraan. Ketika ketiga aspek tersebut tidak dijalankan secara seimbang, justru akan menjadi kelemahan dalam proses mengajar.

Saat ini sebagian besar orang hanya mengetahui rambu-rambu Pancasila, tetapi jarang sekali yang mengamalkan inti dari nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tersebut. Penanaman ideologi Pancasila di dunia pendidikan sama saja jika kita lihat pendidikan karakter. Pendidikan karakter itu bukan mata pelajaran. Tidak hanya pendidikan yang tidak hanya harus tahu, tetapi harus juga bersikap dan mengamalkan.[3]

Penutup

Bung Hatta berkata, negeri yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh. Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya. Sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja. Rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.

Artinya, pendidikan berkaitan erat dengan perubahan kesadaran elite maupun kesadaran rakyat. Pemahaman lebih luas dan mendalam tentang Pancasila secara menyeluruh, mulai dari kesejarahan hingga perbuatan merupakan representasi perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk meyakinkan bahwa masa depan Pancasila di Abad 21 tidak punah dan tak dapat dilupa, para pemimpin dan semua elite republik ini harus mendidik rakyat bukan malah memperalat.

[1] Dalam sebuah diskusi FORUM majalah BASIS dan Perpustakaan Kolese Ignatius Yogyakarta, 16 April 2004 yang diulas Kompas, G Sindhunata SJ dan B Kieser SJ sedikit mengupas buku ini yang memaparkan prospek yang mengerikan pada tahun 2020: tiga miliar dari dari enam miliar penduduk Bumi tidak masuk ke dalam perhitungan politik dan ekonomi; tidak ada tempatnya di permukiman kota dan di dalam ekologi. Artinya, 16 tahun dari sekarang, bukan hanya sepertiga penduduk dunia yang tidak beruntung, tetapi separuhnya. Artinya, marjinalisasi berjalan terus.

[2] Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005,  hal. 78-79.

[3] Lihat Arief Rahman, Pendidikan Pancasila, Cukupkah Pendidikan Kewarganegaraan?

http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/06/13522122/Sayang.Pancasila.Cuma.Sebatas.Kognitif

Bagikan