“…..Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Inilah penggalan teks rumusan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia, Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bagian dari UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi Negara Indonesia. Inilah dokumen terpenting bagi pendirian Indonesia sebagai negara merdeka yang ditandai dengan pembentukan pemerintahan dengan tujuan-tujuan yang spesifik. Dokumen ini berasal dari berbagai rumusan sebelum Proklamasi: bagian Pembukaan dari Rancangan Undang-Undang yang disusun panitia perumus pada 22 Juni 1945; bagian Batang Tubuh berasal dari Rancangan Undang-Undang yang disusun Panitia Perancang UUD pada 16 Juni 1945. Kesemuanya disahkan oleh Sidang PPKI 18 Agustus 1945.
Secara keseluruhan, atas dasar Undang-Undang Dasar 1945, berbagai struktur dan unsur negara mulai ada[1]. Walaupun di masa itu belum terdapat lembaga-lembaga negara namun hal tersebut dapat diatasi dengan Aturan Tambahan dan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945[2]. Dalam dokumen ini pula termaktub Pancasila sebagai dasar dari penyelenggaraan pemerintahan negara demi tujuan-tujuan tersebut. Maka sesungguhnya—dan seharusnya—membicarakan Pancasila tidak akan pernah bisa lepas dari konteksnya sebagai bagian dari UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar negara adalah panduan dan nilai utama bagi bagian Pembukaan, bagian Batang Tubuh, dan bagian Penjelasan UUD 1945. Para pakar tata negara seperti Prof.Dr. Notonagoro, Prof.Dr. A Hamid S Attamimi, atau Prof. Darji Damodiharjo menilai Pancasila sebagai Staatsidee (cita hukum, istilah Soepomo) sekaligus Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara, istilah Hans Nawiasky).[3] Ia tak hanya dimuat secara hitam-diatas-putih dalam bagian Pembukaan konstitusi resmi negara, namun juga diamanatkan untuk meresapi seluruh bagian dalam konstitusi utama—UUD 1945—dan semua praktik bernegara berikut tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, meski pernah terjadi amandemen terhadap konstitusi, namun bagian Pembukaan UUD 1945 tetap tidak terusik karena jika terjadi maka itu sama dengan tindakan pembubaran negara dan pembentukan negara baru. Hal ini dikuatkan oleh TAP MPRS No. XX/MPRS/1966: “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Pernyataan Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagi Dasar Negara, merupakan suatu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga, termasuk MPRS hasil pemilihan umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar karena merubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara….” Demikianlah sakralnya Pembukaan UUD 1945 yang memuat tujuan kemerdekaan, kehidupan pemerintahan, dan kehidupan berbangsa-bernegara, serta Pancasila sebagai dasar yang menafasi kesemuanya.
Pancasila dan UUD 1945 di Republik Muda Indonesia
Indonesia di tahun-tahun awal pasca kemerdekaan adalah Indonesia yang bersemangat dan menggebu-gebu untuk membangun dan menggaungkan namanya di kancah politik internasional. Satu hal yang wajar bagi negara yang baru merdeka atas ratusan tahun penjajahan. Bahkan pada perkembangan berikutnya sejarah mencatat di era ini Indonesia menjadi salah satu kekuatan besar dunia yang disegani: negara berani membuat blok politik internasional di antara Blok Barat (Kapitalisme) dan Blok Timur (Sosialisme-Komunisme). Ialah Gerakan Non-Blok, yang diawali dengan sebuah Konferensi Asia-Afrika yang pertama kali diselenggarakan di Bandung (1955) dan merumuskan Dasasila Bandung. Cita-cita blok ini adalah anti kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme, zionisme, apartheid, dan rasisme. Indonesialah, melalui Presiden Soekarno, yang menjadi pemrakarsa aktif gerakan ini, yang dibuktikan dengan dipakainya Bandung sebagai tempat penyelenggaraan acara ini.
Tak ada yang menyangsikan kebencian yang teramat sangat dari seorang Soekarno terhadap kolonialisme, imperialisme, dan neo-kolonialisme. Bukan hanya kebencian yang bersifat personal, namun juga kebencian yang bersifat kolektif. Orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Malaka, Sjahrir, dan sebagainya tak hanya melihat sendiri praktik kejam dan kebiadaban kolonialisme terhadap rakyat dan bangsanya, namun juga merasakan sendiri kekejaman dan kebiadaban itu seperti dalam kasus ketika mereka harus berkali-kali mengalami represi atas aktivitas politik pro-kemerdekaannya.
