Narasi, Juni, 2024

Uri-Uri Rasulan, Uri-Uri Keguyuban

Ulya Rif'ah Rifqiyah,

Jika diibaratkan sebagai gedung yang alasnya dibangun dari sebuah
pondasi kokoh, maka tradisi dan kebudayaan merupakan batu bata dan kaki-kaki
penopang berdirinya Indonesia. Sebagai negara berbudaya dan sangat lekat
dengan kearifan lokal, acara-acara adat yang dilakukan baik secara periodik atau
kontinyu pun tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan justru harus diuri-uri
kelestariannya. Salah satunya tradisi yang setiap tahun selalu diadakan di
dusunku, Dusun Tubokarto, Pracimantoro, Wonogiri.
Sebelum pandemi datang, setiap satu tahun sekali khususnya pada Bulan
Syawal atau Suro, dusunku selalu menyelenggarakan kegiatan bersih dusun yang
sering dikenal dengan istilah Rasulan. Tradisi ini dikemas dalam bentuk acara
kenduri/slametan pada hari pertama, lalu diselenggarakan pesta rakyat berupa
pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada hari berikutnya. Tradisi bersih
dusun ini masih dipercayai sebagai sebuah upaya doa bersama memohon
kemakmuran dan keselamatan dusun dari berbagai bencana dan kesialan, serta
sarana kesyukuran atas keberhasilan panen, ketentraman, dan nikmat dari
Allah⸺Sang Mahakuasa⸺kepada warga dusun kami.
Biasanya kegiatan Rasulan dilaksanakan dua hari berturut-turut, diawali
dengan acara rewang (masak bersama) oleh ibu-ibu kampung di rumah kepala
dusun, kemudian malam harinya diselenggarakan acara yasinan dan pengajian
dengan mendatangkan seorang ustaz yang kondang. Lalu, besok malamnya
digelar acara wayang kulit sampai menjelang subuh. Semuanya dilakukan secara
gotong royong entah dari urun tenaga, waktu, maupun urun bahan-bahan makanan
yang akan diolah menjadi beberapa menu.
Sebelum berangkat rewang, perwakilan masing-masing KK akan
menenteng plastik berisi beberapa kilo beras dan ketan untuk dimasak dengan

bahan-bahan lain, yang pada acara kenduri sudah diolah menjadi makanan siap
konsumsi seperti nasi tumpeng komplit dengan toping warna-warni, mulai dari
suwiran ayam, telur, oseng tempe, serundeng juga gudangan. Disajikan pula
beberapa iris jadah goreng dan lemper berbungkus daun pisang sebagai teman
wedangan sambil mendengarkan ceramah selepas membaca Surat Yasin secara
kolosal.
Lalu sang ustaz pun mulai bicara, tampak beberapa jemaah mendengarnya
dengan takzim, sesekali juga tertawa ketika ustaz tersebut melempar guyonan
yang membuat beberapa orang tersentil. Meskipun berbeda-beda orang tiap
tahunnya, dari sekian ustaz yang diundang memiliki kemiripan dalam
menyampaikan ceramahnya pada warga; yakni menggunakan bahasa sederhana,
santai, dan materi yang disampaikan bisa dipahami oleh semua warga yang
memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan beragam. Malam itu bintang
seperti ikut mengintip, bergabung bersama kami pada dalamnya tafakur dan
muhasabah. Setelah acara selesai, sebagian ibu-ibu yang dipasrahi mengolah
bagian pawon membagi-bagikan cetingan nasi gudang dan lemper ke rumah-
rumah warga. Memastikan semua warga ikut menikmati menu lezat malam itu.
Hari kedua, acara rewangan masih berlangsung di dapur ibu kepala dusun.
Asap-asap dari beberapa tungku kayu bakar terlihat mengepul, memperlihatkan
api yang ganas melumat tumpukan kayu menjadi abu. Kajang yang sudah
dipasang di emperan rumah Pak Kadus berdiri kokoh, hari kedua ini para warga
lebih fokus berberes untuk persiapan acara wayangan nanti malam. Bakda zuhur,
beberapa penjual sudah mulai berjejer menggelar lapak di halaman-halaman
rumah warga. Tidak hanya warga dusun setempat saja yang menjajakan makanan,
penjual dari desa lain pun tak mau ketinggalan bergabung memanfaatkan
kesempatan untuk mencari pundi rupiah. Mulai dari mainan anak-anak, penjual
burger dengan ‘kearifan lokal’, tahu kupat, mie ayam dan bakso, sosis bakar
maupun goreng, mie tek-tek, pecel, dan makanan khas Rasulan; yaitu wedang jahe
dan legondo ikut memanjakan mata-mata siapapun yang melewatinya. Sungguh
membuat ngiler.

Selepas magrib suasana makin ramai, sambil menunggu wayangan
dimulai sekitar pukul 21.00 nanti, para warga dari usia anak-anak hingga lansia
memadati tenda-tenda dadakan di kanan-kirinya. Tidak ada raut wajah yang
menampakkan kesuraman, semuanya larut dalam nuansa gembira. Makin malam,
kerumunan semakin padat. Warta tentang tradisi Rasulan memang sangat mudah
viral terdengar sampai ke dusun-dusun tetangga. Maka tak heran, suasana Rasulan
Wayang memang jarang sepi pengunjung. Tiba saatnya cerita wayang dimulai,
pengunjung yang awalnya bercengkrama di tenda-tenda makanan kini mulai
merapat di sekitar halaman rumah Pak Kadus. Dalang dan sinden saling
berkolaborasi merajut cerita dengan dramatik hingga subuh tiba.
Rasulan memang menjadi momen paling ditunggu oleh siapapun setiap
tahunnya. Bagiku, Rasulan adalah tradisi yang mencerminkan semangat
kebersamaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat desa.
Segala hal dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kerja sama. Semua
warga berbaur, anak-anak dapat bermain, semua orang miskin ataupun kaya bisa
sama-sama makan enak, perekonomian mikro bisa bergerak melalui lapak-lapak
warga, serta penikmat wayang pun bisa terhibur dengan permainan dalang
berpakaian necis.
Meskipun tak begitu mengerti tentang cerita-cerita wayang yang
dibawakan, aku sangat menikmati suasana damai pada momentum malam itu. Ada
satu kesan positif yang kutangkap dari tradisi ini; Rasulan mengimplementasikan
sifat dasar dan fitrah manusia yang saling menyayangi, suka bahu-membahu
dalam menyelesaikan sesuatu, dan tentunya semangat berkasih sayang dengan
sesama ciptaan Tuhan. Namun dua tahun ini, pandemi membuat tradisi kami
berhenti berdenyut. Keselamatan dan antisipasi untuk menekan angka Covid-19
masih menjadi concern utama bagi seluruh warga dan pemerintah desa. Hmm …
semoga saja pandemi perlahan segera pergi ya, agar tradisi tahunan kami bisa
digelar kembali.
Nah, lalu bagaimana dengan tradisi di dusunmu?

Bagikan