Kisah ini terjadi 9 tahun yang lalu, ketika Aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP Negeri di wilayah Jawa Timur. Perkenalkan, namaku Iim gadis tomboy yang terkenal usil dan nakal. Dan hampir setiap hari Aku mendapat hukuman di sekolah. Pada zaman itu, guru memberi hukuman apapun selama tidak melampaui batas dianggap hal biasa oleh orang tua. Dari menjewer telinga, memukul siswa dengan penggaris kayu saat kuku dipanjangkan, menjemur siswa dibawah terik matahari dengan hormat pada bendera merah putih, hingga membersihkan kamar mandi. Karena hampir semua orang tua sudah memaklumi peraturan sekolah. Pada saat itu, yang dipikirkan semua orang tua adalah “yang penting anaknya sekolah”. Yah, di desaku mayoritas pekerjaan adalah buruh pabrik, petani dan kuli. Memang bukan pekerjaan yang memalukan, tapi harapan orang tua kami setidaknya anak-anak mereka mempunyai pendidikan yang lebih baik dari mereka dan nantinya menjadi orang yang lebih sukses dari mereka.
Hari itu tepat hari Sabtu, Aku dan tiga temanku Wahyu, Ragil, dan Ijung sedang digiring ke kantor oleh Pak Kamto untuk menerima hukuman dan ditulis dibuku kedisiplinan. Nasib baik memang tak berpihak pada kami saat itu. Kami yang saat itu mempunyai niat untuk bolos sekolah digagalkan oleh Pak Kamto yang memergoki kami saat di tengah jalan. “Hey! Hayo ape nandi iku? Ayok melu pramuka! Ojok wani-wani mbolos yo! Lek mbolos bapak e tak kon moro nang kantor. Ayo mbalik sekolah!”[1]. Hari sabtu siang, memang hari yang membosankan. Karena hari itu, setelah pelajaran jam ke 8 akan dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Sangat membosankan ketika kita harus berpanas-panasan dan bertepuk-tepuk tangan sembari bernyanyi haha hihi bak anak TK. Aku dan ketiga temanku memang menjadi langganan bagian kedisiplinan. Saking seringnya kami melanggar peraturan dan sering membuat beberapa guru geram karena kelakuan kami. Hingga kami dijuluki sebagai geng semprol[2]. Dan hari itu, Sabtu kami berakhir dengan hukuman membersihkan lingkungan sekolah setelah kegiatan pramuka selesai.
Hari ini hari senin, Aku harus berdiri di depan pintu gerbang sekolah karena terlambat mengikuti upacara bendera. Aku tak sendiri, ada Wahyu , Ragil dan dua temanku yang lain ternyata terlambat juga. Nasib baik berpihak pada Ijung hari itu. Ijung yang melirik kami, tertawa tanpa suara sedang mengejek kami bertiga yang di depan pintu gerbang. Usai upacara, kami digiring ke ruang Pak Kamto selaku bagian kedisiplinan. “Tunggu disini! Saya ke kamar mandi sebentar” ucap beliau. Wahyu yang kala itu fokus dengan nasi bungkus yang ada di meja Pak Kamto, menyenggolku dan Ragil. Aku dan Ragil paham apa maksud Wahyu saat menunjuk bungkusan diatas meja pak Kamto. Kami bertiga nyengir kuda. Memang ya, teman sefrekuensi itu tiada tanding. Dua temanku yang lain kulirik dan kusuruh diam. Sedangkan Wahyu memberi peringatan “jangan ngadu ke pak Kamto kalian” ucapnya. Mereka begidik takut, karena melihat badan Wahyu yang besar dan gertakannya. Kami bertiga segera membuka bungkus nasi dan memakannya bertiga dengan lahap. Setelah habis tak tersisa, bungkus nasi kami masukkan dalam keresek dan membuang ke tempat sampah. Segera kami lap sisa makan di mulut kami, dan saat itu juga Pak Kamto kembali dari kamar mandi. Pak Kamto belum sadar dengan nasi bungkusnya yang menghilang diatas meja. Beliau segera menyuruh kami tanda tangan dibuku kedisiplinan dan melakukan hukuman saat pulang sekolah, yakni membersihkan kamar mandi.
Saat jam ke tiga, Pak Kamto masuk ke ruang kelasku untuk mengajar sekaligus membagikan soal ulangan matematika. Ditengah membagikan soal beliau curhat “ Saya itu salah apa sama kalian. Pagi itu ngajar kalian susah, rumah saya jauh. Beli nasih bungkus, eh kok dimakan”. Kemudian Ragil nyeletuk “hah? Tau darimana Pak?” “lha itu bungkusnya ada di tempat sampah Saya”. Kami (para pelaku) nyengir dan saling melirik satu sam a lain. Kemudian ulangan dilanjut dengan pengawasan Pak Kamto yang ketat agar tidak ada yang mencontek.
Singkat cerita, kami telah melakuakn Ujian Nasional dan dinyatakan lulus semua. Semua temanku memilih sekolah SMA yang berbeda-beda. Begitu juga denganku yang harus lenjut ke pondok pesantren karena permintaan Ayah dan Ibuku agar Aku tak hanya mendalami ilmu akademik tapi juga ilmu agama. Setelah hari kelulusan, Aku dan gengku berkunjung ke rumah Pak Kamto, selain untuk bersilaturrahmi, kami juga ingin meminta do’a sekaligus meminta maaf atas semua kenakalan yang sering kami perbuat di sekolah. Terutama kejadian memakan nasi bungkus pasca upacara kala itu. Beliau berpesan “senakal-nakalnya kalian, jangan sampai kalian nglamak[3] sama orang tua dan guru. Kenakalan kalian saat ini lumrah, hal biasa. Karena bapak dulu juga sama nakalnya dengan kalian. Dan pesan guru bapak juga demikian, senakal-nakalnya kalian tetaplah punya andhap ashor[4], jangan melawan guru. Ini termasuk proses dewasa kalian. Dan terakhir pesan saya, utamakan kejujuran. Suatu saat kalian akan paham. Semoga sukses untuk anak-anakku semua”. Setelah itu kami berterima kasih dan berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Pesan Pak Kamto akan kami ingat dan amalkan saat ini hingga nanti, meski beliau telah dipanggil Yang Kuasa tiga bulan yang lalu. Terima kasih atas nasihat yang begitu melekat dan bermanfaat Pak. Semoga Allah menerima semua amal baik Bapak. Saya bersaksi bahwa Bapak adalah orang yang baik.