Buah Pikir, Februari, 2020

Pancasila Abad-21: Membangun Infrastruktur Operasional Konstitusi

Oleh : Syuhada Gultom, Aktivis Liga Mahasiswa NasDem

Era Orde Baru: “Perceraian” Dengan UUD 1945

Kita pernah mengenal praktik pendidikan ideologi di era Orde Baru dalam format Penataran P4 yang dilakukan di segala lapisan masyarakat dan di semua level institusi. Melalui penetapan Eka Prasetia Pancakarsa sebagai Tap MPR II/MPR/1978 pada 22 Maret 1978 dan dijabarkan dalam 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Orde Baru mengejawantahkan pemahamannya tentang Pancasila.[1] Pendidikan ideologi ini dilaksanakan secara beriringan dengan kekuasaan Orde Baru yang ditopang oleh struktur birokrasi dan militer yang tersentral dari atas (pusat) hingga ke lapisan terbawah (Rukun Tetangga) secara hierarkis.[2] Struktur birokrasi dan militer yang hierarkis tersebut didesain sedemikian rupa sehingga berdiri secara beriringan dan berinteraksi satu sama lain.

Untuk menunjang hal tersebut pada awalnya Orde Baru menerbitkan berbagai peraturan yang melegalisasi masuknya militer di kedudukan-kedudukan sipil. Ini seperti ditunjukkan oleh UU No.5/1974[3] dan melengkapi kebijakan Dwi Fungsi ABRI dengan pembentukan lembaga-lembaga teritorial, ekstra teritorial dan ekstra yudisial pada 1967, yang memberi porsi pada militer untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan masyarakat bersama tokoh-tokoh sipil seperti Lurah, Kepala Desa, tokoh agama, dan lain-lain (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, Lembaga Masyarakat Desa, Muspika/Musyawarah Pimpinan Kota, Muspida/Musyawarah Pimpinan Desa).[4] Para peneliti menilai struktur negara birokratik-militeristik Orde Baru sangat mendekati struktur beamtenstaat (birokrasi kolonial).[5] Praktik ideologisasi sistematis ala Orde Baru tersebut sesungguhnya merupakan bentuk nyata dari apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni, dimana penundukan mental mau tidak mau harus didukung dan dijalankan struktur dan infrastruktur negara, disamping instrumen koersif seperti militer, untuk menciptakan penerimaan atas kekuasaan secara halus dan tanpa sadar.[6]

Sebagai sebuah rezim, Orde Baru berhasil mengoperasikan proses ideologisasi secara massif, intensif, dan sistematis, sehingga membuatnya mampu berkuasa selama puluhan tahun. Untuk menindaklanjuti TAP MPR II/1978 tentang Penataran P4, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978. Di dalamnya berisi tentang penyelenggaraan penataran P4 bagi 100 calon Penatar Tingkat Nasional, yang disebut Manggala, terdiri dari para pejabat eselon dua dan satu dari berbagai departemen dan lembaga negara. Penataran ini diselenggarakan pada 1 Oktober hingga 15 Oktober 1978 di Istana Bogor, difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara. Langkah selanjutnya adalah menyelenggarakan penataran bagi para pegawai negeri yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Proses ini diawali dengan membentuk penatar-penatar bagi tiap instansi pemerintah. Para manggala selanjutnya ditugasi untuk melaksanakan penataran selama dua minggu untuk tiap angkatan. Sekembali di instansi masing-masing, para penatar segera menyelenggarakan penataran di instansinya dengan ketentuan tertentu. Dalam waktu sekitar dua tahun hampir seluruh pegawai negeri telah mengikuti penataran P4.

Berikutnya diselenggarakan pula penataran P4 bagi masyarakat luas serta sisa-sisa pegawai negeri yang belum ditatar di instansi masing-masing. Untuk keperluan ini dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Lembaga ini  lahir dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keppres tersebut ditindaklanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II, sehingga setiap provinsi, kabupaten, dan kotamadya memiliki lembaga BP-7 Daerah.

Di samping metode penataran dikembangkan juga pemasyarakatan P4 dengan menggunakan modul, metode simulasi, dan cerdas tangkas P4, yang diselenggarakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Muatan P4 yang terdiri dari Pancasila/P-4, UUD 1945, dan GBHN dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Untuk Sekolah Dasar dan Menengah bahan ajar tersebut diberi nama Pendidikan Moral Pancasila yang kemudian diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sedang di Perguruan Tinggi menjadi Pendidikan Pancasila. Ketentuan ini dikokohkan dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989.

