Memilik tragedi G30SPKI dengan sudut pandang yang berbeda.
***
Setiap tragedi adalah kisah paten yang memiliki makna masing-masing dari sudut pandang para saksi mata.
Sama seperti pria yang usianya hampir menyentuh kepala tujuh di sampingku. Mata remajanya kala itu telah menjadi saksi dari sebuah penumpasan gerakan komunisme di desanya. Sebuah tragedi yang bukan hanya merenggut kehidupan seseorang karena terputusnya kerongkongan, tapi juga menghilangkan beberapa ikatan. Salah satunya persahabatan di antara dua orang yang lama tak bersua.
*
Sekelebat tentang September—atau yang oleh masyarakat Jawa disebut dengan penanggalan Selo—di mana teranggap sebagai bulan tidak baik, dengan Selo kependekan dari “keseselan olo” menjadi saksi bisu dari jumpa dua raga satu jiwa, sebuah pepatah yang dibuat para empu-empu berkepercayaan Jawi Kuno, tentang dua weton sama yang kelak melahirkan dua persaingan sengit. Adalah Wiyono dan Kaseri, dua bayi segenerasi yang terlahir dengan takdir Yang Maha Kuasa, satu weton. Tak perlu dipertanyakan tentang keakraban, karena acapkali dari perilaku semasih kecil hingga menjelang remaja keduanya seolah lengket—yang orang-orang pinggiran Jawa Timur menyebutnya seperti jadah—makanan tradisional yang padahal dibuat perumpamaan untuk seserahan perkawinan.
Kebersamaan keduanya terpisah ketika Wiyono harus menempuh pendidikan ilmu agama Kerasulan di salah satu kadipaten yang masih dalam wilayah Jawa Timur. Dalam rentang waktu panjang, yang tidak diketahui kapan pulang.
September.
Saat di ibukota sana digemparkan dengan berita pembantaian besar-besaran di lubang buaya, sedang Madiun digegerkan dengan perlawanan upaya pertahanan, para warga pinggiran kali Brantas juga turut dibuat meremang.
Malam itu, selepas azan isya dikumandangkan dan pujian-pujian Kanjeng Nabi dilantunkan, warga dibuat memenuhi jalan setapak di sepanjang desa. Sebuah Lintang Kemukus[1] menghias langit malam yang pekat. Ketenangan yang mendera sebab salat hendak dilaksanakan tadi, mendadak ricuh oleh bisik-bisik para warga. Sebagian berisi decakan kagum, sedangkan yang lainnnya—terdiri dari golongan tetua kampung—mengelus dada sembari mengucap istigfar.
“Paringi keselametan, Gusti,”[2] ucap Rosmo—Joyoboyo kampung kecil itu.
Para masyarakat Jawa Timur—terutama yang masih menganut kepercayaan dan adat istiadat Kejawen—menyakini bahwa kemunculan lintang kemukus adalah awal pertanda dari musim pagebluk, paceklik, dan malapetaka. Meskipun kepercayaan itu terampu oleh para golongan tetua, tapi dampak nyata dari kemunculannya dirasakan oleh warga Nganjuk yang bertempat tinggal di pinggiran kali Brantas, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kediri. Pagi itu saat fajar Shodiq muncul di langit, menciptakan pemandangan mega merah, sedang ayam-ayam jago belum juga berkokok, warga dibuat tercengang oleh grasak-grusuk berita penyebaran suatu golongan partai berpaham komunis ke daerah mereka. Usut-usut hanya disebutkan berita tanpa nama. Kendati demikian, berada di situasi genting benar-benar menghilangkan perasaan tentrem ayem. Saat itu, tak ada yang mampu dipercaya.
Esoknya lagi, perut warga dibuat mual. Arus deras kali Brantas yang awalnya berwarna bening kecokelatan berubah menjadi semu merah dengan tubuh-tubuh manusia yang terbawa arus.
