Kutaraja, Banda Aceh adalah tanah di ujung Sumatera yang paling sulit ditaklukan Belanda. Tractaat Soematera yang isinya tukar-guling tanah koloni antara Inggris dan Belanda merupakan pengkhianatan pada bunyi Tractaat London yang memuat pengakuan keduanya (Inggris dan Belanda) atas kedaulatan Aceh. Tapi, nafsu kolonialisme adalah khianat pada banyak hal. Belanda melupakan bahwa Aceh adalah negara pertama yang mengakui Belanda ketika terjepit perang melawan Spanyol. Belanda juga melupakan kesepakatan persahabatan tahun 1857 terkait pengakuan kedaulatan masing-masing. Kesepakatan “tingkat tinggi”, Aceh diwakili Sultan Alauddin Manshur Syah sedangkan Kerajaan Belanda diwakili Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Sumatera, Jenderal Jan van Swieteen.
Setahun sebelum Perang Aceh meletup, Multatuli berteriak dalam surat terbukanya: Brief aan den Koning (Surat Kepada Raja), terbit pada Oktober 1872, “Memaklumkan perang kepada Sultan Aceh…Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana.” Tapi tidak ada yang mendengar teriak Multatuli. Kapal tua, Citadel van Antwerpen, telah bergerak ke pesisir Aceh. Jan van Swieteen yang ditugasi Gubernur Jenderal James Loudon memimpin invasi ke Aceh tegak dengan gagah di anjungan. Namun, menaklukkan Kutaraja bukan perkara mudah. Perang Aceh yang ditandai tembakan meriam di Rabu pagi (28 Maret 1873) terentang nyaris 40 tahun, dan Belanda sesungguhnya tak pernah memenangkan apa-apa.
Di Kutaraja itulah, puluhan tahun kemudian, di tengah kumandang azan subuh tanggal 16 Juli 1951 dan semburat fajar merah di langit timur, bayi laki-laki pasangan Daud Paloh dan Nursiah Paloh dilahirkan. Kutaraja, tanah yang menghimpun segala heroisme dan idealisme, tanah dari berkah lada, pala, dan doa dalam bait-bait Tajul Salatin mengawali terbitnya sang ufuk matahari restorasi. Dia adalah Surya Dharma Paloh.
Darma pada Negeri
”Setiap buku adalah kutipan, setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba-raya, tambang-tambang, dan bebatuan, setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya,” demikian ujar penyair kenamaan Amerika Serikat, R.W. Emerson. Surya Dharma Paloh seperti meletakkan dirinya dalam kebenaran afirmatif Emerson itu. Lahir di waktu ufuk dan di tanah yang menghimpun segala heroisme dan idealisme membuat Surya Paloh seperti sudah dititipi kewajiban untuk membawa orang-orang melintasi zaman gelap menuju zaman terang.
Di Malang pada Februari 1983, dalam Rakernas FKPPI (Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan), Surya Paloh berdiri di atas podium. Suaranya tenang tapi lantang saat menyampaikan, bahwa ia menolak usulan penyematan gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto. Tentu tak banyak yang mengetahui dan mencatat penolakan Surya Paloh. Terlebih masa itu adalah era Soeharto menjadi segala-galanya. Rezim Orba yang monolitis, hegemonik, dan menindas adalah kekuasaan yang menuntut keseragaman dan patuhan rakyat.
Kritik, dalam segala manifestasinya, dilihat satu kejahatan serius. Siapa pun dapat dicap ”ancaman pada stabilitas nasional” ketika menolak berada di luar alur keseragaman dan kepatuhan yang dikehendaki kekuasaan.
Namun, Surya Paloh memiliki pilihannya sendiri. Ia menolak sekadar menjadi ”kawanan bebek pulang petang”. Jauh sebelum Rakernas FKPPI di Malang itu, Surya Paloh telah memainkan sosok Antigone, lakon pemberani dalam drama yang ditulis Sophokles. Saat semua pihak mendiamkan kebrutalan penguasa, Antigone memilih sebaliknya. Dalam Forum Musyawarah Nasional KNPI tahun 1978, di hadapan Menpora yang juga pembina KNPI, Letkol Udara Abdul Gafur, Surya Paloh secara terbuka meminta Abdul Gafur untuk tidak mengintervensi pemilihan Ketua Umum KNPI. ”Kita harus menegakkan nilai-nilai demokrasi didasari akal sehat, bukan demokrasi ecek-ecek,” tegasnya. .
