Buah Pikir, Februari, 2020

Pancasila Abad-21: Kembali pada Alas Ekonomi Konstitusi

Oleh : Gusti, Aktivis Gemuruh

Tata Dunia Yang Timpang

Globalisasi seolah menjadi “agama baru” sejak Pembangunanisme ala Rostow dan Keynes yang menitikberatkan peran negara sebagai aktor aktif dalam perekonomian digulingkan oleh anak kandungnya sendiri, internasionalisasi modal. Ini terjadi pada era 80-an yang merupakan sebuah fase kapitalisme yang lebih maju. Dari internasionalisasi modal inilah Trans-National Corporation (TNC) dan Multi-National Corporation (MNC) bangkit, menggerus batas-batas negara-bangsa berikut peran-perannya. Inilah fase perekonomian dunia yang belakangan mendapat sebutan populer Neo Liberalisme, dengan instrumen utamanya di periode akhir ‘90-an yaitu Structural Adjustment Programme (SAP). Pokok-pokok dari SAP adalah: 1) liberalisasi industri, perdagangan, dan pasar bebas, 2) liberalisasi sektor keuangan, 3) kebijakan anggaran ketat, 4) minimalisasi peran negara/pemerintah dalam aktivitas ekonomi, 5) privatisasi sektor publik, 6) pencabutan subsidi, 7) pencabutan monopoli di segala sektor.

Neoliberalisme percaya bahwa segala masalah bisa diselesaikan melalui mekanisme pasar—doktrin ekonomi klasik tentang equilibrium price—sementara institusi negara tak lebih dari sekadar penghalang dan penyebab kegagalan bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna. Semua pelaku ekonomi pada akhirnya diasumsikan memiliki kekuatan yang setara dalam berkompetisi. Instrumen-instrumen neoliberalisme biasanya didesakkan agen-agennya—Amerika Serikat dan sekutunya serta lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional—pada negara-negara yang bersistem ekonomi dan politik yang tertutup dengan dalih demokratisasi. Proses intervensinya beragam: dari desakan ekonomi, politik, hingga militer.

Oleh neoliberalisme dunia diubah dan dipersatukan dalam satu rezim ekonomi dunia. Apa yang terjadi di satu masyarakat bangsa, bahkan keluarga sekalipun, berhubungan erat dengan proses ekonomi-politik internasional berbasis mekanisme pasar yang dikendalikan kapitalisme. Jika kolonialisme dan imperialisme adalah anak kandung kapitalisme, maka neoliberalisme adalah imperialisme dalam bentuk dan wajah baru. Di Indonesia kebijakan ini didesakkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia lewat momentum penandatanganan Letter of Intent (LOI) oleh Presiden Soeharto pada 1997 dan 1998. Inilah tonggak awal terjerumusnya Indonesia dalam perekonomian yang kian terbuka, dunia yang kian liberal, kompetisi ekonomi yang tak berimbang baik secara nasional maupun internasional. Hutang pemerintah pun menggunung, sementara negara hanya menjadi tukang urus administrasi saja. Sejak saat itu kita saksikan pasar tradisional harus bersaing dengan Carrefour, Makro, dan sebagainya; home industry sepatu dan sandal di Mojokerto bersaing dengan Clark, Timberland, Echo, atau Fortuna; pabrik roti rumahan bersaing dengan Nippon Indosari Corpindo, dan sebagainya.

Situasi ini diperparah dengan rekomendasi IMF pada Indonesia untuk mengoperasikan kebijakan Labor Market Flexibility (LMF-Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja) pada tahun 2003. Kebijakan ini berasumsi bahwa pasar tenaga kerja yang fleksibel akan mempermudah perekonomian dalam menyesuaikan diri dengan pergeseran trend ekonomi internasional. Faktanya, LMF justru menciptakan situasi ekonomi yang lebih sulit karena berdasar kebijakan tersebut lahirlah sistem kerja kontrak, sub-kontrak produksi dan manajemen industri, upah rendah, penutupan industri dan pemindahan modal yang berujung PHK, dan lain-lain. Dampaknya adalah tingkat pengangguran (baik terbuka maupun tertutup) dan daya beli yang fluktuatif serta menjamurnya sektor informal yang hidup-matinya tak terdeteksi oleh indikator-indikator perekonomian. Pada saat yang sama masyarakat dijejali dengan pola hidup konsumtif dan spekulatif melalui maraknya perusahaan penyalur kredit barang yang sanggup mengubah keinginan menjadi kebutuhan melalui iklan-iklan di media massa.

