Pengantar
Bagi setiap bangsa, pastilah terdapat satu epos dimana bangsa tersebut melakukan konservasi dan “penemuan” terhadap weltanschauung (pandangan hidup) -nya. Proses penemuan tersebut adalah proyek kebangsaan dalam rangka mencari sebuah identitas bersama, sebuah identitas kebangsaan, identitas politik, maupun identitas kebudayaan. Proses penemuan tersebut umumnya dibarengi atau sebagai reaksi atas sebuah krisis yang dialami oleh suatu bangsa. China tatkala menjadi negeri terjajah mencoba melakukan pencarian weltanschaungnya yang diinisiasi oleh Dr. Sun Yat Sen dengan memperkenalkan San Min Chu I atau The Three People’s Principles yakni “Mintsu, Min Chuan, Min Sheng” atau Nationalism, Democracy, Socialism.
Setiap negara yang lahir memerlukan Weltanschauung, atau philosophische grondslaag. Meminjam istilah Ernst Renan, kelahiran suatu bangsa menyaratkan le desir d’etre ensemble (kehendak untuk bersatu) yang merupakan kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan atau disepakati oleh semua kelompok dalam suatu bangsa.
Dalam kasus Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, rakyat Venezuela melakukan upaya konservasi kebangsaan melalui “penemuan kembali” Bolivarianisme sebagai weltanschauung yang menginspirasi rakyat dan pemimpinnya untuk membangun tradisi baru dalam berdemokrasi, ber-ekonomi, maupun berpolitik setelah selama puluhan tahun rakyat Venezuela tidak menjadi pemilik sah atas kedaulatan dan kekayaan alamnya sendiri. Bahkan upaya penemuan kembali Bolivarianisme tersebut harus terlebih dahulu melalui suatu krisis politik.
Pancasila yang dianggap sebagai sebuah weltanschaung bagi bangsa Indonesia juga mengalami sebuah proses kelahiran yang menyakitkan. Ia lahir bersamaan dalam kerasnya revolusi kemerdekaan yang memaksa sebuah bangsa yang baru merdeka untuk memiliki sebuah weltanschaung. Bung Karno dalam rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengajak para tokoh yang ada di dalam sidang tersebut dengan bertanya: ”Maka demikian pula jikalau kita mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschaung kita, untuk mendirikan negara Indonesia merdeka di atasnya? Apakah nasional sosialisme? ataukah historisch-materialisme? Apakah San Min Cu I, sebagai dikatakan oleh Dr. Sun Yat Sen ? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tapi “Weltanschaung” telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The Three people’s Principles” San Min Cu I,-Mintsu, Min Chuan , Min Sheng” : Nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digunakan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschaung itu, tapi batu tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschaung” San Min Cu I itu, yang telah disediakan terlebih dahulu berpuluh-puluh tahun”[1].
Pada akhirnya, pertanyaan Soekarno dalam Sidang BPUPKI di atas sangat menggugah kita sebagai anak zaman, bahwa saat ini Indonesia sudah merdeka selama 67 tahun, namun semangat kebangsaan kita sebagai suatu kumpulan bangsa-bangsa (nations state) semakin tergerus dan terancam. Jika Soekarno pernah berpidato mengenai “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, maka generasi saat ini perlu untuk melakukan “Penemuan Kembali Pancasila Kita”.
Belajar Dari Circulos Bolivarianos
Dalam pidatonya “Penemuan kembali Revolusi Kita”, Bung Karno mempertanyakan dimana jiwa revolusi kita. “Djiwa Revolusi sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta’ada apinja. Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Dasar Revolusi itu sekarang tidak karuan mana letaknja, oleh karena masing-masing partai menaruhkan dasarnja sendiri, sehingga dasar PantjaSila pun sudah ada jang meninggalkannja. Dimana tudjuan revolusi itu sekarang? Tudjuan Revolusi, – jaitu masyarakat jang adil dan makmur-kini oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik liberal dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat”.