Masa ini, sebelum kemerdekaan Indonesia dan sepanjang Orde Lama, adalah masanya narasi besar bernama Nasionalisme. Nasionalisme lahir sebagai antitesa atas penjajahan. Tak hanya di Indonesia, di belahan dunia yang lainpun demikian, seperti halnya India, Cina, Mesir, Vietnam, Aljazair, atau Ghana. Akan tetapi sebenarnya nasionalisme telah berawal jauh sejak sebelum terjadinya penjajahan itu sendiri. Ia berakar kuat dari proses dinamika dan interaksi masyarakat beserta seluruh struktur yang dimilikinya. Ya, nasionalisme berangkat dari ikatan kebangsaan. Sedangkan bangsa itu sendiri, menurut JF Stalin, adalah sebuah komunitas stabil yang terbentuk secara historis dan dipersatukan oleh kesamaan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, dan perasaan bersama (psikologi).[4]
Merujuk pada pengertian ini, bangsa Indonesia sesungguhnya telah memiliki ikatan kolektif sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno Nusantara dan bermuara pada ikatan-ikatan tunggal yang termanifestasi pada kebesaran Sriwijaya dan Majapahit. Bahwa perkembangan setelah itu mengisahkan runtuhnya dua kerajaan besar tersebut serta berlangsungnya penetrasi Portugis, kongsi dagang Belanda, fasisme Jepang, dan sebagainya, tak bisa menyangkal bahwa ikatan sebagai satu komunitas telah ada sejak berabad-abad lamanya. Lebih jauh, penetrasi kolonialisme justru membentuk dan menguatkan kembali ikatan kolektif yang telah pudar oleh bangkitnya kerajaan-kerajaan kecil pedalaman pasca runtuhnya Majapahit. Penjajahan justru menggugah keinginan “rujuk Nusantara” dalam ikatan yang lebih maju dan modern: sebuah proyeksi pembentukan ikatan baru, tak hanya sebagai sebuah bangsa namun juga negara yang termanifestasikan pada Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Atas dasar itulah semangat kemanusiaan, keadilan, dan anti penjajahan tercermin kuat dalam baris-baris kalimat Pembukaan UUD 1945, yang mengandung sila-sila Pancasila di dalamnya.
Jika kalimat-kalimat lain pada Pembukaan UUD 1945 lebih merepresentasikan semangat kemerdekaan baik sebagai individu maupun kolektif (masyarakat, bangsa), maka sila-sila Pancasila dalam alinea terakhir Pembukaan UUD 1945 merupakan nilai-nilai hidup yang dapat berlaku universal atau diterima secara luas, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Universalitas nilai-nilai itu sendiri sesungguhnya mencerminkan praktik dan sikap atau pandangan hidup masyarakat yang telah ada sebelumnya: nilai-nilai dan budaya masyarakat Nusantara di masa lalu, yang dipadu dengan cita-cita Declaration of Independence, Manifesto Komunis[5], dan San Min Chu I.[6]
Hal tersebut dapat kita telusuri dari teks-teks sejarah penyusunan Pancasila, sebagaimana M. Yamin menggalinya dari sejarah kebesaran Majapahit. Keduanya berinteraksi dengan dialektika pemikiran para pendiri bangsa ini yang juga merupakan pelaku-pelaku aktif dalam dinamika pergerakan dan revolusi Indonesia. Para founding fathers berpendapat bahwa setiap masyarakat dan bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, seperti yang diungkapkan Soekarno di muka Sidang Umum PBB XV tahun 1960, “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia. “Sesuatu” itu kami namakan “Panca Sila”. Ya, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. Jadi berbicara tentang Panca Sila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun. “[7]
Dengan latar belakang semacam ini—historisitas kebangsaan, penjajahan, dan konsepsi ideologis tentang bangsa dan negara—tak mengherankan jika pemerintahan Orde Lama sangat gencar menyuarakan jargon “anti kolonialisme dan imperialisme” maupun “anti neo-kolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme” (nekolim) serta mengkonsolidasikan kekuatan politik yang sekubu dengannya baik secara nasional maupun internasional. Di dalam negeri, poros anti nekolim dimotori oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nahdlatul Ulama (NU), yang pada perkembangan berikutnya menjadi sebuah koalisi politik yang dinamakan Soekarno sebagai NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis). Hal terakhir ini mirip dengan konsepsi Pancasila semasa masih digagas pada awal kelahirannya, 29 Mei-1 Juni 1945, yaitu Marhaenisme-nya Soekarno ditambah asas Ketuhanan dari usulan asas-asas Pancasila-nya M. Yamin.[8]
