Buah Pikir, Literasi, September, 2020

Resensi Buku Falsafah Kebudayaan Pancasila

Oleh : Berlian Fiqih Nurvandi Susanto,
Judul Buku : Falsafah Kebudayaan Pancasila ,
Penulis Buku : Syaiful Arif,

  • Judul Buku : Falsafah Kebudayaan Pancasila
  • Penulis : Syaiful Arif
  • Penerbit : Gramedia
  • Tahun Terbit : 2016
  • Tebal : 276 Halaman
Gagasan mengenai Pancasila pada dasarnya bersumber dari kebudayaan kolektif yang terbentuk di bumi Nusantara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, dan telah mengalami proses pribumisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila hadir sebagai habitus yang membentuk suatu pandangan dunia mengenai kolektivitas keindonesiaan. Hakikat kebudayaan Pancasila bersumber dari nilai-nilai ketuhanan yang bersifat humanistik, yang pada pengamalannya mengedepankan praktik kemanusiaan demi terciptanya keadilan dan keadaban manusiawi.

Berpijak dari ungkapan Soekarno dalam pidatonya mengenai ketuhanan yang berkebudayaan, Syaiful Arif menilai bahwa prinsip ketuhanan di dalam Pancasila ialah ketuhanan yang berkebudayaan yang dimaknai sebagai iman dan pengamalan yang diwujudkan melalui amal-amal kebudayaan. Kebudayaan diartikan sebagai kemanusiaan dengan berprinsip pada ketuhanan yang berkebudayaan maka diartikan sebagai ketuhanan yang berkemanusiaan yang mempraksis dalam perjuangan kerakyatan dan keadilan dalam bingkai persatuan.

Buku ini berusaha mengelaborasi antara kebudayaan dengan demokrasi yang didasarkan atas nilai-nilai dan pengamalan Pancasila. Dengan kata lain, kebudayaan adalah kemanusiaan dan kemanusiaan adalah kebudayaan. Kebudayaan dan Pancasila berkaitan erat satu sama lain; dan yang menarik, keduanya berusaha menghadirkan Tuhan di tengahnya. Walhasil; kebudayaan, demokrasi, dan Pancasila dihadirkan dengan penggalian potensi-potensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal.

Dengan menempatkan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan maka berbagai pemikiran yang hadir tidak lepas dari kritik kebudayaan yang memiliki basis terhadap Pancasila. Kebudayaan atau yang diartikan sebagai kehidupan simbolik merupakan tatanan kehidupan yang sudah dibalut oleh simbol-simbol modernitas, karenanya kritik kebudayaaan didasarkan tidak hanya pada kritik cultural studies yang ditujukan pada budaya pop melainkan pada “kultur kritik” yang tertuju langsung pada penyakit modernitas.

Adanya perubahan basis material kebudayaan yang terjadi di masyarakat, menyebabkan semakin tergerusnya nilai luhur Pancasila sebagai simbol kebudayaan yang tak lagi memiliki signifikansi. Pancasila tidak lagi dikonsepsikan sebagai nilai normatif dan etis yang harus ditaati, melainkan sebagai hiasan dekoratif yang tidak menjadi skenario dan praktik dalam suatu pertunjukan di atas panggung kehidupan bangsa. Pada gilirannya kondisi demikian menjadi apa yang disebut sebagai entropi kebudayaan.

Oleh sebab itu buku ini juga berusaha menawarkan solusi atas entropi kebudayaan yang telah terjadi. Cara yang ditempuh adalah menempatkan Pancasila tidak hanya sebagai suatu pandangan dunia bagi bangsa, dasar negara, serta ideologi politik nasional, akan tetapi juga sebagai falsafah kebudayaan yang dipraksiskan melalui demokrasi pemusyawaratan. Dengan cara ini, lima dasar dalam ranah kenegaraan akan berubah menjadi ranah kebudayaan. Dengan ranah kebudayaan inilah Pancasila dapat menjadi napas sehari-hari bagi masyarakat.