Pidato yang disampaikan Soekarno pada 17 Agustus 1959 tersebut masih menjumpai relevansinya saat ini ketika arah perjalanan bangsa ini semakin menjauh dari cita-cita pendirian bangsa seperti yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945. Ya, ketika Pancasila hanya sekadar dipuja-puji namun nilai-nilai dan semangatnya tidak mampu menggerakkan tenaga produktif rakyat Indonesia maka bangsa ini tidak akan pernah memahami kandungan dan nilai ideal dari Pancasila. Pancasila adalah a bundle of concept, ia tetap membutuhkan metodologi dan instrumen untuk mengimplementasikannya. Pada era Orde Lama, Soekarno menawarkan konsep bernama Manipol USDEK sebagai metodologi pelaksanaan Pancasila.
Penemuan kembali Pancasila bukan sekadar konservasi nilai-nilai di ruang hampa, ia harus melibatkan tenaga produktif masyarakat Indonesia. Sebagai best practice, kita bisa mencontoh Venezuela dengan Circulos Bolivarioanos (Lingkaran Bolivarian) yang mewarisi semangat perjuangan pembebasan dari pahlawan nasional Simon Bolivar. Circulos Bolivarian (CB) diinisiasi oleh rakyat Venezuela pada tahun 2000 sebagai sebuah kelompok komunitas yang mempelajari konstitusi dan sejarah Venezuela, serta bekerja bagi proyek-proyek sosial hingga tingkatan grass roots.
Apa yang dilakukan Circulos Bolivarioanos dalam “menemukan kembali” ide-ide dan semangat Bolivarianisme memperlihatkan bahwa upaya konservasi nilai-nilai kesejarahan adalah sebuah proyek kebangsaan yang menjadikan rakyat sebagai aktor utama, sedang negara sebagai fasilitatornya. Selama ini Lingkaran Bolivarian terus menunjukkan komitmen mereka untuk membantu perubahan arah menuju prinsip-prinsip demokrasi partisipatoris sebagaimana yang dinyatakan dalam konstitusi mereka. Praktek maju yang membedakan CB dengan ormas-ormas lainnya selain sebagai bentuk partisipasi paling elementer dalam proses demokrasi di Venezuela, adalah komitmen kuat mereka untuk mempertahankan revolusi dan konstitusi Bolivarian 1999 yang dibuat oleh rakyat dan disetujui hingga 86% suara rakyat.
Lebih dari itu, gerakan perubahan yang digalang oleh CB memiliki keteladanan setidaknya dalam 3 (tiga) hal. Pertama, adanya komitmen yang kuat, baik secara ideologis maupun politis dalam upaya mempromosikan demokrasi dan egalitarian. Kedua, adanya keinginan untuk menjadikan Negara sebagai penyeimbang pasar, dan ketiga, pelibatan seluas-luasnya partisipasi rakyat dalam setiap penentuan hal strategis.
Bentuk partisipasi kerakyatan dalam konstitusi bolivarianisme 1999 dinyatakan Pasal 62, bahwa: “partisipasi rakyat dalam membentuk, menjalankan dan mengontrol pengelolaan urusan publik merupakan jalan yang diperlukan untuk mencapai keterlibatan demi memastikan perkembangan seutuhnya baik bagi individu dan kolektif,” dengan menekankan kenyataan bahwa adalah “keharusan negara dan kewajiban masyarakat untuk memfasilitasi terciptanya kondisi yang paling menguntungkan untuk mempraktekan ini”. Lebih jauh lagi, Pasal 70 mengedepankan bentuk-bentuk lainnya yang memungkinkan rakyat untuk mengembangkan “kapasitas dan keahlian mereka”: “swakelola, berbagai jenis koperasi, perencanaan demokratis, anggaran partisipatoris di semua lapisan masyarakat.”