Sementara di luar negeri, seperti telah dipaparkan di atas, Orde Lama memrakarsai terbentuknya Gerakan Non Blok yang diawali Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Deklarasi Laut Djuanda 1957,maupun blok New Emerging Forces (NEFO), sebagai wujud konkret keikutsertaan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, dalam tata dunia saat itu yang timpang oleh dua imperium besar: Komunisme dan Kapitalisme. Inilah sumbangan besar sang Republik Muda Indonesia pada peradaban dunia dan kemanusiaan di usianya yang masih seumur jagung, berupa Pancasila dan UUD 1945.
Semangat anti nekolim yang digaungkan Orde Lama di dalam negeri diwujudkan dengan berbagai program peningkatan taraf kesejahteraan rakyat—yang secara bersamaan merupakan wujud pemenuhan amanat konstitusi kemerdekaan—dan kebijakan-kebijakan politik pendukungnya. Contoh dari hal ini adalah diplomasi beras dengan India, kebijakan sanering (pemotongan nilai mata uang), digalakkannya Program Benteng maupun sistem ekonomi Ali-Baba untuk meningkatkan perekonomian pribumi melalui bantuan pemerintah/kredit ekonomi dan subsidi usaha besar-kecil maupun asing-pribumi, nasionalisasi De Javaasche Bank milik Belanda menjadi Bank Indonesia, nasionalisasi seluruh perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia melalui UU No.86/1958, dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Lama untuk merancang pembangunan jangka panjang yang tidak terusik oleh perubahan-perubahan politik.
Dari sisi kebijakan politik, disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 oleh parlemen dengan suara bulat setelah 12 tahun proses penggodokan adalah satu capaian besar dalam rangka melakukan rekonstruksi dan redistribusi kepemilikan dan pengolahan lahan demi memacu tingkat produktivitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah petani. Sementara itu disahkannya UU Penanaman Modal Asing 78/1958 adalah upaya menarik investasi luar negeri yang diarahkan pada penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya namun tetap disertai pembatasan-pembatasan tertentu dan kontrol dari pemerintah.[9] Secara bersamaan seluruh kebijakan politik-ekonomi di atas juga dihadirkan untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi pasca kemerdekaan dimana banyak infrastruktur yang rusak dan perekonomian yang belum stabil akibat perang. Selain itu situasi ekonomi internasional juga turut mempengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut, seperti blokade ekonomi melalui laut oleh Belanda dan krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat.
Pada saat yang sama Orde Lama juga tetap tidak melupakan demokrasi sebagai aspek penting penyelenggaraan kehidupan bernegara dan wujud konkret gagasan kesetaraan kedudukan manusia yang memiliki hak-hak asasi. Pemilihan Umum 1955 adalah bukti nyata mengenai hal ini, dimana Pemilu diikuti oleh ratusan partai politik, organisasi massa, bahkan individu. Di samping itu silih bergantinya kabinet pemerintahan sepanjang awal kemerdekaan hingga Dekrit Presiden 1959 juga menjadi contoh bagaimana Orde Lama berusaha agar mobilisasi politik dalam kerangka nasionalisme tetap berada di atas basis demokrasi, meski pada kenyataannya penyelenggaraan sistem yang demokratis tersebut justru menghasilkan ketidakstabilan ekonomi dan krisis politik.[10]
Amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa tak ketinggalan pula untuk dipenuhi. Ini ditunjukkan dengan keberhasilan menurunkan angka buta huruf remaja usia 15 tahun dari 70% menjadi 5% dalam 10 tahun pertama kemerdekaan.[11]
Sebenarnya banyak yang menyebut nasionalisme era Orde Lama adalah sebuah proyek yang sangat simbolis dan ambisius, seperti ditunjukkan dengan pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) atau Gelanggang Olah Raga (Gelora) Senayan Jakarta. Selain itu nasionalisme Orde Lama juga sering mendapat stempel sebagai proyek yang sangat ekspansionis dan megalomaniak, seperti ditunjukkan dengan konsolidasi Non-Blok, apalagi jika mengingat politik konfrontasi yang dilancarkan terhadap Malaysia dan program politik Pembebasan Irian Barat. Begitu juga sikap keras Presiden Soekarno terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Oleh karenanya era ini sering dilekatkan dengan slogan “Politik Sebagai Panglima”.