Buku ini dinilai penting bagi pegiat ilmu sosial karena lewat di sini kita melihat fenomena-fenomena kebudayaan, demokrasi dan Pancasila dalam ranah kenegaraan melalui sudut pandang sosiologis. Buku ini juga menampilkan kritik-kritik kebudayaan yang bersifat konstruktif serta membuat pembacanya merenungkan telaah kebudayaan dalam memahami kembali Pancasila secara lebih mendalam.

Bab pertama buku ini memuat konsepsi dasar yang merujuk pada sila Ketuhanan Pancasila yang menunjukkan corak ketuhanan yang bukan sektarian, melainkan kebudayaan. Di samping itu, ia juga memuat konsepsi tentang demokrasi permusyawaratan yang dinilai merupakan akar kebudayaan bangsa dalam pencarian mufakat melalui permusyawaratan. Di sini, elaborasi antara Pancasila dalam perspektif kebudayaan dan Pancasila dari perspektif demokrasi disajikan. Di sini kemudian kita bisa melihat bagaimana prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan dan demokrasi permusyawaratan menyampaikan kepada kita bahwa Pancasila, selain sebagai ideologi politik dan dasar negara, juga merupakan dasar kebudayaan dan demokrasi bagi Pancasila. Dengan demikian, Ketuhanan yang berkebudayaan adalah pandangan dunia yang harus diwujudkan oleh prinsip operasionalnya yakni demokrasi pemusyawaratan.

Berlanjut pada Bab II, penulis berusaha memberikan pemikiran Pancasila dari masa ke masa. Dalam ulasan tersebut terlihat bagaimana Pancasila memiliki ragam penafsiran dan bagaimana Pancasila ditempatkan secara berbeda-beda dalam lanskap kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini misalnya terlihat pada tahun 1950 ketika Pancasila diinterpretasi ulang. Ada kubu yang menempatkan Pancasila sebagai filsafat sosial atau weltanschauung (jati diri) bangsa, sementara di kubu yang lain menempatkan Pancasila sebagai hasil kompromi politik: hasil negosiasi dan kesepakatan politik di antara kaum nasionalis religius dengan Islam nasionalis. Pada bab ini juga dijelaskan beberapa pemikiran mengenai Pancasila oleh pendiri bangsa yang kira-kira dapat dipahami sebagai: pertama, Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia dalam arti pandangan dunia. Kedua, pancaran jiwa suatu bangsa terdapat dalam kebudayaanya dan di dalamnya terdapat sistem hukum adat sebagai salah satu subsistem normatifnya. Ketiga, kaitan masing-masing sila Pancasila yang menunjukkan kesatuan filosofisnya.

Di Bab III, buku ini menguraikan mengenai Ketuhanan yang berkebudayaan sebagai ketuhanan yang dalam pengamalannya berorientasi dalam perwujudan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karenanya, dalam memahami, mengimani dan melaksanakan ajaran Tuhan, rakyat Indonesia harus mengamalkan praktik ketuhanannya demi kesejahteraan manusia dan keadilan sosial. Dalam kerangka ini, ketuhanan dalam Pancasila bukan merupakan ketuhanan yang memiliki perspektif pada agama, akan tetapi ketuhanan dalam perspektif yang universal. Dengan kata lain, ia bisa diasupi tradisi-tradisi keagamaan tertentu namun tetap otonom dari aturan keagamaan tertentu.

Sementara pada Bab IV, kita akan mendapatkan konsepsi mengenai demokrasi permusyawaratan sebagai sebuah prinsip operasional yang berfungsi mewujudkan cita-cita dan hakikat kebudayaan dalam Ketuhanan yang berkebudayaan. Demokrasi permusyawaratan merujuk pada sistem demokrasi yang berporos pada mekanisme musyawarah (deliberasi) sebagai mekanisme utama dalam perumusan kebijakan politik sekaligus sebagai suatu prosedur normatif bagi partisipasi rakyat. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan mengenai patologi demokrasi yang memuat dua hal. Pertama, kelemahan teoritis demokrasi akibat keterjebakan pada legitimasi sosiologis, bukan etis. Hal ini membuat demokrasi menjelma menjadi demokrasi mayoritarian. Kedua, keterjebakan demokrasi dalam corak kebebasan negatif. Hal inilah yang membuahkan demokrasi politik minus demokrasi sosial.

