Narasi, Agustus, 2022

Sambatan, Budaya Kampung Yang Membumi

Satriyo Wibowo, Juara I Lomba Pancasila di Rumahku "Ceritakan Budayamu, Ceritakan Tradisimu" dalam Kategori Tulisan

Saat pagi merekah dan sang surya mulai terlihat dari timur seperti memanggil setiap orang untuk melakukan aktifitas, maka disitulah mulai terlihat kehidupan bermasyarakat mulai nyata.
Waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB tidak lama terdengar kentongan berbunyi yang dipukul oleh seorang warga, yang kalau di dengar tok tok tok tok bunyi yang kas mulai terdengar dari kejauhan oleh telinga warga satu kampung. Itulah suatu tanda pertemuan warga untuk mengajak mereka berkumpul dan melakukan sesuatu bersama dan bergotong royong. Satu persatu kaki yang melangkah dan mulai terlihat, satu datang lalu lainnya datang dan akhirnya mereka berkumpul saling berjabat tangan dan mulai berinteraksi satu dengan yang lainnya, tak lupa senyum dan tegur sapa sebagai orang jawa membuat pagi itu lebih syahdu dan akrab. Warga datang tidak dengan tangan kosong, namun mereka membawa kursi dan meja sebagai bentuk gotong royong mereka dalam membantu warga lain yang akan melaksanakan acara atau lebih dikenal dengan due gawe (punya acara), nyengkuyung bareng untuk kepentingan bersama. Itulah cerita pembuka tentang aktifitas yang ada di sekitar kami, dan itu menjadi satu budaya yang sering kami lakukan yang di kenal dengan budaya “Sambatan”.

Budaya ini masih sangat melekat di daerah kami tinggal yaitu desa Kebun baru, pucangan Kartasura sukoharjo. Bagi orang jawa kata sambatan berasal dari sambat (jawa) yang memiliki arti mengeluh. Namun sambatan disini merupakan sebuah tradisi budaya dengan kearifan gotong royong masyarakat, dimana secara bersama-sama warga membantu dalam hal tenaga secara sukarela tanpa imbalan atau upah untuk menolong orang lain. Budaya ini memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi manfaatnya, dasar kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dan berkelompok. Sambatan ini mengambil peran penting dalam kehidupan orang jawa. Semua tidak bisa dikerjakan sendiri atau disunggi sendiri namun kita butuh bantuan uluran tangan orang lain, dalam istilah jawa disunggi bareng akan menjadi lebih ringan. Itulah filosofi yang memiliki nilai luhur warisan nenek moyang yang harus di jaga serta di turunkan ke anak dan cucu kita, karena kelak mereka hidup dalam budaya jawa yang kental sekali dengan istilah gotong royong.

Sambatan ini biasa di istilahkan untuk mengajak warga lain saling terlibat untuk membantu warga atau tetangga kita yang memiliki acara seperti pernikahan, bedah rumah, kematian, pengecoran jalan dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan bersama. Di desa kami, salah satu sambatan yang sering dilakukan dan menarik untuk dibahas adalah sambatan pernikahan, dilakukan 2 kali sambatan yaitu sebelum acara dan sesudah acara. Pada persiapan acara dilaksanakan pada pagi hari, dimulai pada pukul 05.30 WIB yang hadir adalah bapak-bapak dari warga sekitar. Setiap kepala keluarga diwajibkan memiliki 4 kursi plastik dan 1 meja dengan dicantumkan namanya, nantinya dipakai untuk kebutuhan acara yaitu sebagai kursi untuk para tamu dan meja untuk menaruh minuman atau makan saat resepsi berjalan. Pada saat sambatan berlangsung maka para kepala keluarga sambil datang ke tetangga yang akan due gawe mereka membawa kursi dan meja tersebut, dikumpulkan di satu tempat dan nanti di tata bersama dengan interuksi oleh tetua atau bapak RT disana. Dengan kesadaran dan kerelaan masing-masing warga mulai berbagi tugas ada yang memasang tenda, mengambil bolopecah (piring, mangkok, gelas, sendok), menata kursi dan menghias kembar mayang. Biasanya semua berjalan natural, masing-masing warga tahu harus mengerjakan apa tanpa di arahkan dan di suruh-suruh walaupun memang ada orang yang sudah di tunjuk menjadi panitia acara.

Yang menarik dari aktifitas sambatan adalah adanya pertemuan dan komunikasi antar warga khususnya bapak-bapak sehingga pertemuan ini mengandung nilai silaturahmi dan bersosialisasi serta bercanda tawa yang membuat akrab satu dengan yang lainnya. Walaupun sambatan di lakukan di pagi hari yang biasanya orang enak-enakan tidur tarik selimut tapi warga kampung kami memilih untuk bangun dan sambatan, mementingkan kepentingan warga lainnya. Biasanya sambatan tidak di batasi waktunya kadang pukul 08.00 WIB sudah selesai, wargapun tidak di haruskan pulang jam berapa karena sifatnya nyengkuyung maka bebas karena masing-masing warga memiliki keperluan lain di pagi itu, ada yang bekerja atau ada keperluan lain namun itu tidak dipermasalahkan bagi warga lain. Sambatan dilanjutkan esok hari setelah acara selesai, itupun di jam yang sama.

Keesokan harinya bapak-bapak kembali ke tempat yang punya gawe dan kali ini sambatan untuk beres-beres mengembalikan semua yang kemarin di pakai acara. Biasanya memilah kursi dan meja untuk di kembalikan ke pemiliknya, fenomena yang menarik jika warga tersebut tidak bisa hadir di sambatan ke-2 makan warga lain yang akan mengantar kursi dan meja itu di taruh di rumah pemiliknya. Sehabis warga mengembalikan kursi mereka tidak terus pulang tetapi mereka kembali untuk membereskan bolopecah yaitu mengelapnya, menghitung, memasukkan ke keranjang dan mengembalikan ke tempatnya. Sering kejadian lucu jika waktu menghitung bolo pecah ada yang salah atau lupa maka diulang atau bahkan 1 jenis bolopecah bisa di hitung lebih dari 2 orang memastikan tidak salah hitung, disitulah serunya canda tawa dan saling peduli supaya tidak ada kekeliruan. Akhirnya setelah semua di selesaikan maka warga berpamitan kepada yang punya gawe untuk pulang, sah bahwa yang punya gawe mengucapkan terimakasih sedangkan warga lain memberikan dukungan dan selamat kalau acaranya lancar dan sukses. Jabatan tangan antar warga menjadi cerminan sambatan bahwa arti dengan berjabat tangan kita bisa melaluinya bersama, nyengkuyung bareng.

Sambatan untuk acara lainnya juga sama, dimana warga selalu hadir dengan arti aku nang kene opo seng isa tak ewangi? Artinya aku disini apa yang bisa aku bantu. Baik acara suka maupun duka sambatan ini selalu memberi dampak positif bagi masyarakat bahwa perhatian dan rasa ingin menolong adalah pondasi dalam bermasyarakat tanpa itu akan sangat rapuh kehidupan ini. Itulah cerita sedikit tentang budaya yang ada di desaku, saya yakin budaya yang lahir dari budi dan akal yang benar akan membawa kita ke nilai-nilai positif. Terima kasih

17 Desember 2021
Satriyo Wibowo

Bagikan