Garis itu memanjang. Salah satunya dapat ditarik dari Batu Ampar, 50 Koto, Sumatera Barat, tempat Syeih Abdulrahman—kakek Bung Hatta dari sebelah bapak—memulai dakwah Islam setelah bermukim belasan tahun di Timur Tengah. Titik berikutnya ialah Surau Jembatan Besi yang memunculkan kelompok ulama mudo, seperti Abdul Karim Amrullah (HAKA) dan anaknya, HAMKA, ulama penulis Tafsir Al-Azhar yang juga sastrawan penulis roman Di Bawah Lindungan Ka’bah. Garis pun berlanjut ke Sumatera Thawalib yang memunculkan karakter Islam dalam persepktif Islam kebangsaan. Garis siar Islam yang mengedepankan keadaban dan akal budi dalam beragama ini dapat ditarik lebih jauh ke sosok Agus Salim.
Ada satu percakapan menarik dalam perjumpaan antara HAMKA dan Agus Salim di Mekkah. Agus Salim meninggalkan pesan yang kurang lebih bunyinya mengingatkan HAMKA agar jangan berlama-lama di Mekkah. ”Nanti pulang cuma jadi tukang doa. Menuntut ilmu agama tujuannya untuk pulang dan berbuat bagi masyarakat”. Pesan Agus Salim tersebut menegaskan karakter Islam yang cendekia yang mengedepankan keadaban dan akal-budi. Islam yang bukan hanya penting, khususnya di Minangkabau, dalam membangun kesadaran kebangsaan, tetapi juga percik-percik peradaban. Tradisi ini terus berlanjut. Salah satunya dapat ditemukan pada sosok Buya Ahmad Syafii Maarif
Berjuang lewat Pena dan Organisasi
Rumah di Ngotirto, Yogyakarta, seperti tidak pernah sepi. Arus tamu yang berkunjung datang-pergi. Rumah sederhana dengan buku-buku yang tertata rapi di lemari jadi tempat orang-orang mbanyu mili, seperti air mengalir. Orang-orang menimba sumur pengetahuan dan meneguk sari pati kearifan. Rumah tersebut milik Ahmad Syafii Maarif. Buya, panggilan akrabnya.
Lahir pada tahun 1935 di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat dari pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah. Tidak terlacak tanggal dan bulan kelahiran pastinya. Sebab catatan ayahnya yang menyatakan tanggal kelahirannya hanyut ketika banjir menerjang kampung halamannya. Itu terjadi saat ia kuliah di Universitas Cokroaminoto. Daerah kelahirannya merupakan daerah tanah pasir yang mudah runtuh. Berkali-kali diperbaiki, terus saja rusak. Nagari Sumpur Kudus yang dijuluki Mekkah Darat ini geografinya tersuruk dan sumber daya alamnya terbatas. Daerah penghasil karet, gambir serta cokelat ini menghadapi kendala transportasi. Listrik pun baru masuk di tahun 2005 kemarin.
“Di dusun terpencil berdebu itu, saya tidak tahu apa itu cita-cita, tidak pernah membayangkan apa itu Indonesia. Saya menjalani hidup sebagai orang kampung yang berjalan sejauh 30 kilo ke pasar di antara Batang Sumpur dan bentang mata air.” Dari kampung Sumpur Kudus, Syafii kecil mengenal Muhammadiyah, mengenal Islam yang mengantarkannya mengembara ke berbagai tempat di belahan dunia. Perjalanan tersebut mengenalkannya pada kemanusiaan, toleransi, hidup dalam keberagaman, dan rasa cinta terhadap Indonesia.
Syafii Maarif sepertinya bersepakat dengan Imam Al-Ghazali, “Jika engkau bukan anak raja atau ulama besar, maka menulislah.” Melalui tulisan, pendapatnya akan diketahui banyak orang dan sebuah pemikiran akan abadi, verba volant scripta manent. Menulis adalah senjata yang dipegangnya untuk mengurai benang kusut permasalahan bangsa. Tulisan-tulisan yang diciptakannya adalah salah satu senjata yang dipercayainya untuk menggempur kebodohan dan kemiskinan yang masih membelit masyarakat. Dari tangannya lahir Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis? (1975), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Titik-titik Kisar Perjalananku (2009), dan Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah (2009).
