Problem utama bangsa ini ialah deviasi (penyimpangan) dari semangat kebangsaan pendiri bangsa. Dalam proses deviatif ini, muncul berbagai simplifikasi atas fakta sejarah. Hasilnya, sebuah pengerasan sektarianisme yang bertentangan, terutama dengan visi para pendahulu yang saleh.
Simplifikasi atas fakta sejarah ini misalnya terdapat pada kesimpulan bahwa di dalam rapat-rapat perumusan dasar negara, mulai dari Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Panitia Sembilan hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hanya terdapat dua kelompok ideologis, yakni Islam berhadapan dengan nasionalis. Kelompok Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok nasionalis memperjuangkan nasionalisme sebagai dasar negara. Dalam perjalanan, ideologi nasional ini lalu disebut Pancasila.
Dipahami bahwa kelompok nasonalis tersebut bersifat sekular, karena bagi kaum devianis ini, penganjur dasar negara non-Islam, pastilah otomatis sekular. Mereka tidak mampu membaca fakta subtil, bahwa tidak ada kelompok sekular di dalam Sidang BPUPK, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga 1945, PKI masih dilarang (ilegal) oleh pemerintahan Jepang akibat pemberontakan pada 1926. Dengan ketiadakan anggota PKI dalam Sidang BPUPK, otomatis tidak ada penganjur sekularisme dalam perumusan dasar negara.
Alhasil, hanya ada dua kelompok besar dalam sidang tersebut. Pertama, kelompok Islam-nasionalis. Kedua, kelompok nasionalis-religius. Kelompok pengajur dasar negara Islam, bagaimanapun tetap nasionalis karena imaji kenegaraannya mengacu pada negara-bangsa, bukan misalnya Pan-Islamisme dalam bentuk kekhilafahan global. Untuk cita-cita khilafah ini, para aktivis Islam di Indonesia telah menguburnya setelah perselisihan antara kaum modernis dan tradisionalis dalam Kongres Al-Islam IV pada 1925. Di dalam kongres itu, tidak ada kesepakatan apakah Muslim Indonesia harus mengikuti Kongres Khilafah di Mesir atau Arab Saudi. Ketidaksepakatan ini akhirnya membuyarkan agenda respon umat Islam atas runtuhnya Turki Usmani. Fokus umat Islam kembali pada hajat hidup dalam negeri: mengusir penjajahan.
Maka, bukannya Pan-Islamisme yang digaungkan sebagaimana para pengusung khilafah hari ini. Melainkan nasionalisme Islam. Kiai Wahab Hasbullah lalu mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1914 yang berprogram sekolah kebangsaan bagi kalangan pesantren, aktivis Islam di Kairo dan Mekkah mendirikan Partai Muslimin Indonesia pada 1932, dan Sarekat Islam (1912) mengembangkan nasionalisme berhaluan sosialisme Islam. Berdasarkan pengalaman melawan penjajahan inilah, nasionalisme lalu menjadi perspektif keislaman.
Dalam konteks inilah, wakil Muhammadiyah di BPUPK, Ki Bagoes Hadikoesoemo (31 Mei 1945) mengajukan Islam sebagai dasar negara. Karena menurutnya, “Islam tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan nasionalisme; agama merupakan pangkal persatuan; serta Islam menegakkan pemerintahan yang adil berdasar kerakyatan dan musyawarah”.
Hanya saja peletakan Islam sebagai dasar negara mendapat kritikan dari penganjur nasionalisme. Bung Hatta yang berpidato pada 30 Mei 1945 mengritik paradigma Islamis yang mengandaikan kesatuan Islam dan negara. Menurutnya, paradigma ini mengalami bias hubungan Gereja dan negara di Eropa. Bagi Bung Hatta, hubungan “Ker ken Staat” (Gereja dan negara) berbeda dengan hubungan Islam dan negara. Baik Gereja maupun negara sama-sama “berbentuk negara”, sehingga ingin berkuasa atas umat yang sama. Sedangkan Islam menurutnya, adalah pimpinan jiwa, bukan negara. Oleh karenanya, ia merekomendasikan pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Bukan pemisahan agama dari negara, pun penyatuan keduanya.
Pemisahan urusan agama dan urusan negara menganut prinsip diferensiasi: pembedaan, antara wilayah agama yang berada di masyarakat, dengan negara yang berada di ranah politik. Ini berarti, Bung Hatta tidak menganut prinsip lainnya, seperti sekularisasi maupun islamisasi.