“Ana wong mati! Ana seng mati!”[3]
Begitu teriak satu warga, yang diteruskan pada warga-warga lainnya. Tak lama, pinggiran kali telah dipenuhi tumpukan manusia menonton tragedi pertumpahan darah itu.
Siangnya ketika matahari telah beranjak naik setengah depa orang dewasa, para pegawai kecamatan datang. Beberapa gerumbulan berhasil dibubarkan dan memintanya melaksanakan kegiatan seperti biasa; menumbuk padi dan mencari rumput untuk kambing. Meski begitu, dalam hati masih terdapat gundah, mengkaji tanya: apa yang terjadi?
Di antara para perangkat kecamatan itu, Kaseri salah satunya. Pemuda yang beberapa tahun lalu masih sibuk bermain biji salak, kini telah mengurus sebuah masalah rakyat di kantor kecamatan. Beberapa kali mereka—para perangkat kecamatan—bertatapan dengan dahi mengkerut seolah memikirkan problem yang begitu berat.
Para pegawai kecamatan dan ABRI meminta warga untuk diam. Tapi desas-desus mengenai pelaku tak bisa dielak. Hingga tersangka akhirnya mengacu pada pemuda yang baru saja pulang dari kadipaten perantauan—Wiyono. Diketahui, ia pulang tak hanya sendirian, tapi juga beberapa rekannya.
Ketika radio hitam butut di pos dusun menyiarkan pidato dari presiden kedua RI, bersamaan dengan pengangkatan para pahlawan revolusi dari lubang di bawah pohon pisang, warga malah makin menghubungkan. Begitu pula golongan Kaseri yang ternyata turut memasang telinga lebar-lebar dan membantu menarik antena yang panjangnya hingga hampir berbelok di perempatan.
“Wingi Wiyono rame-rame wayah wengi.”[4]
Fakta baru, yang diangguki golongan Kaseri.
*
Oktober dinihari, para pemuda dengan parang panjang di tangan mendobrak rumah Kaseri.
Dinginnya malam terkalahkan oleh butir-butir keringat di kening Kaseri. Ia menatap sekilas sebuah sarung yang diletakkan di sebakul bekas wadah nasi. Tangan kasarnya mengelus pelan disertai embusan napas.
“Kaseri! Buka Kaseri!”
Lalu disusul usaha dobrakan yang semakin menjadi. Wajah pucat pasi milik Kaseri tak dapat terhindarkan saat malaikat ajal seakan menjemput melalui jelmaan gerombolan pria bertopeng di hadapannya. Lalu benda tajam itu dengan pasti menghujam bagian perut dan dada Kaseri berulang.
“Wi—wiyono,” titah Kaseri terbata.
Pria yang dipanggil—yang dulu sempat menjadi rekan sepermainan—hanya menatap datar.
“Yo—on,” panggilnya lagi.
Wiyono mendekat. “Iya, Ri.”
Lalu tangan yang awalnya menyumpal luka sayatan di bagian dada itu, perlahan menunjuk ke arah bawah amben tempatnya tadi meletakkan bakul.
Pandangan Kaseri meremang bersama samar-samar seruputan lidah yang beradu dengan ujung parang, menyesap darah merah pekatnya di sana. Bau anyir makin menyesakkan dadanya, dengan Wiyono yang bergerak gusar di samping sarung bermotif kotak-kotak. Benda keramat, lambang eratnya persahabatan mereka. Dulu.
*
26 Januari 2021
Secangkir kopi hitam masih mengepulkan asapnya. Sedangkan si calon peminum malah fokus dengan potongan-potongan bambu calon pintu anyam di tangannya. Kami duduk di bawah pohon mangga, dengan aku sebagai wartawan, dan ia: objek narasumber.
“Setelah itu Pancasila tetap kokoh berdiri, tapi persahabatan Wiyono dan Kaseri ….”
“Setiap cerita punya sudut pandangnya masing-masing. Tak semua hal berhak kita hakimi,” potongnya di antara kegamanganku.
Kemudian setelahnya hening, dan kisah itu berakhir.
Nganjuk, 27 Januari 2020
Catatan kaki: