Rasanya tidak ada nilai (value) yang sampai diperingati hari kelahirannya setiap tahun seperti Pancasila. Di satu sisi hal ini bisa disebut semacam “kebesaran” dari filosophische grondslag bangsa dan negara kita. Namun di sisi lain hal tersebut juga bisa dilihat sebagai pertanda bahwa Pancasila belum juga menemukan “kejejegannya” sebagai sebuah kerangka metodologis dan praksis bagi cita-cita luhurnya.

Ya, Pancasila tak ubahnya seperti kitab suci, diskursus yang tak pernah bertepi. Berbagai tafsir, praktek, atau pembaharuan, terus-menerus mengalir. Dia hadir dari angkringan di pinggir trotoar sampai sidang umum MPR. Entah apapun dalilnya Pancasila diyakini sebagai roh yang tertanam dalam tubuh Negara bernama Indonesia.

Orde Lama menerjemahkan Pancasila pada tataran operasional dalam Resopim (Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional) serta Manipol-Usdek (Manifesto Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Bung Karno tak henti-hentinya bereksperimen memperkaya muatan sila demi sila yang dikorespondensikan dengan situasi bangsa saat itu.

Titik tekan Bung Karno adalah aksi-aksi kolektif yang dipelopori oleh partai, organisasi kekaryaan, sampai institusi pemerintahan dalam menjiwai dan mempraktekkan Pancasila. “To Build The World A New” adalah eskpresi puncak dari semua eksperimen tersebut dimana Pancasila ditawarkan sebagai ideologi alternatif dalam pidato di depan Sidang Umum PBB oleh Bung Karno.

Sementara Orde Baru membawanya ke ekspresi yang lebih ekstrim. Bila di masa sebelumnya Pancasila hadir sebagai common project, Orde Baru menjadikannya untuk melakukan dominasi melalui ideologi tunggal yang monolitik dan dogmatis. Lihat saja praktek Manipol berubah menjadi BP7 yang bertanggung jawab untuk menyebarkan butir-butir Pancasila lewat berbagai penataran P4. Proyek hegemoni lebih dalam, hingga ke desa-desa. Isinya jauh dari pidato yang membakar namun begitu leterlek (text book) hingga merasuk ke alam bawah sadar setiap warga. Aktornyapun bergeser dari semua komponen bangsa menjadi single agent: militer.

Hasilnya represifitas atas ekspresi politik rezim tak terhindarkan. Dalil ini kemudian diletakkan sebagai Pancasila Sakti serta ideologi pembangunan nasional. Bisa ditebak bagaimana produk sejarah yang melahirkan kepatuhan buta dan pengertian yang dangkal dari warga negara. Setiap upaya untuk mendiskusikan Pancasila secara kritis bahkan dari sumber asli sekalipun dipandang sebagai upaya merongrong kesaktian Pancasila. Jadilah Pancasila sebagai mitologi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta masyarakat Indonesia.

Pemaknaan dan penerapan Pancasila telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan dari masa ke masa. Setiap negara bangsa memiliki pengalaman masing-masing dalam mengukuhkan jati diri mereka. Ketika semua orang, kelompok, serta negara seiya-sekata meletakkan Pancasila sebagai karakter nasional maka sudah barang tentu ia harus mengalami proses korespondesi terhadap masa sekarang dan masa depan. Karena Pancasila bukanlah ayat suci yang diwahyukan Tuhan maka dengan collective national consciousness ia harus menjadi rujukan dan spirit penyelesaian masalah kebangsaan dan tata dunia global ke depan. Secara sadar para founding fathers meletakkan Pancasila sebagai ideologi yang kosmopolitan yang lahir dari taman sari kebudayaan nusantara untuk peradaban dunia.

Disinilah tugas generasi sekarang dalam memformulasikan piranti-piranti mutakhir (up to date) bagaimana Pancasila menjadi hidup dalam laku kehidupan manusia, bangsa, Negara Indonesia secara utuh. Bagaimana eksistensi Pancasila sebagai sebuah narasi besar memiliki role model dalam membangun peri kemanusiaan, peri ketuhanan, national identity, demokrasi, serta peri keadilan bagi umat manusia yang sekarang terkukung dalam clash of civilization, krisis energi, korupsi, serta kemajuan teknologi informasi yang massif dan massal.

Dalam edisi ini, redaksi mencoba membuat skema perbandingan bagaimana proses sebuah nilai bekerja dalam negara bangsa serta dipromosikan ke masyarakat internasional. Kami mengambil tiga arus besar yaitu social democracy Jerman, Humanisme Perancis, serta Bolivarian dari Amerika Latin.

Jerman mengejawantahkan ideologi sosial demokrasi dalam konstitusinya, Grundgesetz. Grundgesetz memiliki lima prinsip yaitu negara republik, negara demokrasi, negara federal, negara hukum, dan negara sosial. Grundgesetz menjadi  dasar penyelenggaraan pemerintahan, hukum, birokrasi, dan otonom/swapraja yang berupa komune-komune masyarakat yang diakui keberadaannya oleh negara. Sosialisasi Grundgesetz yang dijalankan semenjak kanak-kanak hingga dewasa melalui pendidikan kewargaan yang massif  tanpa melupakan pengalaman kebangsaan di masa lalu seperti era Fasisme Nazi dan praktik demokrasi Republik Weimar.

Perancis dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia telah menjadi landasan dasar bagi konsep pengakuan atas hak asasi manusia dan penerapan demokrasi konstitusional. Prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan dan kesamaan hak individu, serta kebersamaan nampak demikian kental dan mendarah-daging pada individu dan masyarakat Perancis. Hukum dan peraturan tak lain adalah manifestasi prinsip-prinsip liberte, egalite, dan fraternite. Hukum adalah alat untuk menjamin kebebasan dan larangan adalah pengecualiannya, sementara sanksi dibuat bagi pelanggaran atas kebebasan. Tak berlebihan jika Thomas Jefferson menyatakan, “Setiap orang memiliki dua negara yaitu negaranya sendiri dan Perancis.”

Pengalaman teranyar adalah praktik konstitusionalisme dan republikanisme di Venezuela. Meskipun Hugo Chavez mendapatkan stempel sebagai anti demokrasi justru eksperimentasi pendidikan kewargaan melalui buku saku konstitusi mendapat partisipasi yang luar biasa. Pemerintahan Chavez membentuk lingkar-lingkar Bolivarian yang bertugas terjun langsung ke masyarakat hingga ke tingkat arus bawah memberikan panduan operasional apa saja hak dan kewajiban warga. Dengan demikian terdapat semacam usaha untuk mentransformasikan konstitusi menjadi senjata ideologis dalam kehidupan dan persoalan sehari-hari.

Bagikan