Narasi, Februari, 2020

Ke-Indonesiaan dalam Kuliner

Oleh : Bondan Winarno,

Seorang lelaki berdiri di tepi jalan. Ia sendirian saja. Jalan raya di depannya dipenuhi lalu lalang kendaraan. Ia melambaikan tangan ke taksi yang lewat. Pada sopir taksi, ia menyebutkan suatu alamat, tempat jajanan di pinggir jalan. Sopir taksi itu mengangguk paham. Taksi pun melaju, menerobos malam.

“Pak Bondan, ya?” tanya sopir taksi padanya. “Iya,” jawab lelaki yang dikenali sebagai Bondan itu sembari menyandarkan punggung. Ia tak bermaksud balik bertanya, misalnya mengapa sopir itu sampai mengenalnya hanya karena ia menyebutkan sebuah alamat. Dalam benaknya, tersusun ritme perjalanan yang akan menyenangkannya. Ia membayangkan akan menikmati makanan baru. Indonesia adalah surga kuliner.

Namun, tak lama setelah ia mengiyakan bahwa dirinya memang Bondan Winarno, sopir itu malah menghentikan mobilnya tiba-tiba. Bondan menegakkan punggungnya. Dengan kening berkerut, ia memperhatikan gelagat si sopir. “Mana tahu sopir itu…,” duganya sembari mulai awas. Tapi tak sempat ia berpikir macam-macam, “Pak, dulu sewaktu menjadi mahasiswa, saya malu sekali jajan di pinggir jalan,” sopir itu langsung berujar. “Tapi, semenjak Pak Bondan membuat acara wisata kuliner, menikmati makanan di warung tepi jalan menjadi suatu kebanggaan,” lanjut sopir itu.

Potensi Kuliner Indonesia

Itulah sepenggal kisah Bondan Winarno saat berada di ujung timur Pulau Jawa. Ia tengah berada di hingar bingar Kota Surabaya. Ia menikmati jalan demi jalan di kota itu, menelusuri tempat demi tempat, mencari berbagai kuliner. Tak hanya di restoran, tapi juga di warung kecil tepi jalan (street food). Tak hanya makanan yang sudah dikenal umum, tetapi juga yang belum diketahui orang banyak.

Menjadi orang kuliner bukanlah bagian dari perencanaannya. Ketika pensiun di usia 54 tahun, ia tidak ingin berhenti sebagai penulis. Ia mulai menulis hal-hal ringan, yaitu catatan perjalanan. Kolomnya yang berjudul Jalansutra sangat populer di Kompas Cyber Media. Setahun kemudian, ia sempitkan fokus tulisannya ke bidang yang juga sangat disukainya, yaitu tentang berbagai masakan tradisional yang dijumpai di perjalanan. Kolom ini menjadi semakin populer dan menjadi pintu masuk baginya untuk mengembangkan dunia kuliner secara nyata.

“Tidak benar bila keberadaan makanan dari luar menyingkirkan makanan tradisional. Masalah kita ialah di pengelolaan,” katanya. Ia berusaha melakukan berbagai hal untuk menaikkan brand makanan khas Indonesia. Ia mencoba beberapa kali mengajukan proposal kepada beberapa pihak tertentu dengan harapan bakal dapat dana CSR (Corporate Social Responsibility) untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL) dari sisi higienis dan sanitasi, tapi belum ada yang berhasil. Keinginannya untuk membantu wali kota atau bupati menata pusat kuliner di daerah mereka juga belum dapat sambutan. Ia percaya bahwa pengembangan kuliner sangat erat hubungannya dengan ketahanan pangan. “Berdasar local wisdom pun banyak pati non-beras yang dipakai dalam konsumsi sehari-hari. Ini harus dihidupkan lagi. Misalnya, makan rendang dengan kacimuih (serutan singkong dikukus). Makan kuah ikan dengan papeda. Bihun jangan dibuat dari beras, melainkan dari singkong, jagung, atau iles-iles,” ujarnya.

