Narasi, Mei, 2021

Pak Kamto : Guru yang Menegakkan Kedisiplinan

Oleh: Imroatus Sholihah, Pemenang Juara III Lomba Pancasila di Rumahku "Surat Untuk Guru" dalam Kategori Tulisan

Kisah ini terjadi  9 tahun yang lalu, ketika Aku masih duduk di bangku  kelas 3 SMP Negeri di wilayah Jawa Timur.  Perkenalkan, namaku Iim  gadis tomboy  yang  terkenal  usil  dan  nakal. Dan hampir  setiap  hari  Aku  mendapat  hukuman di sekolah. Pada zaman  itu,  guru memberi  hukuman apapun selama tidak melampaui batas dianggap hal biasa oleh orang tua. Dari menjewer telinga, memukul siswa dengan penggaris kayu saat kuku dipanjangkan, menjemur siswa dibawah  terik matahari dengan  hormat pada bendera merah putih, hingga membersihkan kamar mandi. Karena hampir semua orang tua sudah memaklumi peraturan sekolah. Pada saat itu, yang dipikirkan  semua orang tua adalah “yang  penting anaknya sekolah”. Yah, di desaku  mayoritas pekerjaan adalah  buruh  pabrik, petani dan  kuli. Memang bukan pekerjaan  yang  memalukan, tapi  harapan  orang tua kami setidaknya anak-anak mereka mempunyai pendidikan yang lebih baik dari  mereka dan  nantinya  menjadi orang  yang  lebih sukses dari mereka.

Hari  itu tepat hari Sabtu,  Aku dan  tiga temanku Wahyu, Ragil, dan Ijung  sedang digiring ke kantor oleh Pak Kamto untuk menerima hukuman dan ditulis dibuku  kedisiplinan. Nasib baik memang tak berpihak  pada kami  saat  itu.  Kami yang  saat  itu mempunyai niat untuk bolos sekolah  digagalkan oleh Pak Kamto yang  memergoki  kami  saat  di tengah  jalan. “Hey! Hayo ape nandi iku? Ayok melu pramuka! Ojok wani-wani mbolos yo! Lek mbolos bapak e tak kon  moro nang kantor. Ayo mbalik sekolah!”[1]. Hari sabtu  siang, memang  hari yang membosankan. Karena hari itu, setelah pelajaran jam  ke 8 akan  dilanjutkan dengan  kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Sangat membosankan ketika kita harus berpanas-panasan dan bertepuk-tepuk tangan sembari bernyanyi haha hihi bak anak TK. Aku dan ketiga temanku memang menjadi langganan bagian kedisiplinan. Saking seringnya kami melanggar peraturan dan sering membuat beberapa  guru geram  karena  kelakuan  kami. Hingga kami dijuluki sebagai geng  semprol[2]. Dan  hari  itu, Sabtu  kami berakhir dengan  hukuman  membersihkan lingkungan sekolah setelah  kegiatan  pramuka selesai.

Hari ini hari senin, Aku harus berdiri di depan pintu  gerbang  sekolah  karena  terlambat mengikuti  upacara  bendera.  Aku tak sendiri, ada Wahyu , Ragil dan dua temanku  yang  lain ternyata terlambat juga. Nasib baik berpihak pada Ijung  hari itu. Ijung  yang melirik kami, tertawa tanpa suara  sedang  mengejek kami bertiga yang di depan  pintu  gerbang. Usai  upacara, kami digiring ke ruang Pak Kamto selaku  bagian  kedisiplinan. “Tunggu disini! Saya ke kamar mandi sebentar” ucap  beliau. Wahyu  yang  kala  itu  fokus  dengan  nasi bungkus yang ada di meja Pak Kamto,  menyenggolku  dan Ragil. Aku dan Ragil  paham  apa  maksud Wahyu  saat  menunjuk bungkusan diatas meja pak Kamto. Kami  bertiga nyengir kuda. Memang  ya, teman sefrekuensi  itu  tiada  tanding. Dua temanku  yang  lain kulirik dan  kusuruh diam.  Sedangkan Wahyu  memberi  peringatan  “jangan  ngadu  ke pak  Kamto  kalian” ucapnya.  Mereka begidik takut,  karena melihat badan  Wahyu  yang besar dan  gertakannya. Kami bertiga segera membuka bungkus nasi dan  memakannya bertiga dengan lahap. Setelah  habis tak tersisa, bungkus nasi kami masukkan dalam  keresek dan  membuang  ke tempat sampah. Segera  kami  lap sisa makan di mulut kami, dan saat  itu juga Pak Kamto kembali dari kamar mandi. Pak Kamto belum  sadar dengan  nasi bungkusnya yang menghilang  diatas meja. Beliau segera menyuruh  kami tanda tangan dibuku  kedisiplinan  dan  melakukan  hukuman  saat  pulang  sekolah, yakni membersihkan  kamar mandi.

