Narasi, Februari, 2020

Mengawal Udara, Menjaga Kedaulatan Bangsa

Oleh : Chappy Hakim,

Kamis, 3 Juli 2003, sore hari, lima jet tempur F-18 milik Angkatan Laut Amerika Serikat meraung-raung bebas di ruang udara Bawean, Laut Jawa. Girang para pilot jet itu bermanuver walau mereka tahu tidak memiliki izin dari otoritas penerbangan RI. Sejam kemudian, dua jet F-16 dari Pangkalan Udara Iswahyudi berhasil menyergap. Ketegangan pun terjadi. Akhirnya, kelima jet tempur F-18 milik Angkatan Laut Amerika Serikat tersebut melaporkan keberadaan mereka kepada Komando Pertahanan Udara di Surabaya. Keesokannya, peristiwa itu tersebar luas di media massa nasional. Publik pun gempar.

Inilah untuk kali pertama pelanggaran wilayah udara RI disebarluaskan ke media massa. Hal ini bukan sekadar faktor kebetulan. Selaku Kepala Staf AU saat itu, Marsekal Chappy Hakim sengaja memerintahkan anak buahnya menyebarluaskan peristiwa tersebut ke media. Respon berdatangan, mulai dari pejabat publik sampai masyarakat biasa. Isinya seragam, yakni menuntut pemerintah Amerika Serikat meminta maaf atas pelanggaran wilayah yang dilakukan jet-jet tempurnya.

Lewat bocoran itu, Chappy Hakim menggedor ketidakpedulian selama ini. Ia membawa masyarakat mulai menyadari bahwa udara bagian integral kedaulatan kita. Sudah terlalu lama Indonesia memunggungi udara. Manuver jet-jet tempur Angkatan Laut Amerika Serikat tersebut menjadi cermin betapa rentannya kondisi kedaulatan udara kita.

Mengawal Udara, Menjaga Kedaulatan Bangsa

Persoalan pertahanan udara memang sangat minim diperhatikan oleh pemerintah atau pun masyarakat. Hal ini bukan tanpa alasan. Menurut Chappy, doktrin pertahanan kita terlanjur menganut sistem defensif darat dengan tumpuan utama adalah matra darat. Hal ini pada akhirnya menegasikan pandangan mengenai adanya keseimbangan kekuatan antarmatra. Seharusnya, konsep pertahanan diperbaharui; menyesuaikan kemajuan teknologi serta menerapkan total defense dengan menggunakan pulau-pulau terluar wilayah NKRI sebagai basis utama pertahanan.

Bagi Chappy kedaulatan wilayah NKRI tidak dapat dipertahankan secara utuh jika keseimbangan kekuatan antarmatra tidak diperhatikan dengan serius, termasuk juga modernisasi alutsista. Saat terjadi peristiwa Bawean itu, kekuatan udara Indonesia yang bisa diandalkan hanya sepuluh jet F-16. Jumlah ini tentu tidak cukup memenuhi kebutuhan pertahanan udara Indonesia yang sangat luas. kondisi ini diperparah oleh sanksi embargo peralatan pertahanan kepada Indonesia.

Perjuangan Chappy mengupayakan keseimbangan antarmatra cukup membuahkan hasil. Chappy adalah orang pertama setelah 30 tahun terakhir dari jajaran TNI-AU yang menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pertahanan. Ia juga telah berusaha merasionalkan agar posisi Panglima TNI tidak didominasi oleh satu matra saja. Menurutnya, posisi tersebut bisa diduduki oleh perwira dari matra lain secara bergantian. Namun, keberhasilan yang utama tentu saja adalah menggugah kesadaran publik untuk mulai memahami kedaulatan Indonesia tidak hanya di darat atau laut, namun juga di wilayah udara.

Kesadaran kedirgantaraan, bagi Chappy, ada persoalan yang luput dari perhatian selama ini. Kesadaran kedirgantaraan harusnya tegak di atas dasar wawasan nasional bahwa kita memiliki ruang udara sebagai salah satu sumber daya yang harus dipertahankan serta dikelola dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada kata ‘udara’ dalam UUD 1945. Belum adanya payung hukum yang kuat menyebabkan kesadaran kedirgantaraan menjadi terabaikan.

Indonesia, menurutnya, telah melepaskan sumber pendapatan yang besar dari penggunaan ruang udaranya, termasuk dari satelit yang bertengger di wilayah luar angkasa Indonesia. Dunia penerbangan di era pasca-Reformasi pun mengalami apa yang disebutnya sebagai liberalisasi. Lagi-lagi ini terkait ketiadaan payung hukum dan regulasi yang ketat. Setiap orang bisa bebas mendirikan maskapai penerbangan tanpa perencanaan yang jelas serta terkesan mengabaikan aturan keselamatan penerbangan yang disepakati dunia internasional.

Chappy bersama pakar dirgantara lain seperti Alm. Prof. Priyatna Abdurrasyid pernah memperjuangkan agar kosakata dirgantara dimasukkan ke dalam konstitusi RI. Namun, saat itu memang belumlah cukup kesadaran dari masyarakat ataupun pemerintah tentang persoalan ini, sehingga usahanya pun kandas. Chappy tidak menyerah. Pada kalangan muda, ia selalu menyuntikkan kesadaran untuk mencintai dunia dirgantara. Langit adalah kekayaan, juga kedaulatan kita sebagai bangsa.

Bagikan