Pancasila adalah sebuah narasi agung. Ia menjadi falsafah negara, yang kepadanya setiap perilaku dan tindak-tanduk kehidupan berbangsa dan bernegara ini merujuk. Ia merupakan peraman dari berbagai prinsip, nilai, adat istiadat bangsa yang telah hidup sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Ia merupakan tiang pancang yang mengikat kemajemukan dan perbedaan dalam satu nafas, perasaan, pikiran, dan pandangan untuk bersama-sama menuju satu cita dan asa, yakni mewujudkan Indonesia yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan, bersatu padu, bermusyawarah hikmat dalam pengambilan keputusan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai sebuah teks yang menyejarah, tentu ia perlu intervensi kreatif dan inovatif manusia Indonesia untuk menafsirkan dan membumi-bunyikan prinsip-prinsip luhur dan universal yang terkandung dalam Pancasila. Kelima sila Pancasila adalah prinsip-prinsip universal yang bersifat mujmal, global, yang perlu kontekstualisasi selaras dengan tempus dan locus yang selalu berubah dan berbeda satu sama lain. Sebagai teks agung, tentu Pancasila tidak perlu untuk dirubah, tetapi nilai-nilainya yang perlu tafsir.
Pembakuan tafsir atas Pancasila menjadi sebuah ideologi tertutup akan berakibat pada “sakralisasi” yang justru menyebabkan oligarki. Selain itu, sakralisasi tersebut juga akan menyebabkan Pancasila bisu dan tuli di tengah keramaian dan hiruk pikuk modernitas dan globalisasi. Kita pernah menyaksikan “ketulian” dan “kebisuan” Pancasila pada rejim sebelum Reformasi, di mana kelima sila disalahtafsirkan untuk kepentingan penguasa. Hak tafsir adalah hak penguasa. Kewajiban untuk mengamini tafsir tunggal adalah kewajiban rakyat. Akibatnya, tindak-tanduk dan perilaku penguasa dianggap sebagai sebuah pengejewantahan hakiki dari Pancasila. Sedangkan, stigma “anti Pancasila”, “anti NKRI”, “tidak pancasilais”, dan “tidak cinta Indonesia” layak ditahbiskan kepada mereka yang berbeda dengan penguasa.
Keruntuhan Sang Penafsir Tunggal beserta perangkat-perangkat kekuasaannya empat belas tahun silam turut melahirkan skeptisisme dan refusionisme atas Pancasila. Gerakan skeptik dan refusionik ini tak percaya lagi dengan keampuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa dan negara. Mereka menilai Pancasila hanya menciptakan paradoks-paradoks : kekayaan dan kemiskinan, kenyamanan dan keprihatinan, kemudahan dan kesulitan, kesatuan dan perpecahan. Untuk itu, di mata mereka, Pancasila perlu diganti dengan falsafah dan ideologi lainnya seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, teokrasi dan khilafah. Kecenderungan-kecenderungan ideologis ini, tampaknya, adalah fenomena yang kini tengah mewarnai kehidupan pasca Reformasi gara-gara pelbagai anomali yang terjadi dewasa ini.
Anomali dan Amok
Semua orang berharap Reformasi menghadirkan sebuah tatanan yang memungkasi ketidakteraturan politik, ekonomi, dan hukum sebagai warisan dari Orde Baru. Namun, harapan itu meluruh tatkala Reformasi justru menggerogoti dan menghapus perasaan dan kenikmatan kita sebagai bangsa. Singkat kata, meminjam istilah psikoanalisisnya Jacques Lacan dalam l’Etourdit (1973)[1], kita tak lagi mengalami “persetubuhan” sebagai bangsa. Tak ada lagi perasaan seia dan sekata untuk mencapai “kenikmatan puncak” secara bersama-sama. Masing-masing dari kita terjebak pada pencarian dan pencapaian kepuasan pribadi atas nama kepentingan agama dan suku, hasrat ekonomi, dan libido politik yang paling jalang. Singkat kata, egoisme-feodalistik telah sempurna mengerangkeng setiap kita pada pencapaian tujuan kuasi-nyata.