Saat jam  ke tiga, Pak Kamto  masuk  ke ruang  kelasku  untuk mengajar sekaligus membagikan soal ulangan matematika. Ditengah membagikan  soal  beliau curhat “ Saya itu salah apa sama kalian. Pagi itu ngajar kalian  susah, rumah  saya  jauh. Beli nasih bungkus, eh kok dimakan”. Kemudian  Ragil  nyeletuk “hah? Tau darimana Pak?” “lha itu bungkusnya ada di tempat sampah  Saya”. Kami  (para pelaku)  nyengir  dan  saling  melirik satu sam a lain. Kemudian  ulangan dilanjut dengan pengawasan Pak Kamto yang ketat agar tidak ada yang mencontek.

Singkat cerita, kami telah  melakuakn  Ujian Nasional dan  dinyatakan  lulus semua. Semua temanku  memilih  sekolah  SMA  yang  berbeda-beda. Begitu juga denganku yang harus lenjut ke pondok  pesantren  karena permintaan  Ayah dan Ibuku  agar Aku  tak hanya mendalami ilmu akademik tapi  juga  ilmu agama.  Setelah  hari  kelulusan, Aku dan  gengku berkunjung  ke  rumah  Pak Kamto, selain untuk bersilaturrahmi,  kami  juga  ingin meminta do’a sekaligus  meminta  maaf  atas semua kenakalan  yang  sering  kami  perbuat di sekolah. Terutama kejadian memakan  nasi bungkus pasca upacara kala itu. Beliau berpesan “senakal-nakalnya kalian, jangan sampai kalian  nglamak[3]  sama orang tua dan guru. Kenakalan  kalian  saat  ini  lumrah, hal biasa. Karena bapak dulu juga sama nakalnya dengan kalian. Dan  pesan  guru bapak  juga demikian, senakal-nakalnya kalian tetaplah  punya andhap ashor[4],  jangan  melawan  guru. Ini termasuk proses dewasa kalian. Dan terakhir  pesan  saya,  utamakan  kejujuran. Suatu  saat kalian akan  paham. Semoga sukses untuk anak-anakku  semua”. Setelah  itu  kami berterima kasih dan  berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Pesan  Pak  Kamto  akan  kami  ingat dan amalkan  saat  ini hingga nanti,  meski  beliau  telah  dipanggil  Yang Kuasa tiga bulan yang lalu. Terima kasih  atas  nasihat yang begitu melekat dan  bermanfaat Pak. Semoga Allah menerima semua amal baik Bapak. Saya bersaksi bahwa Bapak adalah orang yang baik.

[1] Kalimat dalam bahasa Jawa. “Hey! Mau Kemana Kalian? Ayo ikut pramuka! Jangan berani-berabi bolos ya! Kalau kalian bolos, orang tua kalian saya panggil ke Kantor. Ayo kembali ke Sekolah!”
[2] Dalam  istilah Jawa, semprol berarti menyatakan rasa tidak senang atau marah terhadap seseorang.
[3]Nglamak adalah kata bahasa Jawab yang berarti “sikap kurang ajar atau tidak sopan orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua.
[4] Sifat rendah hati, yang bertujuan untuk menghormati dan menghargai.
Bagikan