Keseluruhan hal di atas pada akhirnya memutus nyaris segala ikatan, baik sosial maupun kebangsaan, dan mengubah masyarakat melulu sebagai unit ekonomi yang hanya berinteraksi dalam konteks ekonomi. Masyarakat sebagai unit ekonomi itu sendiri dipecah menjadi unit ekonomi terkecil: individu. Inilah pokok dari Liberalisme, induk filosofis dari Kapitalisme dan Neo-Liberalisme, sesuatu yang ditentang dengan sangat keras oleh Soekarno dalam pidatonya di hadapan sidang BPUPKI 15 Juli 1945: “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat, kita telah menentukan dalam sidang yang pertama (29 Mei-1 Juni 1945) bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”[1] Dalam pidato sebelumnya, di hari yang sama, Soekarno menyatakan, “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat, kita rancangkan Undang-Undang Dasar dengan kedaulatan rakyat. Bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat, sekali lagi. Inilah menurut paham Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia akan selamat kelak di kemudian hari. Jikalau paham inipun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia yang kekal dan abadi.”[2]

Maka sesungguhnya apa yang berlangsung di Indonesia saat ini sangat bertentangan jauh dengan cita-cita konstitusi maupun Pancasila itu sendiri. Saat ini kedaulatan rakyat dan keadilan sosial ber-vis-a-vis dengan kedaulatan modal, individualisme yang mengarah pada egoisme, dan ketidakadilan sosial. Lebih jauh, dunia yang saat ini dikuasai oleh rezim ekonomi neoliberalisme itupun bertentangan keras dengan cita-cita Pancasila dan konstitusi kita. Oleh karena itu adalah aneh jika Indonesia justru tetap bersikukuh meletakkan dirinya sebagai bagian dari tata dunia yang timpang dan tak adil itu.

Kemerosotan ekonomi negara-negara Amerika Latin pada rentang 1980 hingga awal 2000-an cukup menjadi bukti kegagalan rezim ekonomi dunia tersebut. Hal yang sama saat ini juga terjadi pada beberapa negara Afrika seperti Nigeria, Tunisia, Ethiopia, Djibouti, Kenya, dan Uganda, begitu pula dengan dua negara Asia yang sangat patuh terhadap resep-resep neoliberalisme ini: Indonesia dan Philipina. Kepatuhan pada “ekonomi pasar bebas” memerosokkan negeri-negeri ini dalam dekadensi ekonomi yang terus menerus, ketimpangan pendapatan yang menyolok, ketergantungan hutang yang permanen, kemiskinan yang merajalela, dan kerusakan lingkungan yang parah. Secara berkebalikan, negara-negara yang tak mengikuti konsep neoliberal seperti Jepang, Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, dan China, justru mampu meningkatkan kesejahteraan dan posisi dirinya sebagai kekuatan ekonomi baru.

China bahkan saat ini telah tampil sebagai salah satu pemain utama perekonomian dunia dengan kebijakan ekonominya yang semi-tertutup. Mereka mengijinkan investasi asing memasuki wilayahnya dalam batas-batas dan kontrol tertentu dari pemerintah. Mereka juga memusatkan industri nasionalnya dalam zona-zona ekonomi terpadu sehingga mengefisienkan biaya produksi; mengoptimalkan industri kecil dan menengah sebagai salah satu basis terpenting perekonomian nasionalnya; mengijinkan dan bahkan melindungi industri cloning atas produk-produk Barat untuk dipasarkan di dunia dengan harga yang jauh lebih murah. Hal terakhir sempat mengundang protes dari Amerika Serikat dalam forum World Trade Organization (WTO ), namun toh China bergeming. Kemampuan China menaikkan diri sebagai salah satu pemain utama perekonomian global meningkatkan pula posisi negeri itu secara politik. Sebagai contoh, dalam ketegangan AS dan Israel belakangan ini terhadap Iran, suara China yang lebih condong pada Iran membuat AS dan Uni Eropa lebih berhati-hati menentukan sikap.

Karl Marx pernah menyatakan bahwa “kapitalisme sedang menggali liang kuburnya sendiri”. Jika kita melihat siklus perekonomian dunia semenjak Perang Dunia I hingga saat ini, hal tersebut boleh jadi bukan omong kosong. Krisis adalah hal tak terelakkan bagi kapitalisme: Depresi Besar (Malaise) ’30-an, krisis ’80-an yang melahirkan neoliberalisme, krisis Asia akhir ’90-an, dan terakhir krisis ekonomi dunia 2008 yang berpusat di Inggris, Jerman, Perancis, dan tentu saja Amerika Serikat; adalah sederetan contoh-contohnya.

