Narasi, Juni, 2024

Ber-Pancasila secara Sederhana

Oleh Ika Wita Ersalina, Juara Lomba Pancasila di Rumahku Dengan Tema "Perempuan dan Pancasila",

Berbicara mengenai kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk tampil di ranah publik sebenarnya bukan hal yang baru. Di zaman Majapahit kita akan mengenal Suhita, yang nama dan kisahnya menjadi inspirasi bagi seorang penulis ternama. Suhita merupakan seorang ratu dari kerajaan tersebut dan menjadi ratu terakhir yang memegang kuasa. Sebelumnya ada pula rani Tribuhwana Tunggadewi sebagai ratu pertama yang memegang kuasa. Kemudian ada pula ibu Suhita yang bernama Kusumawarddhani, ia menggantikan suaminya yang mengundurkan diri dan memilih jalan sebagai pendeta.

Agar tidak terkesan Jawa-sentris kita dapat menyebut sosok-sosok hebat seperti Laksamana Malahayati dan puan-puan “Inong balee” yang berani menentang para pedagang Belanda yang membawa misi imperialisme kuno sebagai cikal bakal adanya kolonisasi. Ada pula Martha Christina Tiahahu seorang gadis belia yang saat itu tidak segan-segan membantu kaum pria mengangkat senjata melawan Belanda. Dalam bidang pendidikan ada Rahma El Yunusiah yang mendirikan sekolah khusus perempuan di Sumatra Barat (Sumbar). Tak ketinggalan rekannya yang sama-sama dari Sumbar, seorang jurnalis perempuan pertama, Roehana Koeddoes, pendiri surat kabar Soenting Melajoe.

Tak lupa jasa ibu Kartini yang hari lahirnya diperingati setiap tahun. Ah terkadang kesal pula peringatan hari nasional semacam hari Kartini hanya sebagai peringatan simbolik saja dengan memakai pakaian adat. Alangkah baiknya bila ada semacam penggalian kisah yang cukup mendalam sesuai usianya dan dilombakan biar hati senang kalau mendapat hadiah serta meningkatkan daya tahan tubuh agar tidak gampang tertular penyakit. Kembali lagi ke Kartini atas pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya dengan para sahabat pena di Belanda. Beruntung bagi Kartini mendapatkan sambutan baik dari para liberalis Belanda, salah satunya J.H. Abendanon. Sehingga terdapat kesamaan ide dalam pembebasan berpikir dan berpengetahuan tak pandang jenis kelaminnya. Ya walaupun saat itu masih banyak catatan seperti kurang menyeluruhnya pendidikan bagi kalangan rakyat biasa dan hanya diterima kalangan bangsawan saja. Ah mengingat Kartini kerap kali teringat akan secuil cerita mengenai Sasrokartono dan tembang ciptaannya yang terkenal, yakni Sugih Tanpo Bondo. Salam hormatku kepada engkau wahai Sang Kantong Bolong, semoga karyamu yang kerap dibawakan Mbah Tedjo dapat kami amalkan.

Dari tokoh-tokoh tersebut kalau dirasakan ya perempuan itu bisa kok berperan di bidang-bidang yang diinginkan. Oleh karena itu Anda jangan ragu mengepakkan sayap di angkasa. Masih banyak lagi kok tokoh-tokoh lain yang tidak disebutkan, karena narasi ini kan bukan untuk ajang unjuk kebolehan hafalan tokoh perempuan. Rasanya pula kalau mendasarkan kaitan antara pemisahan peran perempuan akibat alasan agama sungguh kurang tepat. Pasalnya beberapa contoh di atas yang telah disebutkan merupakan penganut agama yang taat. Hal ini dilihat dari latar belakang keluarganya yang agamis sebagai sebuah modal kultural katanya bang Pierre Bourdieu. Tapi tak masalah tuh harus berperan di luar urusan perdapuran, persumuran, dan perkasuran. Entah memang mendapatkan privilege karena modal sosial dan kultural yang dimiliki atau memang lagi zamannya kalau bisa melawan ketidakadilan ya lawan saja sesuai kemampuan. Toh dalam urusan mewujudkan Ketuhanan Yang Maha Esa pula dalam salah satu ajaran keagamaan sangat gamblang dijelaskan kalau Tuhan tidak melihat cewek atau cowok karena jenis kelaminnya, melainkan bagaimana ia menghambakan diri pada-Nya.

Kalau dipikir-pikir lagi melawan ketidakadilan sesuai kemampuan pun bukanlah sebuah hal yang tidak mungkin walaupun harus menimbang-nimbang konsekuensi atau kesulitan yang akan dihadapi. Sebuah ungkapan mengatakan “Katakanlah yang benar walaupun pahit adanya”.  Apalagi zaman terus berdinamika, sehingga mau tak mau kita harus mengikutinya tapi jangan sampai hak-hak yang sudah ditetapkan sejak berwujud bayi manusia bersedia diabaikan begitu saja. Baik laki-laki maupun perempuan toh sama-sama manusia kan?. Jadi jangan alasan menyakiti mereka yang dianggap lemah biar mentalnya kuat. Misalnya kalau ada perundungan, pasti siapa pun bisa menjadi targetnya. Suarakan eksistensi dengan cara yang elegan agar perundung tertampar dengan sendirinya. Jangan balas kekerasan dengan kekerasan, toh perang berakhir dengan adanya diplomasi. Intinya kemanusiaan di atas kekerasan sebagai tanda tegaknya keadilan dan majunya peradaban.

Mengatakan kebenaran sendiri tentulah banyak caranya, asal jangan bohongi hatimu, gengs, agar tidak menimbulkan kebohongan-kebohongan yang lain. By the way, bisa loh untuk mengungkapkan kebenaran dalam kegiatan sederhana. Yap rerasan, gosip, musyawarah dan sejenisnya. Tapi jangan sampai nih menyalahgunakan fasilitas yang ada dan malah menjerumus ke pencemaran nama baik yang kadang dianggap sebagai pasal karet. Misalnya nih kalau ada yang terkena pelecehan seksual baik cewek maupun cowok, karena ini nggak pandang soal payudara. Kalau masih ragu menceritakan kronologinya secara terbuka, bisa lewat musyawarah dengan teman terdekatmu. Karena dari situ sengaja atau tidak akan menjalar ke bagian dunia yang lain, kan sifatnya rerasan adalah cepat lambat akan menyebar. Syukur-syukur bila hal itu akan memancing pengakuan lain sehingga terciptalah persatuan melawan pelecehan seksual. Apalagi zaman pemanfaatan internet yang semakin kencang ini mempermudah menggalang solidaritas dari berbagai penjuru. Penggunaan media secara bijak pun merupakan salah satu koentji terwujudnya keadilan yang diharapkan. Jadi, tunggu apalagi? Amalkan Pancasila sesuai yang disanggupi dan dijanjikan oleh diri sendiri!.

 

Bagikan