Efek Samping Demokrasi Kita
Reformasi ‘98 telah membawa corak demokrasi Indonesia yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Tidak saja terhadap model di masa Orde Baru yang hampir totaliternamun juga terhadap model pasca Kemerdekaan hingga masa Orde Lama. Demokrasi kita bahkan mengalami dialektika yang luar biasa dengan berbagai eksperimentasi zig-zagnya. Kita ingat bagaimana untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, sebuah pertanggungjawaban presiden ditolak oleh MPR. Setelah itu, lebih dramatis lagi. Seorang Presiden RI dimakzulkan lewat Sidang Istimewa MPR setelah tarik ulur politik yang tak menemukan titik kompromi.
Selanjutnya, sejak tahun 2004, kita mulai menganut demokrasi langsung. Selain anggota DPR, seorang presiden dan kepala daerah juga dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 mengalami amandemen, bahkan hingga lima kali. Hasilnya hampir merombak total tatanan demokrasi sebelumnya. Lahir Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, hingga sejumlah komisi negara. Bersamaan dengan itu, kita mulai mengenal corak politik baru: politik pencitraan. Muncul pendekatan baru dalam politik, yakni politik kuantitatif yang menitikberatkan pada angka keterpilihan seorang kandidat. Kemunculan lembaga-lembaga survei dan konsultan politik menjadi keniscayaan berikutnya.
Hampir satu dekade corak politik ini bertahan untuk kemudian berubah bersamaan dengan munculnya corak baru yang menjadi antitesisnya. Mungkin kita bisa menyebutnya dengan “politik prestasi” (best practice).
Kemunculannya ditandai dengan lahirnya seorang kepala daerah yang memiliki rekam jejak dan prestasi kerja yang dinilai cukup kinclong. Kala itu, sepak terjang seorang Wali Kota Solo tiba-tiba menjadi buah bibir dan pembicaraan orang se-Indonesia. Saat dia maju dalam Pilgub DKI tahun 2012 dan berhasil memenangkannya, namanya semakin berkibar dan kali ini warga dunia yang memperbincangkannya. Seolah tak terbendung, sosoknya bahkan disebut sebagai salah satu orang berpengaruh di dunia ketika ia berhasil memenangkan dua kali pilpres yang diikutinya. Kita tentu tahu siapa sosok yang dimaksud.
Seperti sudah menjadi hukum kehidupan, corak politik yang dibawanya pun kemudian melahirkan antitesisnya. Namun kali ini cukup menguras tensi dan emosi bangsa. Karena muskil untuk melawannya dengan cara konvensional maka dibutuhkan “ramuan” khusus agar mampu melumpuhkan supremasi yang dipegangnya. Dan seperti yang kita tahu dan lalui kemudian, politik identitas adalah jawabannya.
Sayangnya, politik identitas yang tersaji bukanlah yang banyak termaktub dalam teori-teori politik pada galibnya, melainkan politik identitas yang didasarkan pada energi negatif dan bahkan destruktif: dusta dan fitnah. Aktornya bukan tokoh politik resmi melainkan opinion leader informal. Yang disasar juga bukan keberpihakan melainkan sentimen dan emosi massa. Isu yang dipakai pun luar biasa riskan: SARA. Parpol yang berkepentingan hanya mendompleng dalam rangka kepentingan elektoral. Akhirnya, selain tidak rasional, politik
indentitas yang berlangsung juga tidak memiliki alamat yang jelas. Berbeda dengan praktik di luar.
Di AS, kampanye American First dan gugatan terhadap keberadaan kaum imigran jelas disampaikan oleh Donald Trump, sang presiden terpilih. Di Perancis, seruan yang kurang lebih sama juga jelas aktornya, Marine Le Pen, pemimpin Partai Front Nasional. Demikian juga di Belanda dengan sosok Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan Belanda. Lalu di Italia ada Partai League, Partai Rakyat di Denmark, dan Partai Alternatif untuk Jerman di Jerman. Semua kampanye mereka senafas: menjadikan identitas sebagai isu utama ideologi mereka. Dan yang paling penting, aktor politiknya jelas.
