Indonesia diciptakan ketika Sang Khalik sedang tersenyum sumringah. Hal itu dikarenakan banyak sekali keindahan yang hadir di Bumi Pertiwi, mulai dari indahnya pemandangan alam raya dan juga eloknya keragaman dalam kehidupan sehari-hari. Nusantara menjadi destinasi bagi Tuhan Yang Maha Esa untuk menganugerahkan perbedaan. Dalam merespon berkat tersebut, seluruh rakyat Indonesia sudah memiliki satu persepsi untuk melabeli bangsa dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan yang berasal dari bahasa sansekerta tersebut membumi serta kerap diagungkan dari Sabang sampai Merauke.
Seluruh penjuru Indonesia memiliki keragaman dan ciri khas budayanya masing-masing. Begitupun dengan penduduk Provinsi Maluku yang kebanyakan merupakan suku Ambon. Ambon merupakan sebuah suku campuran Austronesia-Papua yang berasal dari Kepulauan Ambon-Lease dan sisi barat Pulau Seram. Suku Ambon merupakan yang terbesar dari suku yang ada di Maluku lainnya. Mereka berbicara bahasa Ambon (bahasa Austronesia) yang merupakan bahasa utama Maluku di samping bahasa Indonesia. Ambon adalah suku paling terkenal dan berpengaruh dari suku Maluku lainnya. Pada masa penjajahan Portugis, mereka mulai memperluas pengaruhnya. Oleh karena itu, istilah Ambon sering disamakan dengan Provinsi Maluku.
Dalam konteks budaya, Maluku memiliki tradisi “Pela Gandong” yang juga berpengaruh kuat terhadap perilaku masyarakatnya. Pela Gandong adalah istilah yang digunakan untuk menyebut dua negeri atau lebih yang saling menerima sebagai saudara. Pela Gandong sendiri merupakan gabungan dari kata “Pela” yang berarti ikatan persaudaraan dan juga “Gandong” yang memiliki makna saudara. Dengan demikian, Pela Gandong merupakan ikatan persatuan dengan saling menganggap satu dengan yang lain sebagai saudara. Pela Gandong sendiri lahir di Maluku sejak lama, kebudayaan ini bermula dari keadaan masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih negeri yang berbeda agama, yaitu Islam dan Kristen. 2 Pela Gandong tercipta melalui hubungan yang saling menguntungkan antara negeri Kailolo dan Tihulale pada masa penjajahan Belanda. Ketika pemerintah Belanda mengadakan lomba perahu belang di tahun 1921, kedua negeri tersebut menjadi satu kesatuan tim. Mereka berhasil memenangkan perlombaan, maka itu munculah suatu hubungan antara keduanya secara hangat. Kekeluargaan tersebut ditunjukkan saat negeri Kailolo membangun Masjid Nan Datu. Setahun kemudian, mereka mengundang rakyat negeri Tihulale yang datang tanpa tangan kosong. Mereka membawa banyak sekali kayu serta papan yang dapat digunakan untuk membangun masjid. Sementara itu, negeri Tihulale membangun Gereja Beth Eden beberapa tahun kemudian, lalu warga negeri Kailolo juga banyak menyumbangkan gerabah. Pertukaran ini terjadi sekitar tahun 1922, 87 tahun berselang, negeri Kailolo dan Tihulale di Provinsi Maluku Tengah mengangkat Pela sebagai saudara di depan Gubernur Maluku.
Budaya Pela Gandong sempat tergerus karena konflik yang sempat terjadi di Maluku pada tahun 1999-2002. Konflik antar denominasi di Kepulauan Maluku ini merupakan konflik etnis dan politik yang secara khusus mempengaruhi agama di Ambon dan Halmahera. Perselisihan dimulai pada 1999 dan berlanjut hingga penandatanganan Piagam Marino II tanggal 13 Februari 2002. Penyebab konflik ini pada dasarnya adalah kesalahpahaman antara dua orang muda yang berbeda agama dan disalahgunakan oleh pihak lain untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan suatu kelompok. Dengan demikian, kejadian tersebut menjadi catatan sejarah bagi masyarakat Maluku ketika budaya Pela Gandong yang sejak dahulu kala mereka agungkan sempat memudar karena adu domba. Pada umumnya, budaya Pela Gandong adalah suatu tradisi yang ada dalam masyarakat, khususnya Negeri Raja-Raja pada Maluku sebagai pembentuk suatu kebersamaan dan kerukunan antara masing-masing negeri tersebut. Diharapkan dengan adanya Pela dari masing-masing negeri tersebut dapat terjalin suatu keharmonisan dalam berhubungan satu sama lain.
