Jika diibaratkan sebagai gedung yang alasnya dibangun dari sebuah pondasi kokoh, maka tradisi dan kebudayaan merupakan batu bata dan kaki-kaki penopang berdirinya Indonesia. Sebagai negara berbudaya dan sangat lekat dengan kearifan lokal, acara-acara adat yang dilakukan baik secara periodik atau kontinyu pun tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan justru harus diuri-uri kelestariannya. Salah satunya tradisi yang setiap tahun selalu diadakan di dusunku, Dusun Tubokarto, Pracimantoro, Wonogiri.
Sebelum pandemi datang, setiap satu tahun sekali khususnya pada Bulan Syawal atau Suro, dusunku selalu menyelenggarakan kegiatan bersih dusun yang sering dikenal dengan istilah Rasulan. Tradisi ini dikemas dalam bentuk acara kenduri/slametan pada hari pertama, lalu diselenggarakan pesta rakyat berupa pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada hari berikutnya. Tradisi bersih dusun ini masih dipercayai sebagai sebuah upaya doa bersama memohon kemakmuran dan keselamatan dusun dari berbagai bencana dan kesialan, serta sarana kesyukuran atas keberhasilan panen, ketentraman, dan nikmat dari Allah⸺Sang Mahakuasa⸺kepada warga dusun kami.
Biasanya kegiatan Rasulan dilaksanakan dua hari berturut-turut, diawali dengan acara rewang (masak bersama) oleh ibu-ibu kampung di rumah kepala dusun, kemudian malam harinya diselenggarakan acara yasinan dan pengajian dengan mendatangkan seorang ustaz yang kondang. Lalu, besok malamnya digelar acara wayang kulit sampai menjelang subuh. Semuanya dilakukan secara gotong royong entah dari urun tenaga, waktu, maupun urun bahan-bahan makanan yang akan diolah menjadi beberapa menu. Sebelum berangkat rewang, perwakilan masing-masing KK akan menenteng plastik berisi beberapa kilo beras dan ketan untuk dimasak dengan bahan-bahan lain, yang pada acara kenduri sudah diolah menjadi makanan siap konsumsi seperti nasi tumpeng komplit dengan toping warna-warni, mulai dari suwiran ayam, telur, oseng tempe, serundeng juga gudangan. Disajikan pula beberapa iris jadah goreng dan lemper berbungkus daun pisang sebagai teman wedangan sambil mendengarkan ceramah selepas membaca Surat Yasin secara kolosal. Lalu sang ustaz pun mulai bicara, tampak beberapa jemaah mendengarnya dengan takzim, sesekali juga tertawa ketika ustaz tersebut melempar guyonan yang membuat beberapa orang tersentil. Meskipun berbeda-beda orang tiap tahunnya, dari sekian ustaz yang diundang memiliki kemiripan dalam menyampaikan ceramahnya pada warga; yakni menggunakan bahasa sederhana, santai, dan materi yang disampaikan bisa dipahami oleh semua warga yang memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan beragam. Malam itu bintang seperti ikut mengintip, bergabung bersama kami pada dalamnya tafakur dan muhasabah. Setelah acara selesai, sebagian ibu-ibu yang dipasrahi mengolah bagian pawon membagi-bagikan cetingan nasi gudang dan lemper ke rumah-rumah warga. Memastikan semua warga ikut menikmati menu lezat malam itu.
Hari kedua, acara rewangan masih berlangsung di dapur ibu kepala dusun. Asap-asap dari beberapa tungku kayu bakar terlihat mengepul, memperlihatkan api yang ganas melumat tumpukan kayu menjadi abu. Kajang yang sudah dipasang di emperan rumah Pak Kadus berdiri kokoh, hari kedua ini para warga lebih fokus berberes untuk persiapan acara wayangan nanti malam. Bakda zuhur, beberapa penjual sudah mulai berjejer menggelar lapak di halaman-halaman rumah warga. Tidak hanya warga dusun setempat saja yang menjajakan makanan, penjual dari desa lain pun tak mau ketinggalan bergabung memanfaatkan kesempatan untuk mencari pundi rupiah. Mulai dari mainan anak-anak, penjual burger dengan ‘kearifan lokal’, tahu kupat, mie ayam dan bakso, sosis bakar maupun goreng, mie tek-tek, pecel, dan makanan khas Rasulan; yaitu wedang jahe dan legondo ikut memanjakan mata-mata siapapun yang melewatinya. Sungguh membuat ngiler. Selepas magrib suasana makin ramai, sambil menunggu wayangan dimulai sekitar pukul 21.00 nanti, para warga dari usia anak-anak hingga lansia memadati tenda-tenda dadakan di kanan-kirinya. Tidak ada raut wajah yang menampakkan kesuraman, semuanya larut dalam nuansa gembira. Makin malam, kerumunan semakin padat. Warta tentang tradisi Rasulan memang sangat mudah viral terdengar sampai ke dusun-dusun tetangga. Maka tak heran, suasana Rasulan Wayang memang jarang sepi pengunjung. Tiba saatnya cerita wayang dimulai, pengunjung yang awalnya bercengkrama di tenda-tenda makanan kini mulai merapat di sekitar halaman rumah Pak Kadus. Dalang dan sinden saling berkolaborasi merajut cerita dengan dramatik hingga subuh tiba.
Rasulan memang menjadi momen paling ditunggu oleh siapapun setiap tahunnya. Bagiku, Rasulan adalah tradisi yang mencerminkan semangat kebersamaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat desa. Segala hal dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kerja sama. Semua warga berbaur, anak-anak dapat bermain, semua orang miskin ataupun kaya bisa sama-sama makan enak, perekonomian mikro bisa bergerak melalui lapak-lapak warga, serta penikmat wayang pun bisa terhibur dengan permainan dalang berpakaian necis.
Meskipun tak begitu mengerti tentang cerita-cerita wayang yang dibawakan, aku sangat menikmati suasana damai pada momentum malam itu. Ada satu kesan positif yang kutangkap dari tradisi ini; Rasulan mengimplementasikan sifat dasar dan fitrah manusia yang saling menyayangi, suka bahu-membahu dalam menyelesaikan sesuatu, dan tentunya semangat berkasih sayang dengan sesama ciptaan Tuhan. Namun dua tahun ini, pandemi membuat tradisi kami berhenti berdenyut. Keselamatan dan antisipasi untuk menekan angka Covid-19 masih menjadi concern utama bagi seluruh warga dan pemerintah desa. Hmm … semoga saja pandemi perlahan segera pergi ya, agar tradisi tahunan kami bisa digelar kembali. Nah, lalu bagaimana dengan tradisi di dusunmu?