Pancasila sebagai “meja statis” seperti kata Bung Karno tak lagi dijadikan sebagai medium kehangatan dan sambung rasa. Meja itu dianggap sudah tua dan tak berguna. Kelima pilar-pilarnya telah menjadi hunian rayap-rayap jahat, sehingga rapuh dan keropos. Meja yang menghampar luas tak lagi dianggap patut untuk membicarakan persoalan-persoalan bersama dalam kehangatan prinsip gotong royong dan kekeluargaan (family principle). Malah, meja itu dijadikan sebagai gelanggang pelembagaan budaya korupsi, kolusi, nepotisme, intoleransi, kekerasan, radikalisme, egoisme, primordialisme dan tribalisme. Terang benderang, jika keadaan ini dilanggengkan, maka prinsip-prinsip spiritualitas dan kesatuan jiwa dan perasaan sebagai bangsa—seperti yang disaratkan Ernest Renan dalam artikelnya berjudul Qu’est-ce qu’une nation?[2] akan memudar.
Pudarnya prinsip-prinsip spiritualitas, kesatuan jiwa dan perasaan dalam bingkai kejuangan “satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa” ini adalah sebuah tragedi kebangsaan yang perlu segera disikapi. Kita perlu kembali membangun sambung rasa dan empati untuk mencurahkan “rasa sakit”, “kecewa”, “keraguan” dan juga “harapan”, “keberanian”, “nyali” serta “kepercayaan”. Kita perlu membangun arah komunikasi timbal balik yang adil untuk membangun jembatan antara energi pesimisme dan optimisme dalam menatap biduk kebangsaan dan kenegaraan itu. Kita juga perlu secara jujur mengakui bahwa selama ini Pancasila masih belum dijadikan sebagai sumber referensial utama dalam mengisi pembangunan Indonesia.
Meski para elit negara fasih mengidungkan Pancasila dalam setiap nafasnya, tetapi, pikiran dan tindakan mereka tak lain dan tak bukan adalah sebuah hipokritisme dan pengkhianatan. Hal ini terefleksikan dari produk-produk perundangan dan kebijakan negara yang ternyata masih “menyelingkuhi” prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Sebut saja UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, yang di dalamnya memuat pasal dan ayat yang mendorong liberalisasi industri migas dan penyingkiran secara serius partisipasi rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan mineral. Produk liberal dan kapitalis dalam UU Migas ini secara telanjang bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Selain itu, postur APBNP 2012 juga dinilai masih menjauhkan kesejahteraan dari rakyat banyak, sebab APBNP itu dikhidmatkan bagi kepentingan elit dan penguasa. Dalam soal ini, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari mengatakan APBN 2012 adalah produk kolonial yang memang didedikasikan untuk birokrasi dan elite, bukan untuk rakyat. Walhasil, katanya, APBN yang tidak ”…untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berarti tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1).[3] Belum lagi bicara tentang kapitalisme dunia pendidikan, ketidakadilan hukum dan politik yang masih menjadi fakta di negeri ini.
