Evaluasi terhadap kehidupan politik maupun demokrasi di Tanah Air saat ini, janganlah bertitik tolak pada corak penghakiman terhadap parpol itu semata. Sebab keberadaan parpol saat ini dengan segala privilese yang dipegang atau dimilikinya adalah antitesis dari sistem Orde Baru yang presidensentris atau sangat memberikan kuasa penuh kepada presiden. Maka dari itu, ketika rezim militer itu tumbang tahun ’98 lalu, lahirlah antitesis sistem dan corak politik seperti yang kita rasakan saat ini. Jadi keberadaanya adalah sesuatu yang given dan bukan atas kehendaknya sendiri. Kelahiran segala keistimewaan parpol itu adalah kehendak semesta politik yang mewujud dalam dialektika yang dijalani oleh para aktor-aktornya dengan demokrasi sebagai pilihannya.
Demikian juga dalam konteks memahami demokrasi; janganlah kita terjebak dalam sikap yang memistifikasi “barang” satu ini, seolah dialah satu-satunya sistem yang harus atau mau tidak mau kita terapkan dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sikap yang paling aman dan fair, kiranya, ialah bahwa pilihan atas demokrasi sebagai operating system tata kelola kekuasaan kita adalah karena ia terlanjur kita pilih pasca tumbangnya Orde Baru. Tidak lain dan tidak bukan.
Dengan demikian, posisi demokrasi adalah sejajar atau sama derajatnya dengan sistem-sistem kekusaan lainnya. Ia tidak bisa disebut lebih baik atau lebih buruk dari sistem-sistem yang lain atau yang pernah ada. Ia juga bukan satu-satu jawaban untuk mewujudkan tata kelola kekuasaan yang bisa membawa keadilan dalam kehidupan bernegara. Ini artinya, jika bukan demokrasi yang kita pilih, itu tidak berarti atau dengan sertamerta akan melahirkan kezaliman atau ketidakadilan dalam kehidupan bersama kita. Karena pada kenyataannya, dalam penyelenggaraan pemerintahan kita yang berada di atas rel demokrasi, tetap saja terjadi (atau setidaknya kita bisa menuduh) sesuatu yang kita sebut kesewenang-wenangan dan sejenisnya.
Brunei Darussalam bukan negara demokrasi tetapi disebut adem tentrem kertoraharjo negaranya. Singapura termasuk otoriter meski ada pemilu dan sebagainya; toh, negaranya disebut cukup makmur dan terpenuhi kesejahteraan penduduknya. Di Malaysia ada demokrasi namun tetap mempertahankan sistem monarkinya. Demikian juga Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja dan Laos. Hanya Indonesia, Filipina, dan Timor Leste saja negara di Asia Tenggara yang bisa disebut negara dengan demokrasi seutuhnya. Dan sepertinya, tiga negara ini tidak lebih baik tingkat kemajuan, pelayanan, atau kesejahteraan sosialnya dibanding negara-negara yang disebut sebelumnya – setidaknya jika kita merujuk pada kritik banyak aktivis yang mengaku prodemokrasi.
Orde Baru memang benar harus ditumbangkan, namun itu bukan berarti dengan demikian demokrasi adalah satu satunya jawaban. Karena toh, sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, kita sudah menjalani sistem ini dengan berbagai eksperimentasi yang luar biasa canggihnya; lebih canggih dari negara yang disebut paling demokratis di dunia saat ini. Namun kenyataannya, jalannya roda pemerintahan dan kekuasaan tidak jauh berbeda romannya. Ceritanya tidak beranjak dari tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, otoriter, korup, dst.
Kita memang belum menemukan jawaban yang paling tepat namun setidaknya berhentilah melakukan mistifikasi terhadap demokrasi. Karena toh, demokrasi pun termasuk produk zaman baheula yang muncul sekian abad sebelum masehi. Ia menemukan momen revitalisasinya ketika kekuasaan-kekuasaan monarki dan despotik Eropa bangkrut dan tak didukung lagi oleh apa yang disebut sebagai warga. Namun tetap saja, demokrasi adalah produk lama yang kerap mengalami kerusakan di beberapa bagiannya dan ternyata kerap tidak kompatibel dengan suatu konteks sosial dan antropos tertentu — sebagaimana sebuah handphone tidak bisa berlaku di semua negara karena IMEI-nya yang berbeda.