Lebih 30 tahun berkuasa, secara sistematis, rezim Orba membangun relasi dominasi. Relasi dominasi ini, mengutip Foucault dalam The Final Foucault (1988), mendudukan rakyat sebatas kelompok subordinat. Pilihan dan keterlibatan rakyat sengaja dibatasi. Kritik dibungkam, tujuannya agar kekuasaan tetap monolitis dan rakyat tetap dalam situasi ketidakberdayaan (powerlessness). Relasi dominasi ini membuat rakyat terhubung secara asimetris dengan otoritas sklerotik: pemimpin yang kuat didukung mesin partai yang hegemonik dan represivitas kaum bersenjata.
Di dalam situasi ketika dialog tidaklah lebih “khotbah” dan kritik haram, Surya Paloh menjadi penantang dan penentang. Ia mirip gambaran yang ditulis Ki Hajar Dewantara tentang sesosok kesatria sejati, yakni seseorang yang berani melawan buto. Seseorang yang memilih jalan dharma: membawa orang-orang melintasi zaman gelap menuju zaman terang. Namun, ia hadir tidak dalam gambaran pejuang pesohor. Bahkan, mungkin ia menolak disebut pejuang. Ia lebih mengedepankan bagaimana membawa negerinya ke dalam demokrasi yang didasari nalar dan akal budi, demokrasi yang berpusat pada inisiatif dan partisipasi publik.
Selang beberapa tahun setelah Rakernas FKPPI di Malang itu, tepatnya pada pada 2 Mei 1986, sebuah harian dengan nama Prioritas terbit di Jakarta. Prioritas menjadi koran berwarna pertama di Indonesia yang kritis menyikapi berbagai kebijakan pemerintah. “Prioritas sering memperlihatkan sikap-sikap yang kritis, termasuk terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, bahkan kebijakan-kebijakan Pak Harto,” ujar Akbar Tanjung (dikutip dari Usamah Hisyam, 2014). Selamat Pagi Indonesia, nama rubrik editorial Prioritas, selain menjadi editorial yang paling vokal masa itu, juga menyiratkan idealisme sekaligus pandangan visioner Surya Paloh.
Selama kurun satu dekade, sejak Pemilu 1977 sampai 1982, Surya Paloh duduk sebagai anggota MPR RI dari Partai Golkar. Meski sebagai kader Golkar, Surya Paloh tidak menggadaikan idealismenya, juga mimpi-mimpinya yang menjadi alasan ia terjun ke politik. Surya Paloh tetap berpikir dan bertindak korektif terkait berbagai kebijakan pemerintah, termasuk Soeharto, jika dinilainya tidak sesuai dengan cita-cita kebangsaan. Di sisi lain, lewat editorial Selamat Pagi Indonesia, Surya Paloh memperjuangan visinya tentang prinsip-prinsip demokrasi. Selamat Pagi Indonesia adalah cakrawala baru yang sekaligus menegaskan keberadaan pers sebagai the fourth estate of democracy (pilar keempat demokrasi).
Di tengah watak kekuasaan yang ingin memonopoli kebenaran, mengerangkeng akal sehat, dan menuhankan kepatuhan rakyat, Prioritas pun dilihat sebagai ancaman. Ini terbukti kemudian. Prioritas yang dipimpin Surya Paloh, yang didirikannya bersama Widjanarko Puspoyo, dengan oplah sudah lebih dari dua ratus ribu, dicabut SIUPP-nya tanpa alasan yang jelas oleh Menteri Penerangan Harmoko pada 29 Juni 1987. Pembredelan Prioritas justru tidak menandai kematian perjuangan Surya Paloh. Sebaliknya, ia menegaskan, “Arogansi kekuasaan harus dilawan. Demokrasi harus ditegakkan. Pers nasional harus bebas dari belenggu kematian!”
