Narasi, Februari, 2020

Mengharumkan Indonesia Dengan Seni Peran

Oleh : Christine Hakim,

Beutong, 7 November 1905, bulan puasa, di bawah hujan deras, prajurit Aceh berusaha membawa Cut Nyak Dien keluar dari jambo (hutan persembunyian). Jambo sudah dikepung pasukan marsose Belanda. Sergapan mendadak marsose membuat prajurit Aceh tak bisa berbuat banyak. Sang pemimpin–Cut Nyak Dien–lalu meminta diturunkan dari tandu dan bersiap melakukan jihad terakhir. “Jika ada di antara kalian yang mulai lemah iman seperti Pang Laot, aku ikhlaskan kalian pergi sekarang juga,” katanya tegas meskipun kondisinya saat itu sakit parah. Hening seketika. Satu persatu, para ulee balang mencium tangan Cut Nyak Dien. Lalu, bergerak menyerang musuh yang segera memberondong mereka dengan peluru.

Di bawah pohon besar, sang pemimpin yang sudah lemah tak berdaya itu hanya bisa tertunduk dalam. Ekspresi wajahnya menyiratkan kemarahan yang luar biasa. “O, Allah, Allah,” bisiknya lirih berulang-ulang. Di depannya, Pang Laot bersama pasukan Belanda yang melakukan pengepungan itu, hanya tertunduk diam. Tak terkecuali Kapten Veltman, yang menjadi komandan penangkapan itu. Ia membuka topinya, lalu mendekati sang pemimpin yang telah menggetarkan hati setiap tentara Belanda dalam Perang Aceh yang terkenal itu. Dengan sikap yang sangat hormat, ia mencoba berkomunikasi dengan Cut Nyak Dien sebagai sesama komandan dan menjelaskan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Namun, perempuan tua itu tidak menghiraukannya. Hanya napas penuh kemarahan yang terdengar. Tatkala Panglima Laot mendekatinya, secepat kilat Cut Nyak Dien menyentakkan rencongnya hingga melukai ulee balang kepercayaannya yang telah berkhianat itu.

Citra Perempuan Indonesia

Nukilan di atas adalah sepenggal adegan dalam film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang diperankan aktris Christine Hakim. Kendati rekaan didasari rekonstruksi sejarah, momen penangkapan itu seakan begitu nyata. Penghayatan peran yang luar biasa oleh Christine Hakim telah menampilkan sosok Cut Nyak Dien sebagai patriot yang pantang menyerah. Cut Nyak Dien memang sosok yang luar biasa. Van der Pol seorang perwira Belanda bahkan menyebutnya “Keajaiban Hindia Belanda” (een der merkwaardigste vrouwen in Nederland Indie). Dan, Christine Hakim menghidupkan kembali Cut Nyak Dien pada imaji generasi hari ini.

Bagi Christine Hakim, proses memerankan sosok pahlawan Aceh itu sangat berpengaruh terhadap upayanya mencari jati diri kelak. Bukan karena dia berdarah Aceh dan Minangkabau seperti Cut Nyak Dien, melainkan karena dalam proses menghayati karakter Cut Nyak Dien itu ia banyak mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Hal ini ia lakukan karena keterbatasan referensi tertulis; catatan sejarah hanya menyebut kronologi, seperti riwayat lahir, sisi heroik, langkah gerilya, dan proses penangkapannya. Sementara, seni peran membutuhkan karakter. “Yang saya lakukan bukanlah ziarah ataupun tirakat ke kubur Cut Nyak Dien, melainkan saya tahajud hampir setiap malam. Memohon agar diberi izin untuk ‘mengenal’ Cut Nyak Dien,” tutur Christine mengenang upayanya mendalami karakter Cut Nyak Dien.

Belakangan ia sadari, momen pencarian itu membukakan pintu ke arah pencarian diri yang lebih hakiki. Ia pun telah bertemu Cut Nyak Dien–meskipun hanya dalam seni peran. Pertemuan yang, bagi aktris peraih gelar Asian Heroein versi Majalah Time pada 2003 ini, telah mendatangkan rasa percaya diri dan bangga sebagai perempuan Indonesia. Cut Nyak Dien jadi perlambang ketangguhan, keteguhan hati, daya tahan dan daya juang yang membentuk citra perempuan Indonesia. “Kepahlawanan Cut Nyak Dien itu nilai yang berakar dalam masyarakat kita yang telah menjelma jadi kearifan lokal. Itu wajib dijaga dalam diri kita. Itulah yang selalu saya bisikkan di dalam diri saya sekalipun saya pernah berada di luar negeri…,” tegasnya pula.

Cut Nyak Dien hanyalah satu episode perjalanan rohani sang aktris menemukan jati diri Ke-Indonesiaannya. Pada tahun 2012, ia memerankan Nyai Kapu, istri KH Hasyim Asyari dalam film Sang Kyai. Ini adalah film berbasis sejarah kedua yang memenangkan penghargaan untuk sejumlah kategori pada FFI 2012. Keanehan sudah terasa sejak awal melakukan riset terhadap sosok Nyai Kapu. Ketika datang ke Kediri, seorang nenek memberitahunya kalau ada seorang kiai nyentrik yang selama dua puluh tahun telah mengidolakannya. Menurut cerita orang di kampung itu, setiap kali selesai shalat, kiai nyentrik tersebut akan mengambil pengeras suara lalu menanyakan pada semua orang yang hadir: ”Siapa yang mau bertemu Christine Hakim?” Selama dua puluh tahun kiai itu telah berbuat demikian.