Dalam rangka mengantisipasi globalisasi, mempersiapkan diri memasuki milenium ke-3, dan menghadapi tinggal landas pembangunan,[7] Orde Baru berpandangan bahwa penataran P4 perlu ditingkatkan. Terbitlah Instruksi Presiden No 2 tahun 1994 tentang Peningkatan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat P2-P4. Berdasar data statistik yang dihimpun oleh BP7 Pusat, pada akhir tahun 1990-an lebih dari 90% warganegara Indonesia yang berumur 6 tahun ke atas telah mengikuti pemasyarakatan P4 dengan berbagai pola dan metode, bahkan banyakpula yang mengalami beberapa kali kegiatan pemasyarakatan P4 sesuai dengan tingkat pendidikan dan profesinya.

Hal yang menjadi persoalan dari pendidikan ideologi sistematis di era ini adalah bahwa pendidikan ideologi Pancasila, tidak menjadi pendidikan konstitusi atau kewarganegaraan yang sesungguhnya. Melalui pendidikan konstitusi seharusnya warga negara dididik untuk memahami UUD 1945, memahami apa hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara dan pemegang mandat kekuasaan. Alih-alih memahami konstitusi, apa yang dijalankan Orde Baru tidak lain adalah pendidikan moral dan nilai Pancasila yang sangat normatif, terlembaga, rutin, dengan sedikit polesan konstitusi sebagai bingkai formal namun kering secara substansi.

Pada tahun 1960-an, ahli sejarah perekonomian dari Amerika Serikat, WW. Rostow, menyarankan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengikuti tahap pertumbuhan ekonomi (the stages of economic development), yaitu :

  1. Tahap Masyarakat Tradisional (Traditional Society)
  2. Tahap Masyarakat Transisi (Transitional Stage) dan Persiapan untuk Tinggal Landas
  3. Tahap Tinggal Landas (Take Off)
  4. Tahap Gerakan Menuju Pematangan (Drive to Maturity)
  5. Tahap Konsumsi Massa Tingkat Tinggi (High Mass Consumption)

 

Dalam sebuah kunjungannya ke Indonesia, WW Rostow merekomendasikan teorinya itu untuk diterapkan di Indonesia. Presiden Soeharto menyambut baik usulan Rostow dan jadilah kebijakan-kebijakan ekonomi politik Orde Baru selanjutnya mengikuti arus aliran developmentalisme. Pemerintah kemudian meminta saran dan usulan dari beberapa pakar (teknokrat) yang dikemudian hari begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan politik Orde Baru. Mereka yang belakangan dikenal sebagai “Mafia Barkeley”—istilah yang diperkenalkan oleh David Ransom, seorang aktivis dan penulis dalam Jurnal Ramparts (Amerika Serikat) edisi 4/1970—seperti Sudjono Humardhani, Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Moh. Sadli, Barli Halim, dan sebagainya, merumuskan berbagai kebijakan pembangunan yang akan diaplikasikan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia.[8] Gagasan mereka dianggap akan mampu menyelamatkan Indonesia yang “sakit” akibat pengaruh komunisme semasa Orde Lama. Disinilah selanjutnya berbagai pelanggaran konstitusi yang vulgar dimulai.

Atas nama stabilitas politik dan pembangunan, demokrasi dikebiri. Atas nama Pancasila dan Pembangunan, keragaman ideologi dan kehidupan beragama diberangus, kemerdekaan berserikat dan berkumpul dibungkam, kritik atas kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik pemerintah ditindas. Orang bisa menyebut berbagai kasus pemaksaan dan represifitas negara terhadap rakyat yang mengatasnamakan pembangunan: kasus tanah Badega, Cimacan, kasus Kedungombo, kasus Haur Koneng, kasus Tanjung Priok, kasus Nipah, kasus Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dan berbagai konflik serupa di Papua maupun Timor Timur (sekarang Timor Leste), kasus Marsinah, kerusuhan Tandes, dan sebagainya.

