Kopi Hitam dan Cerobong Asap Pabrik
Suara cerobong asap pabrik terdengar memekakkan telinga, menandakan bahwa kegiatan pekerja usai untuk hari ini. Padahal jam masih menunjukkan pukul 13.00, waktu yang masih terlalu dini untuk pulang dan mengistirahatkan diri. Padahal dompet sedang tipis-tipisnya, terkurangi jatah jam kerja karena pesanan sepi.
Abdillah mendudukkan bokongnya pada kursi bambu di warung, dekat tempatnya bekerja. Dipesannya secangkir kopi yang mengepulkan asap, menguap bersama kegundahan hati sang penikmat. Dinikmatinya kopi yang mengalir di tenggorokan, sembari melepas penat yang menista. Bukan karena lelah bekerja, tapi memikirkan lusa akan makan apa.
“Dil, sudah lama?”
Abdillah menoleh, di sampingnya menjulang tubuh tegap seorang pria. Lalu dilihatnya arloji yang melingkar di pergelangan, pukul 16.00, jam pulang kerja yang sesungguhnya.
“Wajahmu itu, loh, kusut banget. Ada masalah?” Tanya pria itu lagi.
Abdillah merengut, air mukanya terlihat begitu kesusahan. Lantas dihelanya napas sebelum menjawab, “Kerjaan sepi. Konsumen hilang di pandemi gini.”
Setelahnya hening.
Keduanya terdiam, memilih menikmati suasana sore di pinggiran kota. Bergelut dalam pikiran masing-masing, hingga salah satunya buka suara.
“Ealah, sila Pancasila salah satunya, ‘kan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Terus kenapa kesejahteraan masyarakat golongan bawah seperti kita ini malah nelangsa. Harusnya yang diizinkan oleh pemerintah beroperasi hanya pabrik produk dalam negeri, Ton.”
Pemuda yang bernama Anton itu menoleh, mengernyitkan dahi pertanda bingung dengan mindset rekannya.
“Kamu nyalahin siapa, Dil? Pemerintah?”
“Iya. Lha yang ngasih izin siapa!” Serunya meninggi. Entah sejak kapan emosi Abdillah menggebu.
“Ya, jangan menyalahkan pemerintah terus-menerus. Barangkali perbaikan mereka memang ndak memunculkan hasil instan, semua butuh proses,” balas Anton.
Abdillah berdecak malas. “Kamu bisa bilang gitu karena pabrikmu ndak sepi, Ton. Masih bisa mikir besok makan apa.”
Anton menghela napas, mencoba menetralkan emosi yang sempat tak beraturan. Disesapinya secangkir kopi hitam dan terdiam sejenak, membiarkan rasa pahitnya bergerilya sepanjang kerongkongan.
“Kamu jangan hanya melihat dari sudut pandangmu, Dil. Coba pikir, kalo pabrik asing ditutup begitu saja, akan banyak pengangguran, pabrik dalam negeri memang sudah mampu menampung? Terus, pendapatan negara juga berkurang banyak dari hasil pajak. Banyak aspek lainnya juga yang harus diperhatikan pemerintah. Kamu kira enak ngambil kebijakan sebesar itu? Juga masalah pabrik tempatku kerja. Kamu nggak ingat PHK besar-besaran tempo waktu karena terancam bangkrut?” Ungkap Anton, menohok sejatuh-jatuhnya pandangan sang rekan.
Abdillah terdiam, matanya menatap nanar pada cerobong asap pabrik tempatnya bekerja yang menjulang, memikirkan argumen sang rekan yang sayangnya benar.
“Menyampaikan aspirasi sebagai rakyat itu benar, Dil. Akan tetapi ada prosedurnya. Kamu juga nggak mungkin berpendapat tanpa membuka mindsetmu dari sudut lain. Kita saat ini berjuang, begitu pula pemerintah. Bukankah lebih baik kalau sejenak kita berdamai dengan keadaan, dan husnudzon pada pemerintah? Mereka berjuang dan kita mendukung,” ucapan terakhir Anton, menutup percakapan mereka sore itu.
Abdillah memutuskan untuk diam, memikirkan ungkapan sang rekan—berdamai dengan keadaan. Lalu ia menenggak kembali secangkir kopi hitam pekatnya, yang tentu saja sudah dingin. Ia mencoba menikmati, kebisuan sementara akan mindset-nya di warung kopi, dekat cerobong asap pabrik.
Nganjuk, 24 Maret 2021
*Yuyun Yuliana, remaja kelahiran Juli 2003 di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh pendidikan SLTA akhir di SMK Islam Ulul Albab