Narasi, Februari, 2020

Islam yang Rahmatan lil alamin

Oleh : Ahmad Mustofa Bisri,

“Tuhan, lihatlah// betapa baik kaum beragama negeri ini// mereka terus membuatkanMu// rumah-rumah mewah// di antara gedung-gedung kota// hingga di tengah-tengah sawah//” tulis Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri dalam puisi berjudul Kaum Beragama Negeri Ini.

Dengan gaya bahasa yang gamblang dan kritik yang segar dan tajam, lewat puisi itu, sang kiai mengajak masyarakat untuk melakukan otokritik dan merenungi realitas kehidupan beragama. Ia menohok perilaku beragama yang mengedepankan ego ketimbang dialog, mengedepankan kulit ketimbang isi, cenderung pada kemewahan, tapi meninggalkan kesederhanaan yang justru dianjurkan agama. Akibatnya, kehidupan agama menjadi merosot dan berimbas pada kemunduran hidup sosial, seperti yang ia ungkapkan dalam baris berikutnya: dengan kubah-kubah megah// dan menara-menara menjulang// untuk meneriakkan namaMu// menambah segan// dan keder// hamba-hamba kecilMu yang ingin sowan kepadaMu..//

Tentu bukan hanya kemunduran perilaku beragama yang menjadi sasaran kritik Gus Mus, demikian ia biasa dipanggil, tetapi juga berbagai penyakit sosial yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Gus Mus menulis dan berceramah tentang kebudayaan, politik dan renungan kebangsaan. Ulama besar Nahdlatul Ulama (NU) kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944 ini memang dikenal sebagai figur kiai yang mempunyai keahlian dan profesi beragam: penyair, pelukis, budayawan, cendikiawan, dan pernah menduduki posisi penting sebagai Rais Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004. Di bidang politik, kiprahnya tak diragukan walaupun ia sendiri mengaku tidak terlalu cocok dengan dunia politik.

Islam yang Rahmatan lil alamin
Bersama mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Gus Mus ikut mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia pernah dicalonkan menjadi pemimpin PKB, namun ditolaknya. Pengalaman menjadi Anggota MPR dan DPRD membuatnya tahu diri untuk tidak terlalu larut dalam dunia politik. Dalam sebuah kesempatan, ia mengatakan politik membuat supply dan demand tidak seimbang. Apa yang ia terima selama memegang jabatan politik terlalu banyak jika dibandingkan apa yang bisa ia berikan kepada masyarakat pemilihnya.

Gus Dur pernah berkeinginan Gus Mus menjadi ketua PB NU agar organisasi itu tetap berada di jalur kultural, namun juga ditolaknya. Gus Mus memilih berkonsentrasi memimpin Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang. Waktu luangnya digunakan untuk menulis buku, ceramah budaya, dan sesekali melukis yang sudah menjadi hobinya sejak remaja. Buah pikir dan renungnya berupa karya sastra bidang keagamaan dan kebudayaan diterbitkan menjadi belasan buku. Ia pun kerap diundang untuk membaca puisi di panggung sastra nasional dan internasional.

KH A Mustofa Bisri  juga dikenal sebagai ulama yang bersimpati pada keberagaman. Pandangannya kerap menekankan pentingnya menyadari Islam yang Rahmatan lil alamin dan bercorak ke-Indonesiaan. Islam yang dapat menentramkan hati orang-orang dari berbagai latar belakang, yang berdaulat secara budaya serta yang sadar pada habitus dan tradisinya. Pandangan inilah yang kembali ia nyatakan waktu menerima penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Juni 2009 lalu.

Dalam pidato penerimaan gelar itu, Gus Mus mengritik sikap fanatisme beragama yang melanda masyarakat. Menurutnya, ini merupakan dampak dari sikap fanatik terhadap keorganisasian tertentu. Masyarakat cenderung terjebak pada hal yang kurang substansial, seperti fiqih halal-haram yang menyebabkan hubungan antarkelompok menjadi tidak akur. Padahal, situasi kontemporer perlu direspon dengan sikap keagamaan yang lebih bijak. Untuk keluar dari sikap fanatik, menurutnya, umat perlu memahami kembali makna hakiki dari agama itu sendiri. Ia khawatir, rutinitas keagamaan justru menjauhkan masyarakat dari roh agama yang sesungguhnya. Agama yang mampu menimbulkan perasaan tenteram pada manusia.