Namun apa lagi yang harus dilakukan sebuah rezim untuk mempersatukan dan menjaga ikatan sebuah negeri dengan jumlah penduduk besar dan tersebar di banyak pulau,sementara negeri itu baru saja merdeka, jika bukan menghimpun dan memusatkan tenaganya serta mengobarkan semangat perjuangannya? Toh kita tak bisa melupakan bahwa praktik tersebut juga diimbangi dengan kebijakan-kebijakan baik politik dan ekonomi yang mendukungnya, juga praktik demokrasi yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemerintahannya, meski sebagai negeri yang baru merdeka penataan kembali pemerintahan bukanlah hal yang gampang, apalagi jika dilakukan dengan model yang demokratis. Bahwa selanjutnya demokrasi justru menggoyahkan perekonomian dan stabilitas politik, itu adalah lain soal. Satu hal yang pasti adalah Orde Lama telah berusaha membuat agar Pancasila tak sekadar menjadi gagasan normatif yang multi interpretasi dan kosong secara metodologis. Orde Lama, sebagai rezim pertama pasca kemerdekaan, berusaha keras mewujudkan amanat UUD 1945. Disinilah peran narasi besar bernama Nasionalisme, dengan berbasis pada UUD 1945 dan Pancasila, sebagai instrumen untuk memusatkan seluruh energi politik yang tersebar dalam berbagai ideologi, kepentingan politik, budaya, adat istiadat, dan struktur demografis maupun geografis Indonesia saat itu.
Manipol-USDEK: Instrumen Penerjemah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Manipol-USDEK (Manifesto Politik dan Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional)[12] adalah keseluruhan isi pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Ini adalah sebuah sikap politik yang menegaskan kegagalan Konstituante (parlemen saat itu) dalam merumuskan Undang-Undang Dasar dan kehendak untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945. Manipol-USDEK menjadi penjelasan bagi peristiwa sebulan sebelumnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dimana Presiden membubarkan Konstituante dan menjalankan kembali sistem demokrasi presidensial. Manipol-USDEK juga bukan sekadar platform/pedoman pelaksanaan program dan kerja pemerintahan beserta segenap alat-alat negara, tapi juga lebih jauh dari itu, menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).[13] Disinilah untuk kali pertama secara tegas Pancasila sebagai dasar negara dilekatkan kembali dengan UUD 1945, didudukkan sebagai satu bagian dengannya dan dilengkapi dengan instrumen pendukung, sebuah metodologi, agar posisinya sebagai “ideologi negara” dapat benar-benar berlaku operasional.