Belakangan ini Amerika Serikat kembali dilanda krisis keuangan/perbankan dan kredit properti. Selain itu Amerika Serikat juga menanggung beban hutang luar negeri teramat besar akibat defisit neraca keuangan sebagai dampak kebijakan militernya di Irak dan Afghanistan serta bantuan keuangan terhadap Israel. Pada saat bersamaan Uni Eropa juga dihantam badai krisis ekonomi yang melanda negara-negara anggotanya. Terparah adalah Yunani, Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol. Akhirnya dalam situasi seperti ini campur tangan negara atau pemerintah kembali hadir, seperti ditunjukkan dengan turun tangannya pemerintah AS untuk menyuntikkan dana ratusan trilyun US$ untuk menyehatkan sektor perbankan dan sektor riil. Polemik mengenai keharusan institusi negara turun tangan dalam mengatasi krisis bahkan telah membelah Uni Eropa dalam beberapa sikap politik.

Pada sisi berseberangan, apa yang dilakukan China adalah sebuah contoh mengenai kemandirian politik dan ekonomi yang dipelopori oleh peran aktif negara dalam perekonomian. Hal yang juga tak kalah maju ditampilkan oleh forum negara ALBA (Alternativa Bolivariana para los pueblos de nuestra America – Alternatif Bolivarian Untuk Rakyat Amerika), sebuah forum negara Amerika Latin dan Karibia yang menjadi tandingan bagi Free Trade Area of The Americas (FTAA- Zona Perdagangan Bebas Amerika). Forum ini dibangun atas kesadaran bahwa secara politik maupun ekonomi negara-negara ini tak akan mampu menghadapi keganasan neoliberalisme yang dimotori AS dan sekutunya jika tak bersatu. Forum ALBA telah menyepakati kebulatan tekad untuk meninggalkan jalan neoliberalisme dan sistem perdagangan yang berbasis logika pencarian keuntungan semata, untuk digantikan dengan sistem perekonomian yang berbasis solidaritas, kesejahteraan, dan kedaulatan rakyat.[3]

Di samping dua contoh tersebut ada pula contoh mengenai poros perekonomian baru dalam tata dunia neoliberalisme yaitu negara-negara yang disebut dengan BRIC (Brazil-Rusia-India-China) dan BRICS (Brazil-Rusia-India-China-South Africa).[4] Negara-negara yang diakronimkan ini dinilai sebagai kekuatan baru dalam perekonomian dunia berkat pertumbuhan ekonomi tingginya yang mampu menyeimbangkan variabel-variabel Gross Domestic Product-nya dalam kisaran angka yang relatif tinggi dan stabil.

Kembali pada pembahasan Pancasila dan konstitusi, seharusnya Indonesia mampu dan mau memutuskan sikap untuk mengambil arah kebijakan politik dan ekonominya sendiri, demi seluruh cita-cita kemerdekaan. Adalah aneh jika mereka yang “melaksanakan” amanat Pancasila dan konstitusi kita itu justru China dan, terutama, forum ALBA. Lebih aneh lagi ketika kita justru membanggakannya seraya berkata, “Itulah sumbangan besar Pancasila dan UUD 1945 pada umat manusia dan dunia” sedang kita sendiri tidak melaksanakannya.

Dengan bermodal sekitar 247 juta penduduk dan potensi sumber daya alam yang tersebar di 13 ribu pulau beserta lautnya,[5] Indonesia seharusnya bisa menjadi salah satu pemain utama dalam perekonomian dunia. Analisis Morgan Stanley 2009 mengungkapkan bahwa pada 2030 Indonesia berpotensi menjadi negara dengan rasio usia kerja tertinggi di dunia, saat dimana negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan AS justru mengalami penyusutan.[6] Jika menimbang sejarah kiprah Indonesia di kancah politik internasional, sesungguhnya negeri ini bisa menjadi raksasa terbesar bersama China dan Amerika Serikat.

Saat ini terdapat 52 juta unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan 188 ribu koperasi di Indonesia.[7] Sektor ini menyumbang sekitar 60% Produk Domestik Bruto (PDB), menyerap 97% tenaga kerja, dan dengan begitu berperan besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada 2012 berada di angka 6,4%.[8] Sayangnya dalam UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, perhatian pemerintah terhadap sektor mikro dan UKM hanyalah sebatas “menetapkan bidang usaha yang dicadangkan”. Ia tidak memberi kelonggaran dan fasilitas yang memadai. Di dalamnya porsi perhatian terbesar pemerintah justru lebih condong pada investasi besar baik, asing maupun dalam negeri.[9]

Selain itu dinyatakan pula mengenai “perlakuan yang sama bagi penanam modal dari negara manapun” kecuali “penanam modal dari negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.”[10] Ini adalah posisi yang rentan karena mengasumsikan persamaan kapasitas pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri—yang tentu saja tidak sama. Disamping itu hak istimewa bagi penanam modal luar negeri juga bisa didapatkan melalui tekanan atau perubahan situasi politik dunia. Pada titik ini kita tentunya tidak lupa pada peristiwa ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) pada 1997 dan 1998.