Tanpa tepuk-sorai, bahkan tanpa pemberitaan media, Surya Paloh melawan kooptasi dan monopoli demokrasi. Ashadi Siregar, seperti ditulis Usamah Hisyam dalam Sang Ideolog, menggambarkan hal itu. Perlawanan Surya Paloh berkaitan perizinan terbitan surat kabar tidak mendapat dukungan dari komunitas media di Indonesia. Di tengah sepinya solidaritas insan pers, Surya Paloh mengajukan judicial review Permenpen No.1/Per/Menpen/1984 yang dijadikan alat kontrol pers oleh penguasa. Hasilnya, terbit UU No.9 Tahun 1999 yang menghapus lembaga SIUPP, mengganti paradigma “pers bebas dan bertanggung jawab” dengan “kemerdekaan pers yang profesional”. Undang-undang ini memungkin pers Indonesia memainkan peran selaku the fourth estate of democracy dan jadi ruang bagi rakyat mereaktualisasikan subjektivitas selaku warga negara (self-determination of the people).
Surya Paloh, demikian lebih akrab dikenal. Lengkapnya ialah Surya Dharma Paloh. Suami Rosita Barack ini seperti sengaja tidak ingin memunculkan nama tengahnya: Dharma. Ia seolah ingin menyembunyikan setiap dharma yang sudah dilakukannya bagi Indonesia, meski sepanjang hidupnya adalah totalisasi dari kata itu. Ia lebih memilih menggelorakan semangat, menggugah kesadaran banyak orang. ”Tugas kita adalah untuk mengubah Masyarakat Bebek menjadi Elang Rajawali,” tegasnya di depan mahasiswa Universitas Islam Sumatera Utara tahun 2011. Dalam pidato itu, Surya Paloh meluruskan orientasi, menegaskan di mana kita harusnya berpijak, sekaligus alasan mengapa kita menjadi sebuah bangsa.
Ufuk Restorasi
Menjelang ulang tahun ke-50, Surya Paloh sudah memutuskan istirahat. Ia berniat menghabiskan sisa usia sebagai seorang sosiawan, seorang filantropis, tulis Usamah Hisyam. Persis di milad yang ke-50 itu, 16 Juli 2001, Surya mendeklarasikan Yayasan Surya Persada. Namun, di tahun 2001 itu, situasi kehidupan kebangsaan berada dalam kondisi yang sekarat.Di tahun 2000, total utang RI sebanyak Rp.1.234,28 triliun, diikuti merosotnya daya beli rakyat akibat paket liberalisasi paksaan IMF, dan puncaknya di 2001, kemiskinan meloncat mencapai 50%. Situasi kebangsaan saat itu seperti kembali memanggilnya.
Di tengah situasi kehidupan ekonomi yang runyam, partai politik yang ramai bermunculan bak cendawan di musim hujan justru membawa demokrasi ke dalam situasi dekadensi. Politik uang, politik transaksional, politik dagang sapi menjadi kultur politik masa Reformasi. Partai yang harusnya jadi milik publik, justru jadi ruang-ruang private dengan orientasi tidak lebih sebatas ”tiket tol” untuk mengantarkan segelintir kelompok meraih kekuasaan politik. Demokrasi yang dibayangkan Surya Paloh sebagai jembatan emas untuk membangun bangsa bermartabat, negara yang kuat, dan rakyat yang sejahtera terjerembab dalam ego kepentingan dan oligarki kekuasaan yang menganaktirikan etika politik, moralitas politik serta keluhuran berpolitik.
Di tengah situasi demokrasi dengan pseudo-participation, di bawah kaki pemerintahan yang korup yang dikuasai sindikat kejahatan kerah putih (mafia hukum, mafia pajak, mafia anggaran dan pemilu), Surya Paloh memutuskan kembali ke gelanggang. Ia meneriakkan Restorasi Indonesia sembari menghimpun Kaum Republiken ke dalam Ormas Nasional Demokrat. ”Perjuangan kita adalah perjuangan pembebasan jutaan orang melarat di negeri ini, jutaan orang yang terbodohkan di negeri ini, dan jutaan orang yang tidak mendapat perlindungan hukum,” tegas Surya Paloh dalam salah satu pidatonya.