Represifitas Orde Baru atas nama Pancasila dan Pembangunan bukan saja praktik politik yang menyimpang. Lebih dari itu adalah bergesernya orientasi pemerintahan sebagai penyelenggara negara untuk sekadar menjadi “negara modern yang makmur”, yang untuk itu harus memenuhi persyaratan tertentu berwujud angka-angka yang lazim disebut pertumbuhan ekonomi. Pada hakikatnya, Orde Baru telah menyimpang dari amanat konstitusi untuk menjadi negara yang merdeka, berdaulat, bebas, adil dan makmur. Mereka hanya mengusahakan pembangunan Indonesia menuju “kemakmuran” namun tidak dilandasi kedaulatan, jaminan atas kemerdekaan individu, dan keadilan sosial. Amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ditanggalkan, dengan masuknya Indonesia dalam sistem ekonomi pasar dunia yang kapitalistis dan berbasis imperialisme yang dimotori oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia, Israel, dan sekutunya. Nasionalisme dan internasionalisme yang dicitakan dalam sejarah kelahiran Pancasila dan UUD 1945 dikubur dalam-dalam seiring berpihaknya Indonesia pada tata dunia yang timpang tersebut melalui instrumen UU 8/1966, UU PMA/1967, dan UU PMDN/1968. Keberpihakan pada tata dunia yang timpang itulah yang menjerumuskan Indonesia pada persoalan meningkatnya kesenjangan kaya-miskin, perampasan hak-hak sosial-politik-ekonomi rakyat, menumpuknya hutang luar negeri, dan terakhir adalah krisis mata uang yang menjatuhkan Orde Baru pada 1997-1998.

Pancasila Hari Ini: Kembalikan Sebagai Ideologi

Orde Lama pernah mencoba membangun karakter manusia Indonesia sebagai manusia pejuang, patriotik, dan revolusioner, melalui interpretasinya atas Pancasila, UUD 1945, dan narasi bernama Nasionalisme. Oleh Orde Lama, Pancasila dan UUD 1945 “disulap” sedemikian rupa sehingga tak sekadar menjadi konstitusi dan dasar negara, namun lebih dari itu konstitusi dan dasar negara diubah menjadi ideologi yang lebih lengkap dan operasional, yang mampu membangkitkan kesadaran dan daya hidup manusia Indonesia menghadapi beratnya masa-masa awal sebagai negara baru yang merdeka. Secara berkebalikan, Orde Baru adalah antitesa atas praktik ideologi dan politik Orde Lama. Orde Baru menggusur orientasi nasionalistis-sosialistis-internasionalistis Orde Lama dengan orientasi nasionalistis yang pro pasar. Pancasila diposisikan sekadar pedoman nilai dan tuntunan perilaku sehari-hari yang normatif, terpisah dari induknya: Pembukaan UUD 1945. Kini, empat belas tahun setelah Reformasi, masih adakah Pancasila? Apakah ia telah terbang dan meninggalkan Ibu Pertiwi ataukah ia tengah tertidur pulas di sarangnya? Atau sekelompok pemburu telah menangkap dan mengurungnya di satu tempat yang entah dimana?

Sebagai manusia yang berakal dan beradab, sudah seharusnya kita belajar dari masa lalu. Bung Karno berkata Jas Merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Fakta sejarah menunjukkan kegagalan Orde Lama membangun infrastruktur operasional bagi konsepnya tentang Pancasila dan UUD 1945 sebagai sebuah kesatuan ideologis. Di sisi yang berlawanan, Orde Baru memang mempersempit Pancasila dan menjadikannya sekadar panduan nilai dan moral praktis. Mereka juga “menceraikan” keduanya dari kedudukannya sebagai satu kesatuan dengan Pembukaan UUD 1945, dan memgunakannya sebagai payung represi demi keyakinan atas ideologi Pembangunan. Namun toh Orde Baru berhasil melakukan apa yang tak bisa dilakukan Orde Lama. Mereka bisa menciptakan stabilitas politik, pembangunan infrastruktur ideologis, penerapan proses ideologisasi yang intensif, dan pembangunan struktur negara integral yang sanggup memersatukan Indonesia secara riil—satu hal yang mendekati konsepsi Mr.Soepomo tentang negara integralistik.[9] Melalui hal tersebut Orde Baru bisa mengatasi dan menundukkan seluruh kekuatan politik dan ideologi di dalam negeri. Apa yang dilakukan Hugo Chavez dengan lingkar-lingkar Bolvariannya sudah jauh-jauh hari dilakukan Orde Baru sejak program Penataran P4 dimulai.[10] Negara Orde Baru adalah manifestasi konkret kesatuan organis antara birokrasi, militer, institusi pendidikan, institusi agama, dan organisasi-organisasi masyarakat.