Pada Bab V, kita akan diajak memahami kemajuan suatu bangsa dengan mendasarkan pada kebudayaan dan demokrasi yang berprinsip Pancasila. Kemajuan di sini merujuk pada cita-cita “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Dengan arti bahwa kemajuan bangsa adalah kemampuan negara untuk mengadabkan perikehidupan bangsanya serta menciptakan perikehidupan negara yang berkeadilan demi keadilan hidup manusia. Dalam kaitan ini, dasar kebudayaan dan demokrasi merujuk pada dasar-dasar filosofis-etis dari konsep ketuhanan yang berkebudayaan serta demokrasi permusyawaratan. Dasar tersebut meliputi; pertama, dasar ketuhanan. Dalam konteks ini masyarakat Indonesia harus mampu menggeser pola ketuhanannya, dari ketuhanan keagamaan menjadi ketuhanan dalam konteks kebangsaan. Kedua, dasar kebudayaan. Hal ini merujuk pada upaya pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan.

Bab VI buku ini membahas perubahan basis material yang terjadi sebagai problem kebudayaan yang menjadi kendala perwujudan Pancasila. Proses perubahan ini diyakini sebagai dampak modernitas yang mengubah basis sosial dan kognisi kebudayaan. Pada akhirnya kebudayaan sebagai sistem makna dan sistem nilai mati, entropis, dan tak mampu menjadi panduan bagi tingkah laku sistem sosial suatu masyarakat. Hal ini terjadi karena substansi kebudayaan yang berada pada ranah kognisi, mental, nilai, makna dan norma telah diubah oleh perubahan basis materialnya, akibat perubahan cara kerja dan cara hidup. Perubahan inilah yang menimbulkan entropi dalam kerangka politik dan Pancasila, yang mengakibatkan menguatnya nalar instrumental dibanding rasionalitas nilai. Kehidupan modern menjadi dikuasai oleh dua sistem raksasa besar yang menyulap manusia menjadi satu dimensi: industri dan birokrasi. Industri kemudian melahirkan kapitalisme sedangkan birokrasi melahirkan negara koersif yang menyulap politik menjadi administrasi.

Pada Bab VII, penulis memberikan penjelasan akhir mengenai falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara, dan ideologi nasional. Pancasila berkaitan erat dengan dua ranah sekaligus, yakni ranah kebudayaan dan ranah politik. Sebagai pandangan hidup, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar-dasar kebijaksanaan di mana hidup diajarkan. Sebagai kontrak sosial, Pancasila merupakan kompromi atau konsensus setidaknya antara kaum nasionalis religius dan Islam nasionalis. Dalam perumusannya sendiri, Pancasila memang mengandung nilai-nilai modernitas seperti humanisme, sosialisme dan demokrasi. Sementara itu sila ketuhanan melambangkan kearifan lokal bangsa yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia memang sejak awal bersifat religius. Dalam kerangka Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, kehadiran demokrasi pemusyawaratan dirasa sangat perlu karena ini menandakan bahwa sistem politik yang dianut tidak bersifat mayorokrasi melainkan deliberatif dengan perluasan partisipasi politik hingga ke ruang publik. Oleh sebab itu diperlukan ruang bagi rakyat dalam keterlibatan permusyawaratan secara langsung demi tegaknya demokrasi pemusyawaratan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila.

Akhirul kalam, buku ini disusun dengan begitu rinci dalam mengupas dimensi-dimensi falsafah serta kebudayaan Pancasila. Dengan penjelasan yang bertahap, Syaiful Arief mampu menjelaskan secara detil Pancasila dalam telaah kebudayaan. Sementara itu, kelemahan dari buku ini ialah banyaknya penulisan istilah-istilah asing dari para ahli yang menjadi sumber referensi namun terkadang luput mendapat penjelasan. Hal ini membuat argumen penulis buku tidak bisa dipahami dengan baik khususnya bagi kalangan awam yang tidak terbiasa dengan tilikan filsafat dan teori ilmu sosial lainnya.

Bagikan