Bangsa yang besar merupakan bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Uraian kalimat tersebut, jika dihayati mengandung makna yang sangat besar. Artinya, jika ingin menjadi suatu bangsa yang besar, kita diwajibkan menghargai semangat dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pahlawan. Namun, menghargai tanpa adanya perbuatan yang nyata dari diri kita, hanya membuat uraian kata-kata tersebut sebatas teori belaka. Untuk itu, kita diharuskan meneladani dan berbuat seperti sikap-sikap yang terkandung dalam jiwa pahlawan. Hal ini, dimaknai sebagai penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para pejuang, baik yang mendapatkan gelar pahlawan ataupun tidak.

Opini yang tertera dalam paragraf pertama, merupakan suatu uraian mengenai seharusnya bangsa ini bersikap dalam menghargai jasa para pahlawannya. Dalam hal ini ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para The Founding Fathers, harus dinilai oleh seluruh aspek masyarakat sebagai suatu hadiah yang sangat besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Karena, Pancasila dapat menyatukan seluruh komponen bangsa dari perbedaan yang ada ke dalam suatu integrasi bangsa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses penetapan dan perumusannya, tidak jarang menuai perdebatan yang sangat panjang.

Pada akhirnya, 18 Agustus 1945 ditetapkan sebagai Dasar Negara Indonesia. Ketika itu, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghasilkan tiga keputusan. Salah satunya, pengesahan Undang-Undang Dasar Negara. Undang-undang yang disahkan, terdapat rumusan Pancasila sebagai suatu dasar negara, yaitu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, yang merupakan revisi dari Piagam Jakarta. Setelah mengetahui tanggal penetapan Pancasila, maka pada hari itu Pancasila secara resmi menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang merupakan pencerminan dalam kepribadian bangsaHingga sampai saat ini, Pancasila juga masih berlaku sebagai suatu pedoman dalam kehidupan benergara. Walaupun, keadaan politik dan kondisi dinamika masyarakat telah melewati zaman yang berbeda. Artinya, ideologi dasar negara kita merupakan ideologi yang terbuka. Maksudnya, Pancasila merupakan ideologi yang dapat menyesuaikan diri dalam melewati proses zaman yang berbeda tanpa mengubah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Keterbukaan tersebut menyebabkan, bahwa Pancasila memang sudah terbukti menyatukan masyarakat Indonesia yang sifatnya multikultural dan heterogen.

Lantas, mengapa ada sebagian kelompok ataupun individu yang memperdebatkan Pancasila? Apakah Pancasila memiliki suatu kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya? Merujuk kepada pertanyaan tersebut, mungkinkah mereka tidak puas dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila? Jawabannya, mungkin saja iya dan mungkin saja tidak. Lho kok gitu? Karena, ketidakpuasan mereka tersebut ditandai dengan tidak pahamnya arti yang sebenarnya dari Pancasila dan makna-makna yang terkandung dalam Pancasila.Kemungkinan yang mungkin terjadi, juga pada sebagian kalangan ataupun individu yang memperdebatkan Pancasila disebabkan perilaku masyarakat baik dari lapisan bawah maupun atas, yang sikapnya tidak mencerminkan nilai-nilaiĀ  dari Pancasila. Nah, kalau begitu Pancasila di masa sekarang dimaknai seperti apa ya? Lalu, Pancasila sendiri sebenarnya dalam kehidupan saat ini bagaimana ya? Pertanyaan tersebut akan penulis paparkan dari opini pribadi tanpa adanya suatu intervensi dari pihak manapun. Sebenarnya, Pancasila sendiri harus dimaknai sebagai suatu pedoman atau asas dalam kehidupan kita di negara ini.

Lihat saja, sila-sila yang terkandung di dalamnya. Semua kandungan tercakup di dalamnya. Kurangnya apa coba ya? Jika ingin membicarakan tentang agama dan kandungannya, lihatlah pada Sila Ke-1, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Apapun sebutan untuk Tuhan dan apapun agamanya, maka Tuhan yang sifatnya suci dan tidak pernah salah, ditempatkan dalam posisi awalan. Karena, Tuhan-lah yang mengatur kita semua hidup di alam yang sifatnya sementara ini. Eh iya, padahal dunia hanya sementara. Tapi, mengapa para perilaku kriminal ataupun korupsi tidak takut pada Tuhan ya. Pelaku kriminal mungkin saja terdesak dalam motif ekonomi, ataupun yang lain. Namun, penulis tidak sepenuhnya membenarkan sikapnya lho. Eh, kalo pejabat negara bagaimana ya? Sisi ekonomi hidupnya sudah terjamin dan enak, rumah mewah, fasilitas tersedia, akses ke semua lapisan bisa, dan yang lainnya (tidak cukup untuk membahas enaknya jadi pejabat negara). Keenakan menjadi pejabat yang telah diuraikan, mengapa para perilaku korupsi telah menyasar kepada semua pemerintahan ya. Padahal, ketika pelantikan jabatan mereka sudah disumpah lho memakai kitab sucinya dari agama masing-masing dan pastinya pejabat tersebut memiliki pengetahuan yang cakap dalam memahami Pancasila.