Saat ini, budaya Pela Gandong orang Maluku diupayakan oleh pemerintah sebagai cara supaya masyarakat yang berbeda agama, ras, dan juga suku menjadi rukun. Sehingga, diantara keragaman yang ada dapat tercipta suatu kebersamaan serta diharapkan bisa menjadi pendorong terwujudnya Maluku yang aman dan sejahtera. Tidak hanya menjadi tugas dari pemerintah, tetapi para masyarakat juga perlu kembali memperkuat budaya Pela Gandong agar saling menghargai dan bertoleransi. 3 Dalam praktek konkretnya saat ini, budaya Pela Gandong diimplementasikan generasi muda Maluku melalui tajuk “Ale Rasa Beta Rasa”. Ungkapan tersebut memiliki arti saya rasa kamu juga rasa dan menjadi sebuah pernyataan masyarakat Maluku yang menegaskan empati serta cinta bagi satu sama lain. Ungkapan Ale Rasa Beta Rasa memiliki makna filosofi yang kuat, yaitu menyatukan orang-orang Maluku meskipun berbeda kampung, agama, gender, status sosial, dan lainnya. Konsep ini mulai diajarkan melalui lingkup keluarga antara adik-kakak yang haruslah saling menyayangi. Lalu, seiring bertumbuhnya anak, mereka juga akan melakukan generalisasi perilaku ke lingkungan sekitar di luar keluarganya. Dengan begitu, setiap masyarakat Maluku menyadari bahwa mereka terlahir dari tanah yang sama, hingga akhirnya merasa senasib serta sepenanggungan. Pada zaman sekarang, kerap kali terjadi migrasi yang dilakukan antar pulau. Para pemuda Maluku juga sudah tersebar di seluruh Indonesia. Budaya Pela Gandong melalui konsep Ale Rasa Beta Rasa semakin menguat dan tidak hanya sekadar romantiasasi identitas orang Maluku di tanah rantau. Hal itu merupakan sebuah ikhtiar untuk membina kekeluargaan, kebersamaan, dan juga solidaritas yang kuat demi masa depan bersama yang lebih baik. Bahkan, Pela Gandong makin melebur tidak hanya di tanah Maluku, para perantau tersebut juga menganggap rekan sejawatnya di tanah orang lain sebagai saudara yang harus dikasihi. Menegaskan konsep Ale Rasa Beta Rasa, juga menekankan bahwa makna yang lahir dari jiwa jauh lebih kuat dibandingkan cara berpikir yang sering memisahkan keberadaan manusia karena perbedaan.
Sejatinya, budaya Pela Gandong yang dipraktekkan secara konkret melalui konsep Ale Rasa Beta Rasa sifatnya sangatlah universal dan tidak terbatas oleh daerah. Budaya ini tidak hanya menjadi panduan etis bagi orang Maluku terhadap sesamanya, akan tetapi perlu diimplementasikan ke seluruh insan. Kita tidak dapat menyangkal bahwa manusia dilahirkan dari satu sumber yang sama. Ketika menelusuri asal usul manusia, sebenarnya kita berasal dari awal yang sama dan dilahirkan serta berkembang dari generasi ke generasi Oleh sebab itu, jika semuanya adalah satu, maka tidak ada alasan untuk merasa tidaknya nyaman atau canggung karena perbedaan identitas sosial. Sehingga, sudah tugas kita untuk memberikan cinta tanpa syarat terhadap sesama karena sejatinya kita adalah satu, saudara setanah air