Hari ini Pancasila tak lagi pernah hadir di ruang-ruang publik. Pancasila yang berisi pedoman dan panduan moral yang normatif diingat beriringan dengan menggilanya korupsi, problem-problem kesejahteraan, kesukuan, agama, dan politik. Banyak yang menyatakan bahwa “Pancasila bukan untuk didiskusikan apalagi diperdebatkan”. Namun jika Pancasila tetap ditempatkan sekadar “ideologi terbuka”, sebagai hal yang “netral”, maka selamanyalah ia tetap terbuka bagi segala ajang diskusi dan perdebatan, atau lebih parah lagi: terbuka bagi segala klaim untuk membenarkan praktik ideologi atau politik tertentu. Tak jadi soal jika praktik tersebut diarahkan pada kemaslahatan rakyat. Bagaimana jika tidak?

Kita bisa berkaca pada sejarah Orde Baru yang berdarah-darah untuk membuktikan hal ini. oleh karena itu Pancasila harus didudukkan sebagai ideologi yang sesungguhnya, agar tak menjadi konsepsi abstrak yang mudah diperdebatkan dan dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Namun bagaimana hendak mendudukkannya sebagai ideologi jika Pancasila yang kita kenal saat ini hanya memuat tuntunan nilai dan norma tanpa kejelasan arah dan tujuan: masyarakat, bangsa, dan negara seperti apa yang dikehendaki ? Jika ia masih “netral” dan “terbuka”? Jika ia masih tetap debatable?

 

Ideologi adalah sebuah cara pandang atas realitas berikut pembalikan terhadapnya, plus langkah-langkah metodologisnya. Dengan demikian ideologi akan selalu berpihak dan tak pernah netral. Maka tidak bisa tidak, Pancasila harus diposisikan kembali dalam konteksnya sebagai bagian tak terpisahkan dengan Pembukaan UUD 1945 yang memuat berbagai cita-cita kemerdekaan Indonesia dan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi bukan lantas berarti menggiringnya pada satu kubu ideologi tertentu, sebagaimana dilakukan Orde Lama maupun Orde Baru dengan Sosialisme atau Kapitalisme-nya. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi berarti mengembalikannya sebagai bagian dari konstitusi dan menjadikan konstitusi itu sendiri sebagai ideologi. Pangkal dari hal ini, sekali lagi, adalah Pembukaan UUD 1945.

Kembali pada Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah reminder (pengingat) yang menggugah: atas dasar apa negeri ini merdeka, untuk apa dan siapa pemerintahan negara Republik Indonesia didirikan, bagaimana ia akan dijalankan demi tujuan-tujuan itu, dan nilai-nilai apa yang harus menjadi pedoman dan panduan bagi ketiga hal itu. Tergugahnya kesadaran akan menjadi titik tolak untuk kembali berjalan maju dengan diawali sebuah pembangunan konsensus bersama atau kontrak sosial sebelumnya. Betapapun beratnya proses itu, ia harus dilakukan, terlebih jika mengingat saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan nyaris semua ikatan dan karakternya. Bangsa ini tengah tenggelam oleh berbagai pengelompokan dan konflik, baik itu ideologi, politik, kesukuan/etnisitas, maupun budaya. Jika amandemen UUD 1945 pernah dilakukan maka bukan tak mungkin hal yang sama diulang demi menghasilkan konstitusi yang lebih lengkap, menyeluruh, dan operasional.

UUD 1945 harus memuat pasal yang menyatakan secara tegas konsekuensi hukum dan politik atas munculnya produk-produk hukum maupun perundangan turunan yang bertentangan dengan pasal-pasal dalam Batang Tubuh serta Pembukaan UUD 1945. Keseluruhan proses tersebut harus berjalan di atas rel yang tak dapat ditawar: Pembukaan UUD 1945! Ini harus tertuang dalam sebuah pernyataan sikap politik yang tegas sebagai tawaran jalan dan arah baru, sebuah kepastian politik yang berisikan pandangan menyeluruh atas situasi serta apa yang harus dilakukan di saat ini dan di masa depan untuk menjawab situasi tersebut.