Bahkan dalam praktiknya, gerakan Bolivarian melibatkan partisipasi rakyat dalam pembentukan konstitusinya, termasuk menyosialisasikannya secara dinamis dan progresif. Perdebatan-perdebatan antar warga baik di kota maupun di desa adalah hal yang jamak dijumpai di Venezuela karena sering dijumpai juga setiap warga membawa buku saku konstitusi di kantongnya.
Gerakan sosial yang sedang dilakukan oleh CB bisa disimpulkan bukan sekadar gerakan gagasan, namun juga gerakan sosial baru (new social movement) melalui simbol pahlawan pembebas Simon Bolivar. Di tanah Amerika Latin, nama Simon Bolivar sangat populer. Ia adalah pembebas bukan hanya bagi negerinya namun juga bagi Kolombia, Ekuador, Peru, dan Bolivia dari cengkeraman Imperialisme Spanyol. Oleh Chavez, Perang Bolivar terhadap imperialism itu dia konversikan menjadi Gerakan Revolusi Bolivarian. Seperti halnya Simon Rodriguez dan Ezequiel Zamora, Chavez menerapkan Bolivarianisme di Venezuela. Bolivarianisme adalah sebuah aliran pemikiran yang berkembang di Amerika Latin yang meletakkan fondasi gagasannya pada interpretasi sosialis-demokratiknya Simon Bolivar. Lalu Chavez menambahkan beberapa gagasan kontemporer seperti sosialis libertarian, anarko sindikalis, maupun ide-ide populisme dari beberapa intelektual seperti Noam Chomsky.
Melalui Bolivarianisme, rakyat Venezuela sedang menemukan kembali weltanschauung mereka yang sudah lama terkubur oleh rezim otoriter selama bertahun-tahun. Semangat perjuangan kaum Bolivarian adalah perpaduan antara semangat kebangsaan endogen yang menyejarah, diramu dengan pikiran-pikiran jaman yang sedang berkembang dan atau relevan bagi suatu bangsa. Landasan spritiuil tersebut dihubungan dengan landasan materiil, yakni rakyat Venezuela yang bergerak. Maka lahirlah zaman baru.
Dari Grundgesetz Hingga Liberte, Egalite, Fraternite
Melalui cara yang berbeda, Jerman mengejawantahkan ideologi sosial demokrasi dalam konstitusinya, Grundgesetz. Grundgesetz memiliki lima prinsip yaitu negara republik, negara demokrasi, negara federal, negara hukum, dan negara sosial. Ideologi dan konstitusi Jerman dalam prinsip-prinsip ini menjamin penghormatan dan perlindungan setinggi-tingginya atas hak asasi manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk warga negara Jerman maupun warga negara asing, bahkan untuk para pencari suaka politik yang tertindas di negeri asalnya. Grundgesetz juga menjadi acuan dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan, hukum, birokrasi, dan pemerintahan otonom/swapraja yang berupa komune-komune masyarakat yang diakui keberadaannya oleh negara.
Proses sosialisasi Grundgesetz yang dijalankan semenjak kanak-kanak hingga dewasa melalui pendidikan-pendidikan kewargaan bukan saja sebuah proses sosialisasi konstitusi biasa, lebih dari itu ia merupakan sebuah proses ideologisasi yang masif dalam rangka membentuk dan membangun masyarakat yang stabil. Dengan demikian ideologi Jerman membebaskan seluruh dialektika yang berkembang di masyarakat dalam kerangka yang disediakan oleh konstitusi serta dioperasikan dan dijamin secara ketat oleh negara tanpa melupakan pengalaman-pengalaman kebangsaan di masa lalu seperti era Fasisme Nazi dan praktik demokrasi Republik Weimar. Timbal baliknya, terdapat ketundukan dan penghormatan dari masyarakat terhadap konstitusi dan negara beserta seluruh institusinya.
