Salah satu nilai luhur Pancasila yang harus ditanamkan pada generasi bangsa adalah memerangi tindak pidana korupsi yang hingga kini masih merajalela di negeri ini. Pemberitaan tindak pidana korupsi ini masih menghiasi berbagai media massa; baik media cetak maupun media elektronik. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia akan merugikan seluruh bangsa. Tindakan tidak bermoral ini harus diperangi sejak dini.
Pancasila merupakan salah satu pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mencintai Pancasila sama dengan mencintai bangsa ini. Nilai-nilai luhur Pancasila mengatur kehidupan masyarakat menuju bangsa yang bermartabat. Menurut Dzunuwanus Ghulam Manar (2018 : 77), kita telah memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Yang perlu kita tindak lanjuti adalah membangun dan mengembangkan kerangka berpikir dan bertindak politik yang relevan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ideologi Pancasila menjadi roh dalam menjalankan segala aktivitas. Bung Karno pernah mengatakan (A. Yusrianto Elga : 25), cara melawan kekuatan uang adalah kekuatan ideologi. Setiap orang yang berpegang teguh pada masing-masing ideologinya, pastilah tidak akan terjebak ke dalam perangkap korupsi. Perkataan Bung Karno ini tentu menjadi pesan berharga sepanjang zaman. Ideologi Pancasila yang sudah mendarah daging akan menjadi karakter bangsa.
Bagaimana cara menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila sejak dini?
Orang-orangtua di Sumenep, Madura, Jawa Timur, memiliki keunikan tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila kepada anak-anaknya. Di antaranya adalah penanaman pendidikan anti korupsi melalui meja makan. Orang-orangtua akan menjadi guru walaupun tanpa spidol, papan, atau proyektor. Dampaknya sangat luar biasa. Anak-anak akan mengingat pesan moral yang disampaikan orangtua tersebut. Bagaimana caranya?
Meja makan merupakan salah satu sarana yang tepat dalam menyampaikan pendidikan anti korupsi. Di Sumenep, Madura, Jawa Timur, orang-orangtua akan selalu mengingatkan anak-anak ketika makan bersama agar ‘Jha’ amacalama’. Amacalama dalam Bahasa Madura memiliki arti mengambil makanan yang ada di hadapan orang lain. Jha’ amacalama berarti jangan mengambil makanan yang ada di hadapan orang lain.
Ketika makan bersama, setiap orang telah diberi jatah tersendiri. Baskom berisi nasi, ikan laut, lauk, atau kuah yang tersaji sudah diketahui untuk siapa masing-masing itu dihidangkan. Seseorang yang menyajikan makanan tersebut juga sudah paham dan mengerti hak masing-masing anggota, termasuk ketika makan bersama dalam sebuah keluarga.
Seseorang yang mengambil hidangan di hadapan orang lain akan ditegur pada waktu itu juga: ‘Jha’ amacalama’, ‘Jangan mengambil sesuatu yang ada di hadapan orang lain’. Kalimat tersebut mengandung pesan moral yang sangat berharga. Orangtua mengajari anak-anaknya dari meja makan agar jangan terbiasa mengambil sesuatu yang ada di hadapan orang lain. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam kondisi tersebut bisa tersampaikan dengan baik. Tetapi, jika karakter amacalama menjadi bagian dari kehidupan seseorang, tidak menutup kemungkinan hal tersebut sebagai langkah awal tertanamnya kebiasaan mengambil hak orang lain. Meja makan merupakan salah satu media pencegahan dini terhadap tindak pidana korupsi. Maka, anak-anak akan selalu mengenang dan mengingat bahwa mengambil hak orang lain bukan perbuatan terpuji.
Pendidikan anti korupsi melalui meja makan tersebut tidak hanya berhenti pada ruang lingkup keluarga. Acara makan bersama masyarakat tradisional di Sumenep, Madura, Jawa Timur, akan mudah ditemui setelah masyarakat bekerja bersama, gotong-royong, bantu-mambantu, atau dalam rangka acara-acara tertentu. Karakter Jha’ amacalama akan berlanjut pada ruang lingkup yang lebih besar. Mereka akan memegang teguh pendidikan keluarga yang disampaikan melalui meja makan tersebut.
Acara makan bersama setelah acara tertentu juga memiliki aturan tak tertulis sebagaimana doktrin melalui meja makan keluarga. Ketika acara hajatan, misalnya. Tetamu yang menikmati hidangan tidak boleh mengambil hidangan yang ada di hadapan orang lain. Jika dilanggar, itu merupakan hal yang tabu. Seseorang yang tidak mendapat bagian nasi tidak akan menjulurkan tangannya ke hadapan orang lain. Ia akan memilih berdiam diri tanpa memulai makan bersama. Ia juga tidak akan memanggil pelayan untuk mengantarkan hidangan saat itu.
Pendidikan anti korupsi melalui meja makan dalam ranah keluarga kini meluas ke ranah sosial-masyarakat. Jika dalam satu keluarga terdapat empat anggota, dalam sepuluh keluarga akan melahirkan empat puluh orang yang memiliki pemahaman yang sama tentang anti korupsi. Kontrol masyarakat akan sama ketika terjadi pelanggaran amacalama. Seseorang yang amacalama akan mendapat teguran yang serupa.
Pendidikan jha’ amacalama tentu akan menjadi karakter pada setiap anggota keluarga. Mungkin saja para orangtua tersebut tidak memahami kandungan Pancasila yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi orang-orangtua di Sumenep, Madura, Jawa Timur ini sejak dahulu kala telah menanamkan nilai-nilai tersebut hingga membentuk karakter kepada anak-anaknya. Bisa saja, mereka sangat pancasilais dan mencintai negeri ini sepenuh hati.
Karakter yang melekat akan membentuk anak-anak tersebut sangat dekat dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Karakter tersebut akan membentuk mereka untuk tidak korupsi di mana pun berada; korupsi materi atau korupsi waktu. Slogan “Katakan Tidak pada Korupsi” akan menjadi sesuatu yang nyata. Ini generasi cemerlang yang patut menjadi pemegang estafet perjuangan bangsa. Anak-anak Pancasila yang lahir dari meja makan ini akan layak menjadi penguasa, pejabat, atau rakyat kecil yang bermartabat. Dalam kondisi apapun, mereka akan memegang teguh dokrin keluarga yang disampakan melalui meja makan.
Akhirnya, upaya penanaman nilai-nilai luhur Pancasila melalui meja makan perlu ditanamkan secara masif sejak dini. Orangtua tidak perlu mengeluarkan modal besar dalam proses penanaman nilai-nilai luhur tersebut. Bahkan, hal itu bisa dilakukan secara lebih santai sambil menikmati hidangan yang ada di hadapannya. Penanaman nilai-nilai luhur Pancasila ini akan memiliki dampak yang sangat berharga, dan bisa berkembang pada ranah kehidupan yang lebih luas. Bahkan, hal itu akan membentuk karakter anak-anak dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga!
*Suhairi adalah penulis di media lokal dan nasional, seperti Jawa Pos, Koran Tempo, Harian Seputar Indonesia, Republika, Lampung Post, Radar Madura, Radar Surabaya, Radar Malang, dll. Kini tinggal di Sumenep Madura.