Berbeda dengan di sini. Semua partai dan politisi mengaku Pancasilais, ber-Bhineka Tunggal Ika, menjunjung tinggi konstitusi, namun diam-diam bermain api dengan kelompok-kelompok intoleran dan destruktif. Yang marak diterima publik kemudian justru semburan dusta, bukan sikap politik yang mencerdaskan bangsa. Impaknya, polarisasi sosial hingga ancaman disintegrasi menganga di depan mata.
Kenyataan ini telah menjadi bagian dari “efek samping” dalam dialektika demokrasi kita selama lebih dari dua dekade Reformasi. Kecenderungannya juga eskalatif. Sejak kita mengenal demokrasi langsung kala itu juga kita mulai mengenal money politics. Praktiknya bahkan semakin banal dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Kesadaran politik rakyat rusak dibuatnya. Jalan pikiran warga jadi pragmatis, transaksional, dan egois. Jauh dari filosofi agung gotong-royong. Etika dan kepatutan politik menipis. Keteladanan dari elit pun menjadi barang mahal dan langka. Dan ketika caci maki, fitnah beserta dusta menjadi amunisi utama dalam politik, kiranya, itulah efek terparah dari demokrasi yang kita jalani sejauh ini.
Memang, di satu sisi, Pilpres 2019 memperlihatkan kepada kita bagaimana angka partisipasi warga begitu tinggi – hingga di atas 80 persen. Keberpihakan mereka terhadap para calon presiden benar-benar murni. Bahkan politik uang disebut tidak mampu membobolnya. Namun sayang, keberpihakan itu tidak terbangun di atas nalar yang sehat. Yang ada justru sentimen dan bahkan nalar kebencian. Akhirnya, politik yang semestinya melahirkan keadaban publik malah menjadi manifestasi dari dekadennya perilaku kita.
Jika diibaratkan sebagai mobil, demokrasi kita hari ini mungkin sudah sekelas Rolls-Royce. Namun sayangnya ia berjalan di jalan yang penuh lubang. Sopirnya pun baru belajar dan tidak tahu manual penggunaannya. Para penumpangnya juga awam dan gagap dengan segala kemewahan yang ada di dalamnya. Dan dengan mobil itu, kita sebenarnya hanya ingin pamer dan sok disebut maju dan modern agar dipandang hebat dan dipuji oleh pihak luar. Dus, jalannya mobil yang super mewah itupun menjadi ugal-ugalan. Ia tidak menghasilkan sebuah perjalanan yang mengesankan dan tidak mampu mengantarkan pada tujuan yang telah ditetapkan. Alih-alih membuat nyaman, mobil yang kita kendarai malah membuat porak poranda sebuah perkampungan.
Melihat semua kenyataan itu rasanya tidak cukup jika proses demokrasi kita dihampiri dengan sekadar kritik dan evaluasi belaka. Dengan biaya yang tidak sedikit dan begitu besarnya nilai yang dipertaruhkan, sudah saatnya kita berefleksi akan paham dan praktik demokrasi kita sejauh ini. Momen pasca Pemilu 2019 yang telah begitu menguras energi bangsa dengan berbagai prahara dan korban jiwa, kiranya menjadi momentum yang tepat untuk hal ini.
Karena yang diperlukan adalah refleksi maka ia butuh pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar. Misalnya; kira-kira sudah di jalan yang benarkah demokrasi kita? Semakin sehatkah demokrasi kita, atau ia hanya banyak membuka ruang kebebasan saja tanpa kedewasaan para pelakunya? Seberapa kompatibel sebenarnya bangsa ini dengan demokrasi langsung? Jika kompatibel, di titik mana mis atau erornya? Seberapa salah kita menurunkan derajat MPR? Dan seberapa benar kita menghapus GBHN? Benarkah kita haruskembali pada “Demokrasi Pancasila”? Mundurkah kita jika mewacanakan soal ini kembali? Perlukah demokrasi Indonesia disetel ulang ke factory setting-nya? Atau yang dibutuhkan sekadar modifikasi ulang saja? Dst.
Semua pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mengajak kita kembali ke (atau beromantisme dengan) masa lalu. Ini juga bukan sikap skeptis atas demokrasi itu sendiri. Namun sebuah refleksi memang selalu membutuhkan renungan-renungan mendalam guna menemukan kesalahan-kesalahan mendasar untuk kemudian kita perbaiki bersama. Bukankah orang-orang agung mengajarkan itu?