Di tengah ruang kosong pergerakan kebangsaan pasca-Reformasi, melemahnya upaya transformasi sosial, dan hilangnya keluhuran berpolitik akibat rutinitas pemilu yang mahal, gerakan restorasi memberi nafas baru bagi daya hidup kebangsaan. Ormas Nasdem memilih berada di tengah-tengah detak hidup rakyat dan membawa sebanyak-banyak elemen, kutub, dan polar kebangsaan, berhimpun ke dalam derap perjuangan bersama. Melalui Trilogi Restorasi; bangsa bermartabat, negara kuat, dan rakyat sejahtera, politik gagasan yang sekian lama dimatikan hidup kembali.
Kelahiran Partai NasDem oleh Ormas Nasional Demokrat memberi jawaban bagi upaya reorientasi kultur organisasi politik. Keberadaan partai ”sebagai komando gagasan dan ideologi” membebaskan partai dari sekadar kendaraan politik individu dan kelompok meraih kursi kekuasaan. Partai akan lebih terpimpin untuk mendekati, mempengaruhi, dan mewarnai kekuasaan dengan cara-cara yang progresif, damai, dan permanen. Ini yang terjadi di sekitaran Pilpres 2014.
Berselang beberapa hari setelah Pemilu Legislatif 2014, Joko Widodo, capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menemui Surya Paloh. Jokowi, demikian sapaan akrab mantan Wali Kota Solo itu, meminta Surya Paloh berpasangang dengannya. Surya Paloh tersenyum. ”Saya bukan orang yang tepat. Tapi, saya mendukung seratus persen,” timpal Surya Paloh dalam pertemuan itu.
Surya Paloh percaya bahwa Jokowi adalah pemimpin yang dapat membawa Indonesia menjadi bangsa bermartabat, negara yang kuat, dan rakyat yang sejahtera. Surya Paloh menolak posisi Cawapres tetapi memilih mendukung seratus persen Jokowi. Ia menolak tegas politik transaksional dan memilih “kerjasama tanpa syarat” yang melatari bertemunya kedua partai (NasDem dan PDI Perjuangan) dalam pemenangan Jokowi yang selanjutnya melahirkan “koalisi tanpa syarat” sebagai identitas koalisi partai pendukung Jokowi-JK. Dan, ini berlanjut ke “politik tanpa mahar” yang digulirkan Partai NasDem dalam pilkada serentak 2015 ini.
Di saat yang lain memilih diam, Surya Paloh memilih mendirikan Prioritas yang korektif terhadap penguasa Orba. Di saat banyak elit sibuk berebut “kue Reformasi”, Surya Paloh memilih mendirikan Ormas Nasional Demokrat. ”…Menghimpun warga bangsa untuk bersekutu dalam ide dan cita-cita meluruskan arah jalan dan pola pikir berbangsa dan bernegara,” tegasnya dalam pidato Deklarasi Ormas Nasional Demokrat di Kupang, 16 Maret 2010. Di saat, partai-partai bermunculan dan menjadi ruang private elite partai, Surya Paloh justru mendorong Partai NasDem menjadi partai publik, menjadi daya gedor perubahan dan reorientasi organisasi politik. “Perubahan itu tidak jatuh dari langit. Perubahan adalah buah dari pilihan, pertarungan, dan perjuangan,” tegasnya.
Chanakya yang hidup di abad ke-4 SM yang di dunia Barat digelari The Indian Machiavelli, dalam Arthashastra menuliskan, ”Seorang pemimpin sebaiknya memperhatikan kebaikan bersama, bukan pada apa yang dapat menyenangkan dirinya, tetapi pada apa yang dapat membahagiakan rakyat dan mereka yang dipimpinnya.” Inilah dharma seorang pemimpin, yang membuat mereka tidak sekadar nama, tetapi kebajikan yang terus hidup dalam ingatan dan jiwa kita.