Narasi, Juni, 2024

SEJARAH KECIL MEMBINGKAI PANCASILA

Widdy Nuril Ahyar,

Telah lebih dari delapan tahun sejak saya pertama kali mengajar di tingkat satuan
Sekolah Menengah Atas di Kota Bogor. Sejak itu, saya telah melewati pergantian presiden
sebanyak dua kali, menteri pendidikan berganti tiga kali dan kurikulum nasional telah
mengalami revisi berkali-kali. Namun, selain metode, model, strategi pembelajaran yang
senantiasa mengikuti arus zaman, percepatan teknologi dan konstelasi global yang dinamis,
perubahan yang deras itu sama sekali tidak merubah prinsip dan pendekatan saya dalam
mengajar mata pelajaran sejarah. Keyakinan bahwa sejarah harus mampu
mengkontekstualisasikan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan berbagai
peristiwa yang dialami hari ini, untuk direnungi, dievaluasi, dikomparasi dan menjadi
landasan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kehidupan masa depan yang
lebih baik. Selain itu bahwa sejarah harus mendorong pembentukan manusia merdeka yang
memiliki kesadaran sejarah dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam proses pembelajaran di ruang-ruang kelas maupun diluar kelas yang saya
lakukan, salah satu metode inovatif dan kreatif dalam proses mentransformasikan nilai-nilai
Pancasila tersebut ialah melalui penggalian Le Petit L’histoire atau sejarah kecil dalam
pembahasan suatu materi sejarah yang pada umumnya berskala nasional. Dalam
perkembangan ilmu sejarah, terutama di Prancis sebagai tempat lahirnya Mahzab Annales
dengan total history-nya. Ilmu sejarah tidak hanya dimonopoli dan bertutur tentang orang-
orang besar. Menurut Braudel, Teori Long Duree memberikan ruang kepada sejarah untuk
tidak hanya memberikan narasi-narasi historis secara nasional, tetapi juga menekankan
aspek-aspek global yang mempengaruhi perubahan dalam suatu masyarakat-kultural. Sejarah
kecil dalam dimensi lokal sebagai pembentuk aspek global inilah yang seringkali luput dalam
pembahasan dan kemudian saya rancang ulang sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Salah satu penerapannya ialah dengan memberikan suatu pembelajaran berbasis
proyek untuk merelasikan secara kontekstual penemuan nilai-nilai Pancasila melalui sejarah
kecil yang murid kaji dan identifikasi dari mulai lingkungan sekitarnya, baik tokoh maupun
peristiwa sejarah tertentu. Di Bogor, seorang maestro seni Indonesia bernama Raden Saleh
pernah menetap hingga akhir hayat namun fakta sejarah menunjukkan bahwa makam Raden
Saleh berada di gang sempit diantara rumah warga, padahal sejatinya ia adalah orang yang

memiliki harta yang melimpah dan dikenal akan karya-karya seninya hingga ke Eropa,
menjadikannya suatu ironi tersendiri. Para murid juga distimulasikan untuk mewawancarai
masyarakat dan melakukan studi literatur lanjutan untuk menangkap memori kolektif tentang
Raden Saleh. Maka hasil akhir dari proyek inilah siswa dapat menggali nilai-nilai Pancasila
dari diri seorang Raden Saleh melalui proses berpikir sejarah secara kritis, sosok Raden Saleh
dapat menjadi sebuah inspirasi bagi generasi muda tentang nilai-nilai akan sila keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitu pula Bapak Pers Nasional, bernama R.M. Tirto Adisoerjo, seorang yang
berjuang melalui berbagai tulisan media massa pada masa kolonial dan organisasi Sarekat
Dagang Islam, yang makamnya dapat ditemukan di Pemakaman Umum Blender, Kota
Bogor. Ia yang sepanjang hidupnya memperjuangkan Persatuan Indonesia memiliki kisah-
kisah kecil yang selama ini tidak terungkap dalam buku-buku teks sejarah. Bagaimana murid
dapat memaknai kisah-kisah hidup “Minke” bahwa bangsa Indonesia justru lahir bukan dari
persamaan suku, ras, budaya, atau agama, melainkan karena adanya kesadaran serta
kesepakatan untuk hidup bersama dalam sebuah bangsa. Kesadaran dan kesepakatan bersama
ini diikat oleh fakta bahwa kita berangkat dari sejarah yang sama.

Dalam hal berketuhanan Yang Maha Esa, sejarah kecil memperlihatkan wajah
persatuan laskar-laskar pimpinan oleh Ulama sekaligus Daidancho Abdullah bin Nuh yang
bahu-membahu bersama dengan kelompok pemuda Tionghoa dan Jesuit gereja di Bogor
untuk mengusir penjajah yang ingin merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Saya bersama murid-murid kerap mengunjungi rumah-rumah keturunan Arab tempat
Tan Malaka menetap bersama Bung Karno di Bogor sesaat setelah Persitiwa Rapat Raksasa

di Lapangan Ikada, melihat dengan dekat rumah pengasingan Cut Nyak Dien di Empang,
Bogor. Mengunjungi toko pengusaha roti yang membantu rakyat disaat kondisi ekonomi
sedang terpuruk, Lau dan Tan. Belajar bersama tentang akulturasi budaya di petilasan tokoh
legenda Ciung Wanara, di Bantarjati, Bogor. Dan menikmati secangkir kopi legendaris Bah
Sipit di Tanjakan Empang.
Kisah-kisah yang saya sampaikan mungkin hanya sekelumit dalam proses
pembelajaran Sejarah dan nilai-nilai Pancasila yang telah dilakukan beberapa tahun ke
belakang. Esensi yang saya bicarakan disini bukan tentang ada atau tidak adanya sumber
sejarah yang ada di suatu daerah, tetapi suatu tantangan yang perlu guru hadapi untuk
mengajarkan nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran sejarah dengan sumber daya yang dimiliki
melalui identifikasi dan analisa yang utuh dan komprehensif. Sejarah kecil membantu saya
memperlihatkan bahwa Indonesia adalah manifestasi dari pusat persemaian dan silang
budaya yang melahirkan kultur masyarakat yang inklusif, plural, serta mampu
mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang didasari oleh ideologi Pancasila.
Sejarah-sejarah kecil yang diperoleh melalui pengalaman kunjungan luar kelas ini
telah mendedahkan nilai-nilai Pancasila yang jauh lebih kaya kepada para murid
dibandingkan dengan sekedar pemaparan teoritis melalui kegiatan yang mengasah
keterampilan imajinatif, kreatif, kritis, dan reflektif yang bersandar pada sumber-sumber
autentik. Sejarah kecil telah menjadikan mata pelajaran sejarah lebih berbobot, inspiratif
sekaligus bermakna karena seorang guru sejarah bukan hanya seseorang yang mentransfer
suatu pengetahuan, tetapi juga merupakan agen ideologis negara yang menyebarkan nilai-
nilai Pancasila secara konkret, melalui sejarah kecil yang membingkai Pancasila.

Bagikan