Kembali pada Pembukaan UUD 1945 tak bisa sekadar menjadi pernyataan sikap politik semata, sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959 atau pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Ia harus menjadi langkah praksis dan struktural dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Mungkin sudah saatnya model-model pendidikan ala Penataran P4 beserta lembaga-lembaganya, dari pusat hingga ke daerah, diaktifkan kembali. Apa yang akan membedakannya dengan praktik Orde Baru adalah: institusi pendidikan semacam ini bermuatan pendidikan konstitusi, bukan indoktrinasi ideologi. Pendidikan konstitusi diarahkan pada pembangunan kesadaran—secara berurutan—bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan konstitusi.

Kita membutuhkan pendidikan konstitusi yang membangkitkan inisiatif rakyat serta membangun kesadaran kritis dan partisipatifnya, sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini bukan hanya kewajiban pemerintah negara Indonesia, meskipun pelaksanaannya hanya bisa diafirmasi oleh mereka, namun juga semua institusi masyarakat: partai politik, media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi dan institusi pendidikan. Kembali pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 berikut pendidikan konstitusi secara struktural sebagai langkah praksisnya adalah sebuah proses reorganisasi sosial dan nasional.

—-

[1] Tap MPR ini selanjutnya dicabut oleh Tap MPR XVIII/MPR/1998 dan dinyatakan sudah selesai dilaksanakan (final) menurut Tap MPR I/MPR/2003.

[2] Lihat, Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta, 1989.

[3] Penelitian John A McDougall (1982) menunjukkan bahwa jabatan di sentral birokrasi tertinggi, dari menteri hingga direktur jenderal, diduduki sebagian besar oleh militer. Empat tahun kemudian (1986) penelitiannya menunjukkan bahwa militer menempati 64% jabatan pembantu dekat presiden, 38% menteri, 67% sekretaris jenderal, 67% inspektur jenderal, 20% di departemen-departemen.

[4] Kiprah militer untuk secara legal memasuki kehidupan sosial-politik ini sebenarnya sudah diawali sejak Konsepsi Presiden 1957, dimana para Kepala Staf dan Kepala Kepolisian dimasukkan dalam Dewan Nasional. Lihat Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal.75-78. Sedangkan konsepsi Dwi Fungsi ABRI/TNI sudah diawali pada Seminar TNI-AD I, 2-9 April 1965, dimana dinyatakan bahwa TNI-AD adalah bagian dari kekuatan progresif-revolusioner yang berperan sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan menuju pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Lihat Soebijono SH, dkk, Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Perannya Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.35.

[5] Harry J Benda, The Pattern of Reforms in The Closing Years of Dutch Rule in Indonesia, Journal of Asian Studies, 25, 1966, hal.4. Lihat juga Ruth T McVey, The Beamtenstaat in Indonesia, dalam Benedict Anderson and Audrey Kahin, Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions To The Debate, Ithaca, New York, Cornell Modern Indonesian Project, 1982, hal.137-139.

[6] Antonio Gramsci, Selection from Prison Notebooks, Quintin Hoare and Geoffrei, Lawrence & Wishart, London, 1971, hal.57 & 80.

[7] Istilah ini mengikuti tahapan pembangunan dari WW Rostow. Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2000.

[8] David Ransom, The Berkeley Mafia and The Indonesian Massacre, Ramparts Journal, Oktober, 1970, hal.27-28 dan 47-49.

[9] Risalah Sidang BPUPKI 28 Mei-22 Agustus 1945, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal.34-35

[10]Pembedanya adalah pada orientasi dan peran kelompok. Lingkar Bolivarian diorientasikan untuk membangkitkan inisiatif partisipatif massa rakyat dan berperan untuk menyosialisasikan konstitusi 1999 plus mengkonsolidasikan berbagai elemen dalam masyarakat untuk kepentingan pertahanan, pembangunan, dan pengembangan proyek-proyek yang diusulkan pemerintah dan masyarakat. Lihat Nurani Suryomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal, Resist Book, Yogyakarta, Mei 2007, hal.158-162.

Bagikan