Demikian Soepomo yang menegaskan sifat religius dari negara-nasional. Berpidato pada 31 Mei 1945, Soepomo melakukan pemilahan antara Negara Islam dengan negara berdasarkan nilai-nilai luhur Islam. Menurutnya, negara-nasional bukan a-religius, sebaliknya ia merupakan negara yang memuliakan nilai-nilai luhur Islam, meskipun tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Kesadaran akan peran penting religiusitas dan ketuhanan dalam dasar negara ini lalu ditandaskan oleh Soekarno. Dalam pidato 1 Juni 1945, ia menyatakan, “Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!” Selanjutnya ia menambahkan, “Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan… ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” Tekanan ketuhanan sebagai dasar negara ini ia tegaskan melalui kalimat, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!”
Dengan demikian, ketuhanan menjadi kalimat bersama (kalimatun sawa’) antar-kelompok nasionalis-religius dengan Islam-nasionalis. Keduanya berbeda soal posisi Islam dalam dasar negara, namun satu kata soal keharusan ketuhanan sebagai bagian utama dari dasar negara. Ketika menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima, maksud Soekarno ialah menempatkannya sebagai “akar tunggang” Pancasila. Artinya, sila kebangsaan, kemanusiaan, musyawarah dan kesejahteraan sosial dibangun di atas akar ketuhanan.
Dalam kaitan ini, ketuhanan yang digagas Soekarno ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diamalkan secara beradab dan berbudaya. Sehingga maksud dari frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”, ialah pengamalan dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bertuhan secara kebudayaan artinya beragama secara beradab dan toleran. Menurut As’ad Said Ali dalam Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009: 160), karena menggagas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sila dalam Pancasilanya, pidato Soekarno lalu diterima secara aklamasi sebagai bahan baku bagi perumusan dasar negara. Mengapa? Karena sila ketuhanan ini melegakan dua kelompok. Kelompok Islam sepakat sebab di dalam dasar negara memuat ketuhanan yang merupakan cerminan dari tauhid. Demikian pula kelompok nasionalis menerima karena ketuhanan tersebut merupakan prinsip umum keagamaan yang tidak mewakili doktrin agama tertentu.
Piagam Jakarta
Visi ketuhanan baik dari kelompok Islam maupun nasionalis ini berjalin kelindan dengan spirit kebangsaan. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Islam bersedia mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, karena pertimbangan persatuan nasional. Pagi hari menjelang Sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Bung Hatta melobi Ki Bagus Hadikoesoemo, Kiai Wahid Hasyim, Kasman Singedimedjo dan Teuku Hasan. Tokoh-tokoh Islam ini sepakat mengganti “tujuh kata” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena mengutamakan persatuan, apalagi kemerdekaan bangsa sedang di bawah ancaman Sekutu.
Spirit kebangsaan ini juga dikembangkan oleh Soekarno. Banyak orang tidak mengetahui, bahwa Soekarno bersikukuh dengan “tujuh kata” tersebut demi terjaganya persatuan. Ketika perdebatan tentang “tujuh kata” ini mengalami kebuntuan, pada Sidang Kedua BPUPK, 16 Juli, dengan berlinang air mata ia menghimbau kelompok nasionalis agar menerima Piagam Jakarta demi tercapainya kesepakatan tentang dasar negara (Yudi Latif, 2011: 81). Konsen Soekarno terhadap aspirasi Islam ini ia lanjutkan dengan menempatkan Piagam Jakarta sebagai nilai yang menjiwai UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959.
Dengan demikian, jika saat ini terdapat tuduhan sekularisasi terhadap Pancasila, atau Soekarno; maka tuduhan tersebut tidak berpijak pada fakta sejarah yang tepat. Kita harus belajar dari para perumus Pancasila yang mengimani ketuhanan pada satu sisi, namun tetap membangun nasionalisme pada saat bersamaan. Tidak ada paradigma sekular di dalam Pancasila, karena tokoh-tokoh Islampun selalu mengutamakan persatuan bangsa di atas kepentingan kelompok.
Dalam konteks inilah, perdebatan terkini tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) selayaknya tidak membangkitkan konflik ideologi antar-anak bangsa. Sebab konflik tersebut sebenarnya berangkat dari pemahaman deviatif atas hubungan Pancasila, ketuhanan dan Islam. Semua pihak harus kembali pada spirit awal pendiri bangsa yang mengutamakan persatuan di atas perbedaan.