Persoalan lainnya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 6,4% tersebut tidak berasal dari sektor yang menyerap lebih banyak tenaga kerja (mikro dan UKM), tapi dari sektor jasa, keuangan, dan perdagangan, yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja namun tumbuh lebih cepat daripada pertanian, pertambangan, dan manufaktur.[11] Sementara jika melihat struktur pertumbuhan ekonomi menurut penggunaan, saat ini konsumsi domestik masih menjadi penyokong utamanya, yaitu sebesar 33%.[12] Hal ini sesungguhnya tidak sehat karena konsumsi domestik tersebut sebagian besar didanai oleh kredit, sementara ia tidak dipergunakan untuk aktivitas ekonomi produktif namun untuk konsumsi atau bahkan spekulasi (bursa efek, saham, dll).[13] Bukan tak kebetulan jika hal ini beriringan dengan pertumbuhan ekonomi yang (berdasarkan lapangan usaha) sebagian besar disumbang oleh sektor perdagangan, keuangan, dan jasa.

Sudah saatnya pemerintah Indonesia kembali pada cita-cita kemerdekaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah Indonesia—siapapun dan kapanpun—meletakkan orientasi pembangunannya secara tegas pada sumber daya manusia dan alam Indonesia: sebagai tujuan, keberpihakan, sekaligus ekspresi konkret kedaulatan rakyat dan kedaulatan nasional.[14] Langkah ini tak cukup dilakukan hanya dengan produk hukum seperti Undang-Undang maupun Peraturan Presiden dan sebagainya. Ia harus dieksplisitkan dalam Undang-Undang Dasar sebagai sebuah pernyataan nasional yang afirmatif. Sekalipun UUD 1945 telah memiliki pasal 33 yang secara garis besar menyatakan hal tersebut, namun faktanya terdapat banyak produk hukum turunan yang menabrak pasal tersebut. Contohnya adalah UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas. Belum lagi PP, Inpres, Permen, dan yang lainnya. Pendeknya, harus ada pasal spesifik yang menyatakan keharusan orientasi pembangunan nasional dengan berbasis pada sektor-sektor terbesar dalam perekonomian nasional: usaha mikro, kecil, dan menengah, pertanian, perkebunan, kelautan, dan kehutanan, demi majunya kesejahteraan umum.

Apa yang dilakukan China dengan mengijinkan, bahkan melindungi, industri barang tiruan atas produk-produk luar negeri adalah contoh mengenai totalitas keberpihakan negara terhadap perekonomian dalam negeri. Indonesiapun sesungguhnya mampu melakukan hal ini mengingat banyak industrinya yang dipercaya sebagai tempat pengerjaan/produksi utama olehperusahaan-perusahaan berskala internasional. Pabrik-pabrik gitar di Ngoro Industri (Mojokerto) memproduksi gitar-gitar pesanan Gibson, Fender, Ibanez, ESP, Jackson, dan sebagainya, untuk kemudian dikirim ke pabrik induknya di luar negeri, dilabeli disana, dan diekspor kembali. Hal serupa juga terjadi pada industri garmen dan tekstil Bandung dan Sukabumi, atau industri sepatu, tas, sandal, dan dompet Cibaduyut dan Tangerang.

Disamping penegasan konstitusional terhadap industri nasional yang berbasis kerakyatan, bentuk-bentuk penanaman modal asing beserta kewajiban pajak dan sistem bagi hasilnya harus diatur, ditundukkan pada kepentingan nasional, dan dikontrol oleh negara. Ketentuan seperti pasal 12 ayat 3 dan 4 UU 25/2007 mengenai kriteria bidang usaha yang terbuka dan tertutup bagi investasi asing harus dipertegas sebagaimana halnya dicontohkan oleh UU PMA 78/1958. Jika tidak, langkah demikian akan terkesan “pilih kasih” dan otoriter. Dalih-dalih klasikseperti “tuntutan jaman”, “perkembangan situasi”, “perkembangan jaman”, “era globalisasi”, yang biasa menjadi dasar argumen para penganjur neoliberalisme, sudah usang dan tak layak lagi dipergunakan. Ini seiring rutinitas krisis dunia akibat krisis di negeri-negeri induk kapitalisme yang mencerminkan kegagalan neoliberalisme. Kegagalan neoliberalisme itu sendiri jugalah yang belakangan ini memunculkan lagi kerinduan akan peran aktif negara dalam aktivitas perekonomian. Hal ini ditunjukkan dengan bangkitnya lagi sentimen ikatan negara-bangsa pada negara-negara anggota Uni Eropa akibat krisis, sedang pada saat yang sama mereka ditandingi oleh ALBA dan bombardemen ekspansi ekonomi China.

