Narasi, Juni, 2024

Sambatan, Budaya Kampung Yang Membumi

Satriyo Wibowo,

Saat pagi merekah dan sang surya mulai terlihat dari timur seperti memanggil setiap orang
untuk melakukan aktifitas, maka disitulah mulai terlihat kehidupan bermasyarakat mulai nyata. Waktu
menunjukkan pukul 05.30 WIB tidak lama terdengar kentongan berbunyi yang dipukul oleh seorang
warga, yang kalau di dengar tok tok tok tok bunyi yang kas mulai terdengar dari kejauhan oleh telinga
warga satu kampung. Itulah suatu tanda pertemuan warga untuk mengajak mereka berkumpul dan
melakukan sesuatu bersama dan bergotong royong. Satu persatu kaki yang melangkah dan mulai
terlihat, satu datang lalu lainnya datang dan akhirnya mereka berkumpul saling berjabat tangan dan
mulai berinteraksi satu dengan yang lainnya, tak lupa senyum dan tegur sapa sebagai orang jawa
membuat pagi itu lebih syahdu dan akrab. Warga datang tidak dengan tangan kosong, namun mereka
membawa kursi dan meja sebagai bentuk gotong royong mereka dalam membantu warga lain yang akan
melaksanakan acara atau lebih dikenal dengan due gawe (punya acara), nyengkuyung bareng untuk
kepentingan bersama. Itulah cerita pembuka tentang aktifitas yang ada di sekitar kami, dan itu menjadi
satu budaya yang sering kami lakukan yang di kenal dengan budaya “Sambatan”.
Budaya ini masih sangat melekat di daerah kami tinggal yaitu desa Kebun baru, pucangan
Kartasura sukoharjo. Bagi orang jawa kata sambatan berasal dari sambat (jawa) yang memiliki arti
mengeluh. Namun sambatan disini merupakan sebuah tradisi budaya dengan kearifan gotong royong
masyarakat, dimana secara bersama-sama warga membantu dalam hal tenaga secara sukarela tanpa
imbalan atau upah untuk menolong orang lain. Budaya ini memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi
manfaatnya, dasar kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dan berkelompok. Sambatan ini
mengambil peran penting dalam kehidupan orang jawa. Semua tidak bisa dikerjakan sendiri atau
disunggi sendiri namun kita butuh bantuan uluran tangan orang lain, dalam istilah jawa disunggi bareng
akan menjadi lebih ringan. Itulah filosofi yang memiliki nilai luhur warisan nenek moyang yang harus di
jaga serta di turunkan ke anak dan cucu kita, karena kelak mereka hidup dalam budaya jawa yang kental
sekali dengan istilah gotong royong.
Sambatan ini biasa di istilahkan untuk mengajak warga lain saling terlibat untuk membantu
warga atau tetangga kita yang memiliki acara seperti pernikahan, bedah rumah, kematian, pengecoran
jalan dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan bersama. Di desa kami, salah satu sambatan
yang sering dilakukan dan menarik untuk dibahas adalah sambatan pernikahan, dilakukan 2 kali
sambatan yaitu sebelum acara dan sesudah acara. Pada persiapan acara dilaksanakan pada pagi hari,
dimulai pada pukul 05.30 WIB yang hadir adalah bapak-bapak dari warga sekitar. Setiap kepala keluarga
diwajibkan memiliki 4 kursi plastik dan 1 meja dengan dicantumkan namanya, nantinya dipakai untuk
kebutuhan acara yaitu sebagai kursi untuk para tamu dan meja untuk menaruh minuman atau makan
saat resepsi berjalan. Pada saat sambatan berlansung maka para kepala keluarga sambil datang ke
tetangga yang akan due gawe mereka membawa kursi dan meja tersebut, dikumpulkan di satu tempat
dan nanti di tata bersama dengan interuksi oleh tetua atau bapak RT disana. Dengan kesadaran dan
kerelaan masing-masing warga mulai berbagi tugas ada yang memasang tenda, mengambil bolopecah
(piring, mangkok, gelas, sendok), menata kursi dan menghias kembar mayang. Biasanya semua berjalan
natural, masing-masing warga tahu harus mengerjakan apa tanpa di arahkan dan di suruh-suruh

walaupun memang ada orang yang sudah di tunjuk menjadi panitia acara. Yang menarik dari aktifitas
sambatan adalah adanya pertemuan dan komunikasi antar warga khususnya bapak-bapak sehingga
pertemuan ini mengandung nilai silaturahmi dan bersosialisasi serta bercanda tawa yang membuat
akrap satu dengan yang lainnya. Walaupun sambatan di lakukan di pagi hari yang biasanya orang enak-
enakan tidur tarik selimut tapi warga kampung kami memilih untuk bangun dan sambatan,
mementingkan kepentingan warga lainnya. Biasanya sambatan tidak di batasi waktunya kadang pukul
08.00 WIB sudah selesai, wargapun tidak di haruskan pulang jam berapa karena sifatnya nyengkuyung
maka bebas karena masing-masing warga memiliki keperluan lain di pagi itu, ada yang bekerja atau ada
keperluan lain namun itu tidak dipermasalahkan bagi warga lain. Sambatan dilanjutkan esok hari setelah
acara selesai, itupun di jam yang sama. Keesokan harinya bapak-bapak kembali ke tempat yang punya
gawe dan kali ini sambatan untuk beres-beres mengembalikan semua yang kemarin di pakai acara.
Biasanya memilah kursi dan meja untuk di kembalikan ke pemiliknya, fenomena yang menarik jika warga
tersebut tidak bisa hadir di sambatan ke-2 makan warga lain yang akan mengantar kursi dan meja itu di
taruh di rumah pemiliknya. Sehabis warga mengembalikan kursi mereka tidak terus pulang tetapi
mereka kembali untuk membereskan bolopecah yaitu mengelapnya, menghitung, memasukkan ke
keranjang dan mengembalikan ke tempatnya. Sering kejadian lucu jika waktu menghitung bolo pecah
ada yang salah atau lupa maka diulang atau bahkan 1 jenis bolopecah bisa di hitung lebih dari 2 orang
memastikan tidak salah hitung, disitulah serunya canda tawa dan saling peduli supaya tidak ada
kekeliruan. Akhirnya setelah semua di selesaikan maka warga berpamitan kepada yang punya gawe
untuk pulang, sah bahwa yang punya gawe mengucapkan terimakasih sedangkan warga lain
memberikan dukungan dan selamat kalau acaranya lancar dan sukses. Jabatan tangan antar warga
menjadi cerminan sambatan bahwa arti dengan berjabat tangan kita bisa melaluinya bersama,
nyengkuyung bareng.
Sambatan untuk acara lainnya juga sama, dimana warga selalu hadir dengan arti aku nang kene
opo seng isa tak ewangi? Artinya aku disini apa yang bisa aku bantu. Baik acara suka maupun duka
sambatan ini selalu memberi dampak positif bagi masyarakat bahwa perhatian dan rasa ingin menolong
adalah pondasi dalam bermasyarakat tanpa itu akan sangat rapuh kehidupan ini. Itulah cerita sedikit
tentang budaya yang ada di desaku, saya yakin budaya yang lahir dari budi dan akal yang benar akan
membawa kita ke nilai-nilai positif. Terima kasih

Bagikan