Penetapan Manipol-USDEK sebagai GBHN itu sendiri sesungguhnya bisa dikatakan sebagai hal yang inkonstitusional mengingat pada Pasal 3 UUD 1945 dinyatakan keharusan adanya GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun dalam dokumen Penjelasan Manipol-USDEK dipaparkan bahwa menurut Dewan Pertimbangan Agung, di tengah situasi tidak menentu akibat liberalisme politik dan belum adanya MPR, pidato Presiden tersebut merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan pokok-pokok persoalan dan program umum Revolusi yang bersifat menyeluruh untuk kali pertama setelah 14 tahun kemerdekaan. Oleh karena itu DPA bersuara bulat untuk memutuskan Manipol-USDEK sebagai GBHN dengan berpedoman pada Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.[14]
Selanjutnya Manipol-USDEK disahkan menjadi GBHN oleh MPRS melalui Tap MPRS/1/1960. Terlepas dari konstitusional atau tidaknya pidato dan juga Dekrit Presiden tersebut, sebuah sikap politik yang menjelaskan situasi yang tengah terjadi berikut berbagai macam persoalannya serta tawaran jalan dan arah baru sebagai penyelesaian adalah hal yang benar-benar dibutuhkan Indonesia saat itu. Sidang Konstituante yang berlarut-larut dan ketidakstabilan politik dalam negeri yang diindikasikan dengan meningkatnya intensitas persaingan antar berbagai kekuatan politik berujung pada sentimen pasar yang negatif dan ketidakstabilan ekonomi. Dalam situasi seperti ini sudah jelas bahwa rakyat membutuhkan kepastian politik sebagai jawaban. Oleh karena itulah dalam pidato 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyatakan bahwa Revolusi Indonesia belum lagi selesai dan masih berada dalam tahap Sosial-Ekonomi atau tahap pembangunan.
Soekarno menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap atau periode dalam Revolusi Indonesia yang harus dilalui menuju cita-cita Proklamasi Kemerdekaan dan UUD 1945 yaitu Revolusi Fisik (1945-1950), Periode Survival (1950-1955), dan periode Sosial-Ekonomi atau pembangunan (1955 dan seterusnya). Menurut Soekarno tiga periode ini mengarah pada cita-cita UUD 1945 yaitu Sosialisme Indonesia: sebuah cita-cita pembentukan masyarakat sosialis yang jauh berbeda dengan apa yang digagas Marx dan Engels, Lenin, maupun Mao Tse Tung. Perbedaan ini disebabkan masyarakat Indonesia berikut alamnya memiliki watak dan ciri khasnya sendiri. Sosialisme Indonesia tersebut tak bisa dicapai melalui demokrasi liberal; ia tidak boleh tidak hanya bisa dilaksanakan secara terpimpin melalui Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, yaitu terpimpin oleh Pancasila.[15] Pancasila, sebagai dasar Negara, adalah instrumen pemersatu, bukan pemecah-belah. Namun demikian Pancasila sebagai dasar negara yang memersatukan bukannya tidak berpihak: Pancasila tidak berpihak pada neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme (nekolim), termasuk di dalamnya fasisme, zionisme, rasisme, dan apartheid.[16]
Bukanlah kebetulan jika Sosialisme Indonesia yang ditawarkan Soekarno, yang diinterpretasikannya sebagai cita-cita UUD 1945 dan Pancasila, bersinggungan erat dengan konsepsi Marhaenisme-nya di tahun 1933: sosio-demokrasi (demokrasi/permusyawaratan dan keadilan) dan sosio-nasionalisme (nasionalisme dan internasionalisme yang berbasis kemanusiaan). Dan sebagai negeri yang baru merdeka tidaklah mengejutkan pula jika gagasan ini selanjutnya “ditawarkan” Soekarno pada dunia internasional, khususnya sesama negeri-negeri bekas jajahan atau negeri yang baru merdeka dalam rangka kampanye anti nekolim, seperti yang ditunjukkan dalam pidatonya di PBB yang berjudul “To Build The World Anew” atau pidatonya tentang konfrontasi terhadap Malaysia.[17]
Di dalam negeri, karena Manipol-USDEK telah ditetapkan sebagai GBHN, maka ia harus diterapkan dan dilaksanakan oleh segenap instansi di semua tingkatan untuk melakukan apa yang disebut sebagai “menghimpun segenap daya dan potensi revolusioner”. Langkah ini dinamakan retooling. Retooling adalah penggantian aparat atau alat-alat negara/pemerintahan yang lama dengan yang baru, yang mendukung dan sesuai cita-cita Manipol-USDEK. Sedangkan alat atau aparat lama yang masih dapat dipakai tidak akan serta merta diganti namun digunakan secara maksimal.[18] Hal terakhir ini disebut sebagai aspek penghematan/efisiensi dari retooling.