Kita hidup di era dimana batas-batas negara-bangsa telah “melenyap”, sehingga aktivitas unit-unit masyarakat, bangsa, dan negara berhubungan erat dengan pergeseran-pergeseran yang terjadi secara internasional. Bukan tidak mungkin jika pelaksanaan amanat Pembukaan UUD 1945 “….ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” secara sadar dan aktif dalam bentuk orientasi kebijakan pembangunan yang nasionalistis dan berkeadilan sosial akan menjadi kunci bagi perubahan besar dalam tatanan masyarakat dunia saat ini.

Secara timbal balik, orientasi politik luar negeri yang berprinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi proses pembangunan nasional. Dalam beberapa kesempatan, seperti dalam tulisannya tentang Marhaenisme dan pidatonya di sidang BPUPKI, Soekarno sudah menyatakan bahwa pelaksanaan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kemanusiaan (hak asasi manusia) serta prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan sosial secara konsisten akan berujung pada nasionalisme dan internasionalisme secara tak terelakkan. Beliau juga menyatakan, “Tidak boleh kita biarkan langgeng dan abadi sesuatu hukum yang berdasarkan penguasaan si lemah oleh si kuat!!” Benar, bagaimanapun sebuah pilihan harus diambil diantara dua kutub besar: ikut penjajahan dalam segala bentuknya yang telah membangkrutkan kemanusiaan; ataukah kemerdekaan, yang berisi kedaulatan, dan keadilan sosial yang memuliakan peradaban.

—–

[1] Himpunan Risalah Sidang-Sidang BPUPKI, Reproduksi Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1978, hal.230

[2] Ibid., hal.297

[3] Beberapa kesepakatan dalam forum ALBA adalah pembentukan dan penguatan Bank ALBA sebagai tandingan bagi IMF, sikap politik anti imperialisme yang diwujudkan dalam dukungan terhadap negara-negara yang masih terjajah maupun korban eksploitasi neoliberalisme seperti Puerto Rico dan Haiti, dukungan terhadap Argentina dalam hal Kepulauan Falkland yang diklaim Inggris, dan sebagainya. Negara ALBA terdiri dari Venezuela, Bolivia, Ekuador, Nikaragua, Kuba, Antigua-Barbuda. Sumber: Berdikari Online, 3 Februari 2012.

[4] The Economist, Another BRICs In The Wall: The Perils of Overestimating Emerging Markets, April 2008. Lihat juga Global Economics Paper No.66, Building Better Global Economic BRICs, November 2001 untuk BRIC dan Global Economics Paper No.99, Dreaming With The BRICs: The Path To 2050, Oktober 2003 untuk BRICs.

[5] Data 2012 Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

[6] Morgan Stanley Research, Indonesian Economics: Adding Another “I” To The BRIC Story ?, Juli 2009

[7] Data Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, Rakyat Merdeka, 28/1/2012

[8] Berita Resmi Statistik No.13/02/ThXV, Badan Pusat Statistik, 6 Februari 2012

[9] Pasal 13 ayat 1 UU 25/2007

[10] Pasal 6 UU 25/2007

[11] Total 10,6% untuk pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan penggalian, berbanding total 22,7% untuk sektor perdagangan, hotel, restoran, keuangan, real estate, jasa perusahaan, dan jasa. Ini masih belum ditambah dengan laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,7%. Berita Resmi Statistik No.13/02/ThXV, Badan Pusat Statistik, 6 Februari 2012

[12] Tempo.co, Bisnis, 28 April 2012.

[13] A.Prasetyantoko, Makalah Membangun Ekonomi Nasional Berbasis Konstitusi: Dari Kelimpahan Sumber Daya Menuju Kesejahteraan Sosial, hal.6

[14] Bandingkan pasal-pasal dan muatan dalam UU Penanaman Modal 25/2007 dengan UU PMA 78/1958

Bagikan