Oleh karena itu, ketika terjadi pelbagai malapraktik atas beberapa elemen demokrasi (seperti partai politik yang kerap menjadi tertuduh utamanya), yang paling penting dan urgen adalah menyelenggarakan sebanyak mungkin diskursus dan tawaran-tawaran bagi terbangunnya kekuatan penguasa (pemerintahan) yang mampu menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi diskursus yang marak bukan lagi evaluasi terhadap partai politik dengan barometer atau alat ukur berupa teori-teori baku yang ada di diktat-diktat dan literatur kaku. Sebab keadaan demikian hanya akan melahirkan sebuah situasi dan kondisi di mana parpol akan selalu menjadi tertuduh utama dan akan menjadi seperti “anak kandung” yang kerap disalahkan secara apriori dan berdasar prejudice semata.
Akibat sering dituduh macam-macam dan tidak berdasar itu maka si Anak pun menjadi anak benar-benar bengal. “Dari pada cuma dituduh saja mending saya jadikan kenyataan sekalian,” begitu pikir si Anak.
Ini artinya, tidak ada empati terhadap dinamika dan kesulitan hidup yang dirasakan oleh si Anak selama ini. Banyak kalangan sering tidak tahu, di keras dan kotornya kehidupan politik, si Anak terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang terlihat tercela atau terkesan tidak manusiawi. Padahal di dalam lakunya yang hina itu, ada terbersit niat untuk berubah. Di dalam hatinya tertanam upaya untuk memperbaiki tidak hanya keadaan dirinya semata, akan tetapi juga kehidupan lingkungan hidupnya.
Ilustrasi ini bisa menjadi gambaran kehidupan parpol saat ini. Jikalau parpol adalah sesosok makhluk, mungkin dia sedang menangis tersedu atau memendam kesumat tak terperi karena terus menjadi pesakitan dan obyek tuduhan dari keadaan yang dipandang tidak beres ini. Padahal, dirinya juga merasa merana dan hampir tidak berdaya dengan keadaan yang ada. Ia tejebak dalam semesta politik begitu rupa sehingga membuatnya serba salah dan seperti terjebak untuk terus melakukan kesalahan demi kesalahan. Semesta politik yang justru terlahir dari rahim demokrasi itu sendiri.
Dalam diskursus semacam ini, janganlah kita bicara soal manusianya. Sebab kalau bicara soal subyek atau pelakunya, dalam sistem yang paling sempurna pun selalu saja ada cerita penyelewengan. Bahkan di surga sekali pun ada cerita bapa kita Adam yang tergelincir oleh bujuk rayu setan. Padahal itu di surga. Apalagi dalam kehidupan kita yang profan dan penuh kejahilan ini.
Oleh karena itu, dalam ikhtiar untuk memperbaiki kehidupan politik kita, identifikasinya tidak boleh parsial. Dalam semesta politik kita hari ini, partai politik hanyalah satu elemen dari elemen-elemen lainnya dalam demokrasi. Dalam semesta politik kita, bukankah ada kekuatan bersenjata yang terus eksis dengan posisi tawarnya. Ada kekuatan keamanan yang kini menjelma menjadi kekuatan yang cukup signifikan dalam kehidupan politik kita. Ada kekuatan modal yang terus berdialektika mengikuti jalannya penyelenggaraan negara. Ada juga kekuatan identitas yang sekarang tengah jadi primadona para politisi. Dan yang paling penting adalah karakteristik sosiologis demos kita yang memang paternalistik, melodramatik, dan suka tidak suka memang (masih) feodal.
Mencermati keadaan semesta politik ini, walhasil, kita tidak bisa menyalahkan parpol begitu saja. Apalagi dengan cara apriori, penuh prasangka, terlebih gebyah uyah. Kita harus mau dan memulai untuk merentangkan cakrawala berpikir dan pemahaman kita dalam memandang politik di Republik ini. Caranya, dengan memperbanyak ruang dan konteks pertemuan seluruh elemen politik yang beraras pada nalar kepublikan sebagai basis dari bentuk negara ini. Atau kalau memang itu tidak bisa kita lakukan maka biarkanlah semesta ini berjalan apa adanya. Namun yang pasti, kita tidak bisa menghakimi parpol sebagai anak kandung demokrasi yang baru beranjak dewasa ini, begitu saja.