Dalam konsepsi retooling inilah sebenarnya kita dapat menelusuri awal digagasnya konsep pendidikan konstitusi dan kewarganegaraan, dimana dinyatakan “bahwa apabila kita dewasa ini sering berbicara tentang usaha me-manipol-kan alat-alat negara, mahasiswa atau sekolahan, atau berbicara tentang meng-usdek-kan alat-alat itu, maka ia termasuk dalam usaha retooling, dalam arti kata menanam kesadaran-kesadaran baru di kalangan-kalangan itu agar supaya lebih dipahami segala seluk beluk Revolusi kita, dan agar supaya seluruh peralatan Negara kita itu bisa menjadi alat-alat yang baik, jujur, dan yakin kepada kebenaran Dasar, Tujuan, dan Program Revolusi kita.”[19] Sayangnya belum lagi hal ini dilakukan sepenuhnya secara massif dan struktural, kekuasaan Orde Lama keburu tumbang oleh Peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober)yang menandai berdirinya kekuasaan Orde Baru.[20]
—-
[1] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, CV Armico, Bandung, 1987, hal.36
[2] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara Jakarta, 1984, hal.17
[3]Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB), Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Suatu Analisis Teoritis, Juni 2008
[4] Isaac Deutscher, Stalin: A Political Biography, Oxford University Press, New York and London, 1949. Lihat juga Sardo, Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan: Pokok-Pokok Pikiran Lenin dan Stalin, Resist Book, I, Yogyakarta, Juli 2005.
[5] Lihat To Build The World Anew, Pidato Presiden Republik Indonesia Di Muka Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960, dalam Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, Penerbitan Khusus Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1960
[6] H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hal.20-21
[7]To Build The World Anew, Pidato Presiden Republik Indonesia Di Muka Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960, dalam Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, Penerbitan Khusus Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1960
[8]Marhaenisme Soekarno memuat dua hal: sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi mengandung dua hal: demokrasi dan keadilan, sedang sosio-nasionalisme terdiri dari nasionalisme dan internasionalisme. Lihat, Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, hal.253 dan Soekarno, Lahirnya Pancasila, hal.23, dalam H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta, 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hal.19-20
[9]Langkah ini menjadi penting karena bagaimanapun pembangunan dan pemerataan ekonomi membutuhkan investasi luar biasa besar, terutama bagi negara yang baru merdeka, sedang di sisi lain harus diupayakan agar masuknya investasi tak mengusik kedaulatan nasional.
[10]Instabilitas politik dan ekonomi itulah salah satu sebab munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang belakangan berujung pada pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup pada 1963, hal yang sesungguhnya menjerumuskan Orde Lama dalam stigma anti demokrasi. Namun Dekrit Presiden 1959 toh menjadi perwujudan konkret kehendak untuk kembali pada UUD 1945, dimana fakta menunjukkan bahwa liberalisme politik dalam balutan argumen “demokrasi” tak serta merta beriringan dengan kehendak konstitusi dan kesejahteraan rakyat. Ini adalah sebuah pelajaran penting bagi Indonesia hari ini.
[11] Jurnal Referensi, Membangun Karakter Bangsa, Populis Institute, Jakarta, 2011, hal.10
[12] Istilah Manipol digunakan oleh Menteri Penerangan Maladi pada 30 Juli 1959, sedangkan istilah USDEK sebagai inti sari Manipol dianjurkan oleh Ketua DPRD saat itu, Kosasih, untuk dihafalkan dalam sebuah rangkaian kata. Istilah USDEK selanjutnya dipakai pertama kali dalam rapat pamong praja Jawa Barat. Lihat Dr.H.Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan USDEK, PN Penerbit Pradnjaparamita, Jakarta, 1963, hal.7 untuk istilah Manipol dan hal.10 untuk USDEK.
[13]Ibid., hal.7-8
[14]Ibid., hal.8
[15] Ibid., hal.11-14
[16] Ibid., hal.32
[17]http://sosok.kompasiana.com/2012/05/07/pidato-bung-karno-ganyang-malaysia/
[18] Dr.H.Roeslan Abdulgani, Pendjelasan Manipol dan USDEK, PN Penerbit Pradnjaparamita, Jakarta, 1963, hal.50-51
[19] Ibid.
[20]Pendidikan kewarganegaraan selanjutnya dilakukan oleh Orde Baru dalam format Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang diawali dari gagasan Presiden Soeharto tentang Eka Prasetia Pancakarsa pada 12 April 1976.