Antara percaya dan tidak, Christine lalu dibawa berjumpa dengan kiai tersebut. Ia tinggal tak jauh dari kompleks pemakaman keluarga Nyai Kapu. Entah karena dorongan apa, begitu melihatnya Christine Hakim langsung memeluknya dan menangis. Sementara sang kiai diam saja. Tak lama kemudian ia menghilang tak tentu rimbanya.

Belakangan diketahui oleh Christine Hakim kalau kiai tersebut adalah anak pendiri salah satu pesantren terbesar di Kediri. Orang-orang di situ menyebutnya Gus Akhlis. Meskipun kelihatan tidak normal, masyarakat percaya pada karomahnya. Pedagang yang warungnya dikunjungi Gus Akhlis akan merasa senang karena bisa menjadi bakal pertanda dagangannya maju. Begitu juga penduduk yang dikunjunginya menganggap kunjungan itu berkah. Menurut cerita warga, pernah Gus Akhlis hendak dibawa berobat ke rumah sakit jiwa di Yogyakarta oleh keluarganya. Namun, saat keluarganya kembali ke Kediri, Gus Akhlis ternyata sudah lebih dahulu tiba di rumah. Sejak itu, orang percaya ia memang memiliki karomah. “Waktu itu saya berpikir, mungkin kiai tersebut sudah mendapat firasat bakal kedatangan saya ke tempat itu. Mungkin seperti firasat seorang indigo yang mengalami hal-hal yang akan terjadi,” kata Christine pula.

Kisah pertemuan dengan kiai nyentrik itu melengkapi kejadian spritual tak terduga yang dialami Christine selama proses pembuatan film Sang Kiai. Puncaknya, menurutnya, ketika ia merasakan keheningan yang sangat pada waktu melakukan adegan melepas jenazah KH Hasym Asyari. “Tiba-tiba saya merasa sudah tak berpijak di bumi. Sejak menjelang magrib, saya didera rasa kehilangan yang luar biasa, seakan sayalah yang sedang kehilangan suami. Keadaan seperti itu berlangsung hingga sehabis Isya saat pengambilan gambar di dalam masjid,” kisah Christine Hakim.

Alih-alih merasa khawatir, Christine malah bersyukur bisa mengalami pengalaman sunyi tersebut.  Paling tidak, hal itu membuka wawasannya perihal eksistensi dunia transenden dalam budaya Jawa. Suatu anugerah, karena ia bisa mengalaminya lewat seni peran. Bukan dengan jalan lain. Lebih disyukurinya lagi karena ia bisa tetap mengendalikan kesadaran saat memainkan peran sebagai tokoh sejarah. Pengalaman mengajinya yang cukup intens sejak remaja, diakui Christine sangat membantu proses pengendalian kesadaran semacam itu.

Mencapai Taksu

Aktris kelahiran Kuala Tungkal, 25 Desember 1956, ini memang unik. Ia boleh jadi sedikit dari artis film Indonesia modern yang mampu “melintas batas” dari ruang materi ke ruang yang bersifat transenden dalam kondisi yang sadar saat memerankan sebuah karakter. Walaupun seni peran tradisional kita sebenarnya terbiasa dengan dunia transenden semacam itu, namun memerlukan perantara pawang atau pun dukun. Umumnya dalam panggung seni peran tradisional kita, si pemeran cenderung dalam kondisi kerauhan atau hilang kesadaran karena beberapa adegan memerlukan kondisi trance si pemain. Dalam seni peran (dalam arti modern) pun sebenarnya sang pemain sudah digantikan oleh “karakter yang diperankannya”.

Namun, Christine beda. Ia sekaligus menjadi pawang yang akan menjaga kesadaran dirinya. Tujuan utamanya tetap menjalankan seni peran, bukan untuk mencapai pengalaman transenden itu. Dan, totalisasi dalam seni peran membuat Christine sanggup mengolah taksu (kharisma yang luar biasa) yang terpendam dalam dirinya. Dengan taksu, ia membawa kegagahan dan kegigihan Tjoet Nya’ Dhien ke Festival Film Cannes, menerima penghargaan sebagai Best Actrees pada Asia Pasific International Film Festival dan penghargaan internasional lain. Bahkan ia menjadi aktris Indonesia pertama yang menjadi juri kehormatan Sélection officielle “Feature Films” pada Festival Film Cannes 2002. Tak heran kalau sutradara Hollywood pun kepincut mengajaknya bermain dalam film Eat Pray Love bersama aktris Julia Robert.

Christine Hakim, perempuan Indonesia yang mampu memberi warna pada perempuan negerinya lewat seni peran. Seni peran juga yang membantunya memahami Indonesia secara lebih nyata. Seperti kata orang bijak: ”Indonesia yang besar, kaya dan berbudaya itu hanya dapat ditemukan sejatinya dalam penjiwaan. Tanpa penjiwaan, ke-Indonesiaan kita hanyalah slogan.”

Bagikan