Maka, sejak 10 tahun lalu, peraih certified food-handlers inspector dengan sertifikat dari NEA (National Enviromental Agency) Singapura dan orang pertama di Indonesia yang mendapat sertifikasi sebagai trainer HACCP dari USFDA ini membuat program wisata kuliner di sebuah stasiun televisi. Program ini menjadi tayangan tv yang cukup favorit. Melalui program wisata kuliner, Bondan jadi lebih dikenal sebagai pakar kuliner daripada sebagai wartawan dan sastrawan, yang justru juga dilakoninya dengan baik.

Nasionalisme lewat Kuliner

Dalam 10 tahun terakhir, Bondan melakukan wisata kuliner. Sampai saat ini, paling kurang ada 5.000 tempat kuliner yang sudah didatanginya. Tempat-tempat itu menyebar di seluruh Indonesia, dari kota besar sampai pelosok negeri. Ia telah berjasa mengangkat banyak makanan tradisional. Bahkan, kehadirannya menjadi legitimasi kualitas suatu tempat jajanan kuliner. Meski bukan seorang juru masak, tapi pengalamanya di bidang kuliner sangat kaya. Lewat wisata kuliner, Bondan memberi pengaruh pada intensitas jual beli para pedagang, terutama pedagang kecil. Komentar terkenal darinya, Maknyus!, adalah brand yang jadi penanda untuk makanan yang mempunyai cita rasa tinggi.

Komentar maknyus pun tidak sembarangan keluar dari mulutnya. Ia tak mau asal ”maknyus”. Karena itu, tak heran bila kehadirannya di suatu tempat, entah itu warung atau restoran, jadi berkah tersendiri. Tidak sedikit pemilik gerai makanan memajang potret dirinya selagi menikmati makanan di tempat mereka. Maknyus pun jadi semacam magnet banyak pedagang kecil makanan tradisional menimba laba.

“Sebagian besar orang Indonesia luput untuk memiliki kesadaran sejarah. Jadi, kalau kita bertanya, misalnya rawon itu asal-usulnya bagaimana, pasti tidak akan ada yang bisa menjawab. Dari mana asal kata tongseng, itu merupakan pertanyaan yang absurd bagi para penjual tongseng karena memang mereka tidak pernah merasa bahwa itu penting.” Itu sebabnya, sebagai penulis, Bondan juga melakukan pengembangan penting dalam penulisan kuliner, dengan mengangkat sejarah kuliner itu sendiri. Dalam hal itu, ia tak hanya melakukan wisata, tetapi juga melakukan investigasi, meski selalu dianggap sepele.

Semua bermula saat ia masih menjadi pemimpin redaksi sebuah media. Seorang wartawan muda menemuinya di ruang kerja. “Mengapa Bapak tidak menulis tentang politik saja? Mengapa menulis kuliner?” demikian saran wartawan muda itu penuh harap. Bondan memaklumi, mungkin wartawan mudanya itu ingin ia seperti pemimpin redaksi di banyak media yang piawai menulis kolom politik. Sesuatu yang dianggap penting dan intelek. Sebaliknya, menulis kuliner terkesan remeh, cetek, dan tidak penting.

“Bisakah saudara menggantikan saya menulis kuliner?” Bondan balik bertanya. Akhirnya, si wartawan muda itu tak bisa. “Menulis kuliner adalah investigasi yang tidak gampang.” Lebih kurang selama 15 tahun Bondan menyelami dunia kuliner. Ia menerbitkan buku 100 Masakan Tradisional Indonesia di tahun 2014. Setelah Myra Sidharta dan Onghokham, saat ini Bondan Winarno menjadi orang yang paling serius menulis tentang kuliner beserta sejarah kuliner Indonesia.

“Sangat tidak mudah, memilih 100 terbaik dari sekian banyak makanan yang pernah dicoba,” katanya. Buku itu telah berandil menciptakan publik penyuka makanan tradisional Indonesia, yang tak hanya dari dalam, tetapi juga luar negeri. Bahkan, buku tersebut menjadi ‘buku wajib’ para pelancong di Indonesia. Selain memberikan referensi makanan tradisional, buku Bondan itu juga memuat jejak-jejak ke-Indonesiaan yang teracik lewat khasanah kulinernya.

Bagikan