Pancasila juga tampak tak berdaya untuk menjadi “guidance” bagi masyarakat dalam menghadapi perubahan radikal dalam kehidupan sosial dan budaya. Modernitas dan globalisasi persis seperti Dewa Janus yang membawa kabar kehidupan sekaligus kabar kematian, sisi kebaikan sekaligus sisi keburukan. Modernitas mendorong invensi teknologi dan peningkatan kualitas hidup, tetapi pada saat yang sama, kohesivitas sosial meluruh, moralitas semakin kabur, kelangsungan lingkungan hidup terancam oleh polusi air, udara, dan tanah. Sedangkan globalisasi membawa kebaikan dan keburukan yang bersifat lokal itu mengglobal, keluar dari batas-batas teritorial, ideologis, dan politik. Singkat kata, modernitas dan globalisasi menciptakan risiko di sana-sini, sehingga tercipta sebuah “masyarakat penuh resiko” (risikogesselschaft, a risk society).[4]
Perubahan yang diusung modernitas dan globalisasi menimbulkan kegamangan identitas sosial dan budaya akibat arus deras modernitas dan globalisasi serta juga Reformasi. Nilai-nilai lama pudar dan tidak segera digantikan oleh nilai-nilai baru yang lebih kontekstual. Kegamangan ini persis kondisi seperti yang digambarkan Mochtar Lubis, “wajah lama kita sudah tak tampak jelas di cermin, tapi wajah baru tak kunjung berbentuk jua”.[5] Karena kegamangan identitas ini, keramahtamahan, kehangatan, kegotongroyongan, dan kesantunan individual dan publik tergantikan oleh keberingasan, kebencian, kesalingtidakpercayaan, amok dan amarah. Sekarang ini, amok atas nama ideologi non Pancasila mewabah seakan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, lumrah, dan tidak perlu disikapi sebagai sebuah ancaman, gangguan, bagi NKRI yang ber-UUD 1945, ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi yang ganjil ini maka menurut Jean Paul Sartre (1948) sikap dan tindakan penuh cinta dan kasih sayang adalah sebuah keganjilan.[6]
Mengazalikan Indonesia
Berbagai persoalan dan anomali yang terjadi dewasa ini tidak lantas menggerus kesetiaan kita pada Pancasila. Tetapi, seharusnya pelbagai tantangan itu malah membuat kita semakin kreatif dan inovatif untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dan membumi-bunyikan dalam sebuah sistem dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, berkemakmuran dan berkesejahteraan. Untuk itu, pertama-tama yang perlu dibangun adalah karakter bangsa. Pembangunan karakter ini harus didasarkan pada prinsip, nilai, dan kebudayaan bangsa Indonesia yang hakikatnya telah terkandung dalam kelima sila Pancasila. Dengan kata lain, pembangunan bangsa harus bersumber pada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara.
Pembangunan karakter terkait erat dengan penanaman kebajikan-kebajikan moral. Kebajikan moral, menurut Aristoteles, tidak datang dengan sendirinya, namun manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan menggapainya secara terus menerus. Oleh karena itu, Aristoteles melihat bahwa lembaga pendidikan yang dilangsungkan oleh lembaga politik atau negara sangat penting nilainya bagi pencapaian les vertus morales, di kalangan setiap warga bangsa.[7] Oleh karena itu, negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan yang berkualitas, sehingga setiap warga bangsa dapat mencerap kebajikan moral (vertu morale) yang mendorongnya giat untuk berpartisipasi dalam proses-proses pembangunan nasional. Pembangunan karakter juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berkarakter jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi, membentuk kepribadian atau jatidiri bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berdasarkan Pancasila.
Selaras dengan pengarusutamaan karakter bangsa yang kuat, diperlukan jihad kebangsaan untuk membumi-bunyikan Teks Agung Pancasila itu dalam sebuah sistem dan kebijakan negara dan perundangan yang pro-rakyat, bukan pro-elit atau penguasa. Untuk itu, gagasan Kuntowijoyo soal “radikalisasi Pancasila” patut untuk diperhatikan. “Radikalisasi” dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini dikelola dengan benar. Radikalisasi Pancasila dimaksudkan untuk; mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara (ideologisasi), mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu (objektifikasi), mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial (sumber referensial), Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.[8]
Radikalisasi Pancasila dimaksudkan untuk menciptakan “kaki-kaki operasional” Pancasila di setiap lini kehidupan. Untuk itu, kita perlu upaya untuk mengazalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Ideologisasi Pancasila perlu dilakukan secara dialogis dan terbuka, sebab Pancasila bukanlah sebuah ideologi tertutup. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila tentu perlu bersikap luwes sekaligus tegas terhadap ideologi-ideologi lain. Ideologisasi Pancasila yang tertutup—sebagaimana yang dilakukan pada pemerintahan sebelum Reformasi, justeru kontraproduktif terhadap penciptaan kebudayaan Pancasila yang berakar dalam. Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu saja, mensyaratkan langkah objektifikasi Pancasila menjadi sebuah ilmu, budaya, dan sistem, yang dibangun di atas pondasi rasionalitas kritis. Melalui objektifikasi maka Pancasila bukan hanya sekumpulan perangkat prinsip dan nilai ideologis yang bisu dan tuli dari perubahan dan perkembangan jaman, sebaliknya ia aktif berdialog dengan tempus dan locus.
