Perjalanan demokrasi di Indonesia tidak selamanya sejalan dengan ideologi negara kita, Pancasila. Legitimasi Pancasila secara tegas tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan difungsikan sebagai pedoman dasar dalam berbangsa dan bernegara. Selama kurang lebih 75 tahun, upaya penyelasaran nilai-nilai demokrasi terhadap Pancasila dilakukan.
Sebagai falsafah negara sekaligus produk pemikiran, Pancasila bersifat terbuka. Artinya, ruang penafsiran terhadap Pancasila dapat menjadi beragam dan dinamis. Esensialnya, Pancasila dapat dimaknai sebagai sebuah hasil atas diskursus publik dalam situasi yang ideal. Akan tetapi, kuatnya legitimasi kekuasaan negara acap kali mendominasi diskursus, terutama terhadap penafsiran Pancasila itu sendiri.
Pancasila mengalami transformasi fungsi pada perumusannya. Pertama kali dikodifikasikan secara resmi dalam prinsip dasar negara, Pancasila merupakan produk kompromi antara dua kelompok besar; kelompok Islam dan Nasionalis. Di satu sisi, kelompok Islam secara intens memperjuangkan pembentukan negara Islam. Di sisi lain, kelompok nasionalis yang diwakili Panitia 9 memperjuangkan negara nasionalis.
Pancasila juga merupakan modus kompromi dan landasan pembentukan pemerintah Indonesia. Makna tersebut berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila membawa gambaran umum tentang arah kehidupan masyarakat Indonesia setelah merdeka. Sehingga, Pancasila sebenarnya membawa harapan dan tujuan yang kemudian diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Akhir abad-19 ditandai dengan globalisasi yang dibawa negara-negara di Barat. Transformasi global tersebut terjadi meliputi beberapa hal. Salah satunya adalah sistem demokrasi. Demokrasi Barat telah membawa nilai-nilai seperti kebebasan individu dan kesetaraan. Di Indonesia, proses demokratisasi berlangsung pada akhir abad ke-20. Fenomena tersebut ditandai dengan transisi kekuasaan Soeharto yang otoriter menjadi lebih demokratis.
Alih-alih mengusung nilai kebebasan individu dan kesetaraan, Pancasila justru mengedepankan aspek keadilan, persatuan, dan kesejahteraan. Selain itu, praktik masyarakat yang lebih mengutamakan kebersamaan dan kerja sama, terlihat tidak kompatibel dengan nilai-nilai liberal pada demokrasi.
Jika kita telaah kembali, wacana liberal Barat mendukung pandangan yang menekankan bahwa setiap orang berhak atas pencapaian personal dan persaingan bebas yang memungkinkan semua orang bermain dalam level dan aturan yang berlaku bagi semuanya. Konsep ini memungkinkan penerapan nilai demokrasi yang cenderung sulit untuk diterapkan di Indonesia.
Antara demokrasi dan kedaulatan rakyat
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”(Sila Ke-4 Pancasila)
Menarik untuk mengkaji kompabilitas antara sila ke-4 Pancasila dalam ruang demokrasi. Secara umum, sila ini berbicara mengenai sistem presidensil, kriteria bijaksana dalam memimpin, serta sistem musyawarah-mufakat. Mekanisme musyawarah-mufakat yang ditafsirkan melalui sila ke-4 memberi makna bahwa para wakil rakyat dan badan perwakilan dipilih untuk memperjuangkan mandatori dari rakyat. Dengan kata lain, mereka adalah perpanjangan tangan rakyat. Dengan demikian, sila ke-4 ini memberikan pandangan bahwa sebenarnya demokrasi di Indonesia dijalankan melalui suatu mekanisme bernama Pemilu (pemilihan umum).
Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Schimitter dan Karl, setidaknya terdapat sembilan prasyarat dalam menjalankan demokrasi. Di antaranya seperti hak untuk memilih (voting) dan dipilih, adanya kebebasan sipil, dan terbebas atas kepentingan pribadi atau sistem politik. Prasyarat ini memudahkan negara dalam menjalankan prinsip operatifnya sebagai negara demokratis.
Pemilu menjadi prasyarat prosedural minimum yang harus dijalankan oleh negara demokrasi. Melalui pemilu, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Partisipasi rakyat dalam formulasi hingga evaluasi kebijakan terikutsertakan dalam ruang ini untuk mendorong implementasi demokrasi.
