Saat itu akhirnya tiba, dimana saya sebagai pendidik Sekolah Dasar jenuh dengan
penyampaian materi pancasila yang saya bawakan. Begitu pun dengan anak-anak didik, beberapa
diantaranya tidak memperhatikan, menggoda temannya dan membuat ulah di kelas. Sudah jauh
hari hal ini telah saya persiapkan, tapi persiapan menerima kejenuhan dan kebosanan anak didik
hanyalah tong kosong ketika tanpa disertai tindakan untuk mengatasinya.
Di tengah kegalauan itu, saya kembali membuka referensi metode mengajar, berdiskusi
dengan para guru, mengontak beberapa teman pendidik dan berselancar di dunia maya. Namun,
entah kenapa semakin banyak referensi yang saya dapat, semakin bingung untuk menentukan
yang cocok. Selekas maghrib saya sempatkan membaca al-Qur’an, setelah lima belas menit
berlalu tiba-tiba saya teringat sesuatu. Bukankah kebanyakan ayat al-Qur’an berisikan kisah-
kisah yang bertujuan agar umat Islam mengambil pelajaran darinya?
Bagaimana jika metode pengkisahan dalam penanaman nilai-nilai Pancasila benar-benar
ampuh pada anak didik, sebagaimana al-Qur’an yang memberikan ibrah dan pelajaran bagi umat
Islam melalui kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Akhirnya mulai saat itu, saya
berfokus dengan mencari sumber, metode, teknik dan proses pembelajaran Pancasila dengan
pengkisahan.
Ternyata banyak sekali penelitian yang membahas efektivitas penggunaan cerita dalam
penanaman nilai-nilai Pancasila. Setelah mendapatkan metode dan tekniknya, tinggal
menentukan cerita apa yang mampu menambah luasnya wawasan anak didik, sekaligus beberapa
media berupa gambar-gambar sederhana. Setelah semuanya siap, pada hari itu dimulailah
dongeng pertama yang menceritakan tentang cerita rakyat dari Jawa Timur, Cinde Laras dan
kokok ayam jantan pembuka tabir rahasia.
Tirai dongeng pertama dibuka
“Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan bernama Jenggala. Sang pangeran bernama
Raden Putra. Ia memiliki dua istri, yaitu Retna Cindaga dan Dewi Limaran. Retna Cindaga
berwatak buruk, sedangkan Dewi Limaran adalah seorang yang berbudi luhur. Karena wataknya
yang buruk, Retna Cindaga mendapat sebutan Dewi Totokkerot.
Pada saat itu, Dewi Limaran sedang mengandung. Dewi Totokkerot iri. Ia takut kelak ia
akan diusir dari kerajaan jika anak Dewi Limaran itu menjadi raja. Karena itu, ia menyusun
rencana jahat untuk mencelakakan Dewi Limaran.
Karena raja termakan fitnah Dewi Totokkerot, akhirnya Dewi Limaran diusir dari
Jenggala. Setelah berjalan sangat jauh, akhirnya ia sampai di hutan. Di sana Dewi Limaran
membuat gubuk sederhana untuk berlindung dari binatang buas
Walaupun menderita, Dewi Limaran tetap tabah. Ia tidak mendendam. Ia selalu
menyembah Tuhan dan memohon pertolongaNya agar anaknya kelak menjadi orang berbudi.
Waktu berlalu, Dewi Limaran melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Cinde Laras.
Semakin besar Cinde Laras tumbuh menjadi pemuda tampan, tangkas dan cerdas. Ia berteman
dengan semua binatang di hutan termasuk seekor naga perkasa.
Di satu waktu, seekor gagak memberikan sebutir telur ayam padanya. Dengan suka cita, ia
membawa telur itu pada seekor naga, sahabatnya. Ia meminta tolong mengerami telur itu.
Dengan senang hati, naga memnuhi permintaannya.
Setelah beberapa minggu, telur itu menetas menjadi seekor ayam jantan. Berkat asuhan
naga dan beberapa binatang di hutan, anak ayam itu menjadi seekor jago atau ayam jantan yang
perkasa, meskipun badannya tidak terlalu besar”
***
Seperti menjadi dalang, gambar-gambar yang telah dipersiapkan silih berganti tertempel di
papan tulis mengikuti alur cerita yang ada. Sesekali mereka bertanya, terkadang pertanyaan
tentang isi cerita, terkadang bertanya hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan apapun,
membuat seisi kelas semakin meriah. Sejenak saya amati wajah-wajah antusias mereka, semakin
menambah semangat hati ini melanjutkan cerita.