Kalau kita ambil contoh pada kasus pertama, mungkin saja dewasa ini Pancasila hanya dimaknai seperti teori-teori, tanpa harus mengikuti kandungan yang ada di dalamnya. Lalu, Pancasila dalam kehidupan saat ini tidak dipahami dan dihayati dengan baik. Mungkin Pancasila merupakan suatu ideologi yang sudah termaktub dalam negara. Namun, tidak wajib untuk dipahami dengan baik. Padahal, sila kedua menyangkut tentang perilaku kita untuk menghargai manusia yang lain, dan sebagai manusia yang memiliki akal, diwajibkan memanusiakan manusia yang lain dengan beradab.

Lanjut ke sila ketiga yang kandungannya menyangkut rasa nasionalisme yang tinggi dan kesatuan bangsa Indonesia, yang terdiri dari Sabang sampai Merauke. Untuk itu, nilai-nilainya kita harus bergaul kepada sesama manusia. Jangan hanya karena perbedaan suku dan agama, membuat kita menjadi kuper tidak mau bergaul kepada yang lain. Berlanjut ke sila yang keempat, tentang suatu perwakilan rakyat di dalam lembaga-lembaga negara. Seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, perwakilan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat rakyat harus mengedepankan sikap kebijaksaan dalam musyawarah yang berujung untuk mufakat.

Terakhir, sila kelima yang menyangkut tentang keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia, tanpa membeda-bedakan status sosialnya ataupun pekerjaan. Maksudnya, tidak boleh pejabat negara mengkorupsi uang rakyat. Yang semestinya, uang rakyat tersebut untuk mensejahterakan negara dan seluruh rakyat. Namun, malah dipakai untuk foya-foya bagi pribadi dan keluarganya. Kurang lebih penjelasan singkatnya sih begitu ya, untuk lebih memperjelas tulisan ini, penulis akan mencoba menanya kepada mahasiswa dan mahasiswi yang berada di perguruan tinggi. Pertama, kepada Tsabita Putri yang merupakan mahasiswi dari Universitas Indonesia dan jurusannya Antropologi Sosial. Menurut dia, Pancasila sebuah simbol yang menjadi dasar budaya masyarakat dari dulu sampai sekarang. Namun maknanya sebagai simbol sudah banyak yang terkikis dengan beberapa hal, misalnya kapitalisme. Karena menurut dia, saat ini kemanusiaan, kesejahteran, dan keadilan hanya omong kosong. Lanjut dia mengatakan, mentalitasnya otakĀ  pemerintah dan masyarakat sudah berubah menjadi mentalitas ekonomi. Makanya nilai-nilai Pancasila pun sudah mengalami pergeseran, bukan menjadi pedoman namun hanya sekedar simbol dan bahkan ikon.

Sedangkan untuk realitas dari Pancasila sampai saat ini, menurut Tsabita masih akan selalu ada dan tetap menjadi dasar negara Indonesia hingga hari ini dan seterusnya. Akan tetapi, ruang untuk implementasinya sudah tidak ada. Karena, nilai-nilainya sudah digantikan oleh nilai dan paham yang seakan-akan lebih manusiawi (ataupun duniawi) dan rasional. Pendapat tersebut benar adanya, karena praktik kehidupan hingga hari ini masih berorientasi kepada kapitalisme. Malah justru berbanding terbalik dengan nilai-nilai ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan realitasnya juga 180 derajat berbeda, karena Pancasila yang seharusnya sakral, malah menjadi bualan semata. Demikian opini yang saya paparkan. Sebenarnya, masih banyak opini yang lain dari berbagai mahasiswa. Namun, penulis akan membahasnya di kemudian hari. Semoga opini ini, dapat menjadi pelajaran untuk kita semua dalam memaknai Pancasila saat ini. Penulis juga berharap, agar Pancasila dimanfaatkan sebagai suatu pedoman kita dalam berperilaku di negara Indonesia.

Sekian dan Terima Kasih.

Tulisan oleh: Albert Kevin Denny, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2020
Bagikan