Mekanisme musyawarah-mufakat dalam sila ke-4 diperuntukkan untuk memperindah sistem demokrasi. Maksudnya, besarnya toleransi yang tercermin lewat musyawarah-mufakat dijaga untuk menghadapi tantangan zaman dan kemajuan teknologi.
Musyawarah-mufakat adalah pola yang selalu digunakan di setiap kegiatan masyarakat dan negara. Nilai ini dianggap menumbuhkan kekuatan bangsa Indoneisa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak selalu berkonotasi positif, mekanisme musyawarah-mufakat kadang dinilai sebagai demokrasi yang berlebih. Jika mengacu pada prosedur awal demokrasi Barat, maka konsep voting adalah metode yang paling tepat untuk mencapai keputusan. Hal ini tidak terjadi di Indonesia.
Mekanisme pembuat keputusan secara musyawarah-mufakat nyatanya kadang melunturkan nilai demokrasi awal. Musyawarah-mufakat membawa proses negosiasi politik di antara para aktor politik. Mirisnya, negosiasi tersebut biasanya dilandasi oleh kepentingan pribadi atau self-interest. Dengan demikian, demokrasi di Indonesia sejatinya masih jauh dari kedewasaan.
Lebih jauh tentang kedaulatan rakyat, demokrasi tidak pernah memberikan indikator yang mutlak tentang baik-buruknya sebuah negara. Memahami gagasan mengenai demokrasi, perlu dilakukan dengan memperjelas konsep-konsep penting di dalamnya. Pengertian demokrasi yang merupakan sebuah sistem dengan kedaulatan negara berada di tangan rakyat, nyatanya membuat makna demokrasi semakin rancu. Misalnya, frasa “Kekuasaan dipegang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, menimbulkan sebuah tanda tanya tentang rakyat
mana yang berkuasa; atau siapakah rakyat itu? Berangkat dari premis semacam ini, masih perlu adanya kejelasan mengenai konseptualisasi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi membutuhkan partisipasi rakyat sebagai agen utama dalam melaksanakan kehidupan bernegara. Akan tetapi, dalam berbagai kasus, justru banyak orang yang memiliki hak dan tanggung jawab sebagai warga negara, tetapi tidak mau terlihat aktif atau berpartisipasi sebagai bagian dari tubuh politik itu sendiri.
Nilai kedaulatan rakyat dalam demokrasi, dalam implementasinya, perlu disertai dengan pengamalan terhadap sila-sila Pancasila lainnya. Seperti halnya Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, jaminan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, keseimbangan antara kepentingan negara dan masyarakat akan seimbang dan terpenuhi.
Demokrasi Konsolidasi
Selain mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, terutama bagaimana praktiknya dapat seiring dengan demokrasi, kiranya penting bagi bangsa Indonesia untuk mendukung terlaksanakanya demokrasi konsolidasi. Demokrasi konsolidasi dapat dilihat sebagai tahap akhir menuju kedewasaan demokrasi.
Demokrasi konsolidasi dapat diartikan sebagai karakteristik rezim yang tujuannya adalah meningkatkan kualitas demokrasi secara keseluruhan. Dalam arti sempit, kehadiran demokrasi konsolidasi adalah sebagai sistem lembaga, aturan, insentif dan disinsentif yang berpola kompleks, serta sebuah permainan. Sehingga, dalam demokrasi konsolidasi, demokrasi menjadi sistem yang terinternalisasi dalam kehidupan sosial, kelembagaan, dan bahkan psikologis, serta perhitungan politik dalam mencapai kesuksesan.
Dalam mewujudkan demokrasi konsolidasi, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: pengembangan masyarakat sipil yang bebas dan hidup, adanya politik yang otonom di
masyarakat, adanya birokrasi pemerintahan, serta adanya masyarakat ekonomi yang dilembagakan
Untuk mencapai demokrasi yang terkonsolidasi, tidak selalu memerlukan demokrasi yang berkualitas tinggi atau masyarakat yang berkualitas tinggi. Institusi dan lembaga-lembaga harus beroperasi dalam kerangka hukum yang telah dibuat oleh badan-badan yang memiliki otoritas dan terpilih.
Keputusan serta kebijakan oleh pemerintah atau pun legislator yang demokratis maka akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakatnya pula. Kualitas kehidupan inilah yang akan dinilai oleh masyarakat, apakah mereka puas dengan kinerja pemerintah maupun puas terhadap sistem demokrasi itu sendiri.