Pembanding lain adalah Perancis. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara telah menjadi landasan dasar bagi konsep yang berlaku di seluruh dunia: pengakuan atas hak asasi manusia dan penerapan demokrasi konstitusional, yang keduanya berjalan secara beriringan dan saling melandasi satu sama lain. Prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesamaan hak individu, serta kebersamaan nampak demikian kental dan mendarah-daging pada individu-individu dan masyarakat Perancis. Hukum dan peraturan tak lain adalah manifestasi prinsip-prinsip liberte, egalite, dan fraternite. Filosofinya, hukum adalah alat untuk menjamin kebebasan dan larangan adalah pengecualiannya, sementara sanksi dibuat bagi pelanggaran atas kebebasan. Tak berlebihan jika Thomas Jefferson menyatakan, “Setiap orang memiliki dua negara yaitu negaranya sendiri dan Perancis”.
Prancis adalah tuan rumah bagi kebebasan hak asasi manusia. Hal tersebut tercermin dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara dimana hukum seharusnya hanya melarang aksi yang merugikan masyarakat. Mendarah-dagingnya ide-ide Liberte juga terlihat bagaimana seorang Guy Canivet (Presiden pertama Court of Cassation) dalam tulisannya mengenai manajemen penjara mengungkapkan bahwa “Freedom is the rule, and its restriction is the exception; any restriction of Freedom must be provided for by Law and must follow the principles of necessity and proportionality”.
Menemukan Kembali Pancasila
Pancasila adalah gagasan, landasan atau titik berangkat dari sebuah kondisi A menuju A’. Dilihat dari proses terjadinya, Pancasila merupakan kausa materialism yaitu suatu proses dimana nilai-nilai yang dikandungnya sudah ada dan hidup sejak jaman dulu yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Demikian juga Bolivarianisme di Venezuela. Ide-ide dan semangat pembebasan yang diwariskan oleh Simon Bolivar sudah ada dan tertanam dalam ladang sejarah bangsa Venezuela.
Dari gagasan maupun pandangan inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai oleh suatu bangsa. Satu pertanyaan fundamental yang muncul dalam sidang BPUPKI layak menjadi permenungan. “Di atas dasar apakah Negara Indonesia didirikan?”. Pertanyaan serupa bisa juga kita lontarkan untuk Indonesia hari ini: “Di atas dasar apakah Indonesia hari ini dikreasikan?” Apakah atas dasar liberalisme yang membabi-buta; atas dasar demokrasi yang tanpa arah; atau atas dasar kebudayaan yang tak berkepribadian?
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 ketika untuk pertama kalinya dikemukakan kepada publik mengenai Pancasila sebaga dasar negara, bukanlah sekadar pidato politik. Lebih dari itu, pidato tersebut adalah pidato kebudayaan yang menggambarkan keluasan cakupan pandangan Soekarno atas sejarah, budaya dan bangsanya. Keluasan dan kedalaman pemahaman tersebut ditunjukkan dari kemampuannya melihat permasalahan dari cakrawala multidimensi. Ia mampu melihat hutan, bukan sekedar pohon. Maka upaya “menemukan kembali Pancasila” bukanlah sekadar proyek politik an sich, namun lebih dari itu, ia adalah bagian dari sebuah kerja besar kebudayaan yang memunculkan dan mengembalikan kembali nilai-nilai luhur kebangsaan yang tertanam dalam di ladang sejarah bangsa ini. Meminjam istilah Christianto Wibisono, Pancasila adalah ideologi kelas global, suatu sinergi yang memasukkan elemen dari Abraham Lincoln, a government of the people, by the people and for the people. Analog dengan San Min Chu I dari Bapak Tiongkok modern, Dr. Sun Yat Sen, Min Chu, Min Chuan, dan Min Sheng. Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi. Dipayungi faktor iman Ketuhanan Yang Maha Esa dan penghormatan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, Pancasila bukan sekadar Marhaenisme lokal, tapi bisa menjadi acuan global jika elite dan Bangsa Indonesia melakukan secara konsisten dan konsekuen.