Dalam Ke-Indonesiaan
Tak jauh berbeda dengan pandangan ulama NU pendahulunya, Ke-Indonesiaan dan ke-Islaman, bagi Gus Mus, merupakan dua nilai yang perlu seiring sejalan. Dalam tradisi NU, katanya, Islam ditempatkan secara moderat dan menghargai perbedaan. Pandangan ini lebih cocok dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam etnis, suku, dan budaya. Itulah sebabnya dalam tradisi NU, Islam dan kebangsaan itu satu napas, tidak dapat dipisahkan. NU adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia.

Ia juga meyakini keberagaman di Indonesia adalah rahmat luar biasa. Siapa saja yang tidak bisa hidup dalam keberagaman akan terus kesakitan akibat mencari kesalahanpihak di sekitarnya dan merasa kelompoknya paling benar. Sebaliknya, yang bisa hidup berdampingan akan mendapat tempat mulia di mana pun berada. Mengenali jati diri, selalu eling, dan tidak berhenti belajar, menurut Gus Mus merupakan syarat untuk mempertahankan rasa kebangsaan dan keberagamaan itu. Kemerosotan moral yang dialami bangsa Indonesia saat ini di matanya, bagaimanapun merupakan bagian dari orientasi pembangunan materialistik yang diterapkan selama 32 tahun oleh Orde Baru. Proses kapitalisasi yang berkelanjutan pada gilirannya membuat masyarakat jauh dari nilai budaya dan nilai kemanusiaannya. Masyarakat terperangkap dalam hasrat kebendaan dan lupa pada dirinya.

Kesadaran budaya yang menonjol dalam pandangan dan pemikiran Gus Mus itu tentu tak terlepas dari latar belakangnya sebagai warga NU, salah satu organisasi umat Islam yang berkomitmen pada kehidupan tradisi. Apalagi kalau dirunut silsilah keluarganya, ia tergolong “berdarah biru”. Kakeknya, H Zaenal Musthofa adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, dikenal sebagai ulama karismatik dengan kegiatan beragam: bidang pemerintahan, budaya, dan penulis produktif. Tak heran kalau sejak kecil Gus Mus telah dididik dengan pengetahuan dan disiplin agama yang kuat. Semasa remaja, ia mendalami pengetahuan agama di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan Pesantren Krapyak di Yogyakarta. Pada tahun 1964, ia ke Kairo, Mesir, belajar Keislaman dan Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar hingga tamat tahun 1970.

Semasa di Kairo itulah, Gus Mus berkarib dengan KH Abdurrahman Wahid, cucu pendiri NU yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Pertemanannya dengan Gus Dur rupanya berpengaruh terhadap intensitasnya di bidang sastra. Gus Dur kerap memintanya mengisi halaman kosong pada majalah yang diterbitkan perhimpunan pelajar Indonesia semasa mereka di Kairo. Ketika Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gus Mus diundang untuk membaca sajak tentang Palestina dalam bahasa aslinya. Sejak itulah, ia semakin dikenal luas sebagai penyair dan kerap diundang ke berbagai forum sastra untuk membacakan puisi-puisinya.

Gus Mus juga tidak enggan berkolaborasi dengan seniman dari berbagai macam latar belakang, seperti penyanyi, penari, pemusik, dan bahkan model. Hal itu ia lakukan sebagai upaya untuk lebih ‘membumi’ sehingga pesan kerohanian yang ia sampaikan bisa mengenai sasaran. Keistimewaannya yang lain adalah produktivitas berkaryanya tinggi bahkan di usianya yang sudah 71 tahun. Ia rajin menulis artikel di berbagai surat kabar. Sejumlah buku kumpulan puisi, buku keagamaan, kumpulan cerita serta catatan dan renungan telah lahir dari tangannya.

Bagikan