Syafii Maarif adalah pemikir yang kritis. Salah satu gagasan ialah mendorong Muhammadiyah menjadi gerakan peradaban. Menurutnya, Muhammadiyah harus menjadi gerakan untuk kepentingan orang banyak dalam upaya pencerdasan, penyantunan, penyadaran, dan pencerahan. Cara ini akan menjadikan Muhammadiyah sebagai milik masyarakat. Salah satu contoh, ia menyarankan agar warga Muhammadiyah tidak lagi berdakwah dengan metode khilafiah, yaitu metode yang memperdebatan perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam.
Menurutnya, perlu disusun strategi baru untuk mengemukakan kandungan Al Quran yang menilai kehidupan dunia penting sekalipun bukan tujuan, tentang hubungan antara tauhid dan keadilan, tentang konsep persaudaraan universal antara sesama Muslim dan Muslim dengan non-Muslim, mutlaknya penguasaan ilmu pengetahuan, perilaku hidup jujur, bersih, dan prinsip egalitarian. Metode dakwah khilafiah menguras tenaga, tetapi untuk jangka panjang tidak bernilai strategis. Hidup di negara bhinneka, di bumi Allah yang berwarna-warni, sudah semestinya menjaga keseimbangan dan toleransi.
Syafii Maarif menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah selama tujuh tahun, melalui Sidang Tanwir di Bandung, 1998. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah berkembang. Hasil pemikiran dan kerjanya di lembaga ini telah membawa Muhammadiyahmenjadi salah satu tenda besar untuk turut serta memayungi semua pemeluk agama di Indonesia.
Pada masa tersebut, ia telah mendatangi semua wilayah di Indonesia, kecuali Gorontalo, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat Daya. Komunikasi intensif yang dilakukannya terbukti telah melahirkan penulis-penulis muda yang selalu didorong dan dilindunginya. Beberapa kepercayaan dari luar pun datang terhadap Muhammadiyah, antara lain dengan terpilihnya Syafii Maarif menjadi salah satu Presiden Internasional WCRP (World Conference on Religion for Peace). Pada tahun 2002, ia menjadi anggota Akademi Jakarta atas dorongan W.S. Rendra.
“Bagiku, tidak ada resep yang mujarab untuk membangun persaudaraan yang ramah dan produktif, kecuali kembali kepada roh agama, kepada niat tulus untuk bergerak dan aktif beramal dalam Muhammadiyah.” Itulah prinsipnya. Prinsip yang pada dasarnya sama dengan prinsip hidup dalam berbangsa Hatta dan Ahmad Dahlan, bahwa alam terkembang menjadi guru.
Islam Pencerahan
Perjuangan berlanjut di kancah global. November 1999, ia dipilih menjadi salah satu Presiden Internasional WCRP melalui sidang ke-7 di Amman, Yordania. Buya pun mendakwahkan Islam sebagai agama yang mengedepankan persahabatan. Ia membangun persahabatan lintas-agama di Indonesia dan dunia. Islam yang responsif pada hak kemerdekaan, pada tanggung jawab menciptakan perdamaian dan keadilan sosial. Di tahun 2008, ia menerima anugerah Ramon Magsasay.
Uskup Agung Semarang, Dr. I. Suharyo, menulis tentang sosok Buya Syafii Maarif. “Melepaskan diri dari belenggu-belenggu sejarah bukanlah perkara mudah dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Yang jelas, haruslah dibangun sejarah baru yang tidak membelenggu, tetapi sebaliknya, sejarah yang membebaskan dan memberi harapan. Untuk itu dituntut mutlak peran tokoh sejarah. Bapak Syafii adalah salah seorang tokoh terkemuka yang sudah lama memainkan peran itu—dengan pemikiran-pemikiran ia yang cerdas, terbuka, inspiratif, dan langkah-langkah moral ia yang berani—dan kita harapkan akan terus memerankannya”.
“Indonesia dikenal sejak dulu bukan saja karena jumlah ribuan pulaunya, tetapi juga etnisitas, agama, dan bahasanya. Keberagaman yang luar biasa. Ini merupakan modal kekayaan yang harus dikelola dengan baik,” ujar Buya. Di tengah kecenderungan penguatan cara berdakwah yang keras dan hitam-putih, pesan Buya ini menyadarkan kita pentingnya ber-Islam yang tidak tercerabut dari akar sejarah bangsa. Sekaligus, sebagaimana ia sampaikan di tiap kesempatan, bahwa di masa lalu umat Islam punya andil besar melahirkan Indonesia, maka hari ini, umat Islam punya tanggung jawab yang sama besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka: bangsa yang adil, bermartabat, dan berdaulat.