Upaya untuk menggali ketinggian dan keluasan budaya bangsa telah dilakukan oleh Soekarno, Yamin, Hatta, dan yang lainnya, tugas generasi saat ini-lah untuk merumuskan apa instrumentasi dari nilai-nilai Pancasila. Bagaimana ia diimplementasikan dalam semangat zaman abad 21. Soekarno pernah menawarkan Manipol USDEK sebagai instrument pelaksanaan Pancasila. Metode implementasi yang ia tawarkan sangatlah kiri dan energetic karena zaman yang melingkupi Soekarno saat itu adalah ‘zaman ideologi’. Dia sangat terpesona dengan gagasan-gagasan mengenai Sosialisme, Marxisme, dan revolusi kala itu. Soeharto menawarkan Penataran P4 yang baku, dingin, dan sangat tekstual. Sebanyak 36 butir Pancasila yang selalu dijejalkan ketika Penataran P4 berlangsung, juga mudah dihafalkan di luar kepala sampai titik dan komanya. Namun, bagaimana implementasinya? Apakah indoktrinasi gaya Orde Baru melalui Penataran P4 berhasil membumikan Pancasila di negeri ini? Apakah anak-anak yang tumbuh pada era 70-90an yang dulu hafal 36 butir Pancasila, kini setelah dewasa dan menjadi orang tua mampu menjadikan Pancasila sebagai “roh” yang mengawal dan mengayomi mereka dalam perilaku hidup keseharian?
Negara juga yang pada akhirnya berperan untuk turut menggali dan menemukan kembali Pancasila. Namun peran yang ia mainkan bukanlah layaknya seorang “petugas indoktrinasi partai” yang menjejali dan memaksa seseorang untuk menelan mentah-mentah ‘nilai-nilai luhur Pancasila’. Peran ideal yang bisa dimainkan negara, dalam hal ini pemerintah, adalah memfasilitasi ruang-ruang perdebatan dan inquiry (pencarian) atas praktek-praktek maju dalam ber-Pancasila. Ruang-ruang inquiry tersebut bukanlah ruang-ruang kelas indoktrinasi, namun ruang massa yang dinamis, hidup, sehingga ia tidak berjarak dari masyarakat. Circulos Bolivarian bisa menjadi rujukan bagaimana ketika 7-10 orang anggota CB mendiskusikan mengenai sejarah bangsa dan juga konstitusi (berikut pelanggaran terhadapnya), maka CB-CB yang tersebar di seantero Venezuela menjadi elemen penting dalam referendum atas pasal per pasal dalam konstitusi mereka.
Ruang-ruang massa bisa kita ciptakan sebagai rahim bagi lahirnya Generasi Konstitusi atau Generasi Pancasila Abad 21: generasi yang menyerukan dan menggerakkan bangsa ini untuk kembali kepada konstitusi. Kenapa harus kembali kepada konstitusi? Aspek ‘penemuan kembali pancasila’ terletak pada pengamalan secara konsekuen konstitusi kita. Disamping karena konstitusi adalah kontrak politik atas sebuah bangsa modern, saat ini bangsa kita sedang menjauh dari konstitusi. Bagaimana bisa, sebuah konstitusi yang sedemikian sosialis wataknya namun memiliki turunan UU yang sangat neolib?! Inilah tugas generasi abad 21 untuk menemukan kembali Pancasila, Pancasila Abad 21. Ialah pengamalan Pancasila yang kontekstual sebagai jawaban atas tantangan zaman yang menjadi panduan, suluh bagi anak zaman. Setelah itu, kita akan menutup buku atas periode ‘Generasi Pancasilais Kemenyan’ yang sibuk memuji-muji Pancasila tapi tak tahu esensinya, dan mengucapkan selamat datang kepada ‘Generasi Pancasila Abad 21’.
[1] http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato-bung-karno-1-juni-1945-lahirnya-pancasila-ke-1-2/