Ketika Pancasila berhasil diobjektifikasi maka Pancasila adalah sebuah sistem keilmuan dan kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai alat ukur konsistensi dan koherensi setiap perundang-undangan sehingga tetap setia, selaras, dan koheren dengan sila-sila Pancasila dan sesuai dengan realitas empiris sosial, politik, ekonomi dan keadilan masyarakat. Dalam konteks inilah, Pancasila diharapkan lebih dapat memberi arti atas keberadaan rakyat banyak, bukan berkhidmat bagi syahwat dan hasrat politik, ekonomi, dan hukum kaum elit penguasa feodalistik dan egoistik. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi, ilmu, budaya dan alat kepentingan rakyat berarti pula menjadikan Pancasila sebagai kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh negara.
Akhirul kata, upaya serius pembangunan karakter bangsa dan radikalisasi Pancasila pada dasarnya merupakan jihad kebangsaan yang bertujuan untuk mengukuhkan dan mengokohkan Pancasila sebagai penjamin keazalian Indonesia sebagai sebuah “negara paripurna”, bukan sebuah “negara antara”. Sebaliknya, jika proyek pembangunan karakter dan radikalisasi ini gagal maka ideologi-ideologi yang selama ini menjadikan Indonesia sebagai “negara antara” saja bakal menemukan momentumnya untuk memuseumkan nama Indonesia di abad 21 ini.
Tuhan Maha Tahu.
—
Daftar Pustaka
Ernest Renan, Qu’est-ce qu’une nation? Yang disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne Paris pada 11 Maret 1882.
Hajriyanto Y Thohari, “Menguji Konstitusionalitas: Mungkinkah?”, Seputar Indonesia, 13 Juli 2011
Jacques Lacan, « L’étourdit », Silicet n° 4, éditions du Seuil 1973
Jean Paul Sartre, Situation II, Paris: Gallimard, 1948.
Leo Strauss dan Joseph Cropsey, « Artistote, 384-322 », dalam Histoire de la Philosophie Politique, Paris : Press Universitaire de France, 1999
Kuntowijoyo, “Radikalisasi Pancasila”, Makalah untuk Diskusi PPSK, Yogyakarta, 18 Januari 2001
Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.
Ulrich Beck, La Societé du risque, Paris: Flammarion-Champes Essais, 2008 (diterjemahkan dari buku bahasa Jerman, Risikogesselschaft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1986.
Yudi Latief, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
[1] Jacques Lacan, « L’étourdit », Silicet n° 4, éditions du Seuil 1973
[2] Referensi mengenai gagasan tentang nasionalisme yang cukup awal bisa baca artikel Ernest Renan, Qu’est-ce qu’une nation? Yang disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne Paris pada 11 Maret 1882. Gagasan Renan tentang kesamaan perasaan dan prinsipi-prinsip spiritualitas ini menginsipirasi pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta pada masa mudanya.
[3]Hajriyanto Y Thohari, “Menguji Konstitusionalitas: Mungkinkah?”, Seputar Indonesia, 13 Juli 2011
[4]Ulrich Beck, La Societé du risque, Paris: Flammarion-Champes Essais, 2008 (diterjemahkan dari buku bahasa Jerman, Risikogesselschaft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1986.
[5] Untuk mengenal manusia Indonesia yang mengalami kegamangan identitas, baca buku Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.
[6] Jean Paul Sartre, Situation II, Paris: Gallimard, 1948.
[7] Leo Strauss dan Joseph Cropsey, « Artistote, 384-322 », dalam Histoire de la Philosophie Politique, Paris : Press Universitaire de France, 1999, hlm. 136.
[8] Kuntowijoyo, “Radikalisasi Pancasila”, Makalah untuk Diskusi PPSK, Yogyakarta, 18 Januari 2001;Yudi Latief, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 47-48