***
Suatu ketika, ada beberapa lelaki melewati hutan itu. Mereka membawa ayam jantan.
Menuurt kabar, pangeran Jenggala mengadakan kontes ayam. Bagi yang mengalahkan jago
Raden Putra, akan menapatkan hadiah besar. Mengetahui hal itu, Cinde Laras mengikuti mereka
ke Jenggala dengan membawa ayamnya.
Ternyata adu ayam di sana sangat ramai. Pertandingan silih berganti. Sampai akhirnya
hanya ada ayam Raden Putra saja yang bertahan. “Siapa lagi yang mau melawan jagoku?”
tantang Raden Putra. Karena tidak ada yang menyahut, ia menaikkan lagi hadiahnya menjadi
separuh kekayaannya.
Lama tidak ada jawaban, tiba-tiba ada seorang pemuda tampan maju sambil bertanya,
“Apakah hadianya tidak bisa naik lagi?”
Raden Putra terkejut. Ia melihat pemuda itu membawa seekor jago kecil.
“Kamu mau mengadu jago kecilmu itu?”
“Hanya apabila taruhannya lebih besar”
“Baiklah anak muda, aku pertaruhkan semua kekayaanku, termasuk istanaku. Tetapi, apa
yang kamu pertaruhkan?”
“Saya tak mempunyai apapun kecuali jago ini, Tuanku” semua orang yang mendengar
jawaban itu tertawa. Tetapi sebelum orang-orang berhenti tertawa, Cinde Laras berseru, “Tetapi
saya punya diri ini, Tuanku”
“Apa maksudmu?”
“Apabila jago saya kalah, saya akan mengabdikan diri seumur hidup pada Tuanku” jawab
Cinde Laras.
Orang-orang menjadi gempar, karena taruhan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Akhirnya pengeran setuju dengan taruhan itu. Pertarungan dimulai. Dua jago saling berhadapan.
Meskipun kecil, jago Cinde Laras pernah diasuh oleh naga dan binatang hutan. Sehingga
pengelihatan jagonya setajam elang, larinya sekencang kijang, lompatannya setinggi rusa,
ototnya sekuat banteng, bahkan bisa menyemburkan api dari paruhnya.
Pertandingan tak berlangsung lama. Melihat lawannya mati, jago Cinde Laras berkokok
“Kukuruuuuuyuk, jagone Cinde Laras, omahe tengah alas, anake Raden Putra, kratone neng
Jenggala 1 ” semua orang kerkejut mendengar kokok ayam jago itu. Sang pangeran bertanya
tentang asal usul si pemuda, Cinde laras bukannya menjawab, malah menuntut hadiahnya.
“Saya tidak akan ingkar janji, Nak. Tetapi tidakkah engkau mengajak orang tauamu ke
istana Jenggala?” setelah mendengarnya, akhirnya Cinde Laras mengantarkan Raden Putra ke
gubuk ibunya di tengah hutan. Akhirnya semua kejadian masa lalu terkuak dan Cinde Laras
mengetahui asal usulnya.
“Berkat ketabahan ibumu dan doa yang selalu dipanjatkan, kita sekrang dapat berkumpul
dan berbahagia” tutur Raden Putra. Akhirnya Raden Putra membawa Dewi Limaran dan Cinde
Laras ke istana. Retna Cindaga atau Dewi Totokkerot yang terbukti kejahatannya, diusir dari
istana.
Tirai dongeng pertama ditutup
Setelah mendengarkan dongeng di atas, ternyata anak-anak lebih cepat untuk membedakan
sikap dan sifat yang baik dan buruk. Sehingga langkah selanjutnya adalah dengan
mengkomparasikan jawaban anak-anak dengan butir-butir Pancasila.
Seperti Dewi Totokkerot yang memfitnah dan mencelakakan Dewi Limaran. Yang hal
tersebut bertentangan dengan Sila kedua butir kelima yang berbunyi mengembangkan sikap tidak
semena-mena pada orang lain.
Adapun pemilihan cerita rakyat nusantara sebagai tema utama dalam dongeng di atas
bertujuan untuk menghibur, sarana untuk mewariskan kebaikan dalam kearifan lokal dan
memahami nilai-nilai Pancasila dengan menyenangkan.
Semoga menginspirasi. Salam Pancasila.