Ini adalah cerita tentang sahabatku, Gatot namanya. Kami bersahabat sejak SMA di Madura, merantau kuliah ke Jawa, hingga sekarang. Tahun 2014, aku mengikuti pemilihan duta wisata. Alhamdulillah, jadi finalis 20 besar. Tentu ini capaian besar untuk bocah dusun tanpa RT/RW di perdesaan yang bisa bersaing dengan “orang kota yang bermodal” di Jawa. Apa gak minder tuh? Masih aku ingat kemeja putih kebesaran dan dasi pinjaman yang aku pakai, kebetulan cuma mampu segitu.
“Jadi 20 besar sudah capaian luar biasa. Gak semua orang bisa mendapatkan itu kan? Kamu fokus berikan yang terbaik saja. Kalah-menang, itu semua pengalaman dan pembelajaran. Kalau yang harus bayar-bayar, tidak usah. Bapak lebih bangga kalau kamu menang karena kemampuanmu.”
Menyentuh sekali wejangan bapak, saat ku telfon minta dukungan.
“Ya selain karena gak ada uang. Hahahaha.” imbuhnya.
Aku hanya berharap dapat juara duta persahabatan,setidaknya hanya perlu friendly pikirku. Orang tuaku tak bisa hadir karena jarak dan biaya perjalanan, apalagi tradisi kami yang biasanya keroyokan, sekampung borongan. Gatot menjadi satu-satunya teman yang aku beri tahu. Karena aku takut jadi bahan perundungan, jika teman lain hadir dan aku kalah. Maklum, tingkat percaya diriku masih rendah. Jadi finalis aja seperti mukjizat.
“Aduh An. Aku harus ikut survey ke kota lain. Tapi kalau masih sempat, aku usahakan hadir.”
Ucap Gatot mencoba tetap memberikan semangat padaku.
Mungkin ini memang cara Tuhan supaya aku tidak tertekan jika ada pendukung yang datang nantinya.
Saat malam grand final, aku bernomer urut pertama dan pasanganku nomer urut 2. Langkah kami disambut oleh tepuk tangan dan teriakan dukungan. Kami melenggang bagai Raja dan Ratu Jawa di bawah sorot lampu panggung.
Singkat cerita, aku diumumkan menjadi finalis 5 besar. Aku maju dengan perasaan tidak percaya. Saat itu, tidak ada suara gemuruh lagi, hanya terdengar satu atau dua dari kursi penonton. Baru sadar, tepuk tangan tadi berasal dari pendukung pasanganku yang masih SMA. Semua finalis membawa teman atau keluarganya sebagai pendukung. Sedangkan aku? Sepanjang mata memandang, aku belum melihat satupun penonton yang aku kenal. Semangatku semakin menurun.
Selanjutnya adalah sesi pertanyaan. Aku mendapatkan pertanyaan dari seorang budayawan. Setelah menjawab, riuh tepuk tangan terdengar dan membuatku besar harapan. Aku menggelengkan kepala dan mencoba fokus kembali.
“Fokus Anto, cukup jadi duta persahabatan!”
Mengingat, finalis lain mendapatkan tepuk tangan yang lebih keras setelah mereka menjawab pertanyaan. Setelah sesi pertanyaan, semua finalis kembali berdiri di atas panggung untuk pengumuman juara atribut. Dimulai dari duta seni budaya, favorit, dan juga duta persahabatan. Pengumuman yang sangat aku harapkan.
“Duta persahabatan jatuh kepada…..finalis nomer 19.”
Seketika harapanku pupus. Aku sedih karena gagal membawa pulang yang aku inginkan. Gagal mendapatkan gelar persahabatan. Finalis 5 besar akan langsung bertaruh untuk 3 juara utama. Artinya, akan ada 2 finalis yang tidak menjadi juara walau sudah lama berdiri di depan ratusan penonton itu. Aku semakin putus asa. Tapi pikiranku mencoba tetap positif, mungkin juara 3? Apa iya?
“Untuk juara 3, jatuh kepada….finalis nomer 11.”
Haruskah aku berhenti berharap? Atau aku tetap berharap jadi juara 2?
“Selamat kepada finalis nomer 05 sebagai juara 2.”
Selesai sudah. Sekarang, tersisa 3 orang yang menunggu pengumuman juara pertama dan aku diantaranya. Pulang atau jadi juara? Pasti pulang. Aku cuma ingin segera tidur dan tarik selimut saja.
Juara tahun sebelumnya memasuki panggung dengan selempang juara yang dipegang lebar di depan dada, pertanda akan adanya pemenang malam ini. Mereka berjalan mengelilingi kami dan berdiri di belakang 3 finalis berkali-kali. Mungkin ini perasaan finalis-finalis yang sering ku lihat di TV.
“Dan……”
“Juara pertama…….”
MC berucap perlahan dengan musik dramatis.bercampur suara sorak pendukung.
“Jatuh kepada……. Selamat kepada finalis nomer 1.”
“Yulianto!!!”
Seketika aku di dorong maju ke depan oleh juara sebelumnya.
Aku maju dengan badan kaku karena tidak percaya. Walau tepuk tangan terdengar, waktu seakan berhenti bagai film saja. Bunga, piala, dan selempang diberikan kepadaku. Aku masih berwajah datar tidak percaya.
“Mak….Pak….anakmu menang. Gede lagi pialanya,”
Pikirku senang dan berharap mereka duduk di bangku penonton. Tiba-tiba,
“An….an….”
Seseorang memanggilku sembari berjalan ke depan panggung melambaikan tangan.
Itu Gatot, sahabatku. Entah sejak kapan dia datang. Saat itu juga, air mataku langsung menetes. Melihat senyum lebarnya menyambut kemenanganku dengan penuh bangga.
“Tot….we made it.”
Ucapku kecil sembari sesi foto bersama pengisi acara dan pejabat undangan.
Dia masih berdiri dengan senyum yang tidak berkurang dengan 2 jempol yang dia tunjukkan. Setelah gelaran selesai, keluarga finalis yang lain naik ke atas panggung satu persatu.
“Cepat-cepat peluk keluarganya,”
celetuk satu penonton ibu-ibu kepada temannya.
Gatot segera melompat ke atas panggung dan langsung memelukku. Kami berjingkrak-jingkrak kegirangan. Betapa bahagianya saat merasakan kehadiran penuh bangga keluarga yang diwakilkan sahabatku.
“Walah….malah bukan orang tuanya yang dipeluk,”
saut teman ibu itu.
Entah berapa jam, biaya, dan tenaga yang dia keluarkan hari itu. Bagaimana lelahnya diatas sepeda motor dari kota lain setelah survey seharian? Dan disini, dia masih tersenyum bangga mendengarkan ceritaku jam 11 malam. Kami berbicara panjang lebar, sembari dia melihat piala dan atribut juaraku yang lain. Senyumnya sama persis dengan yang ditunjukkan oleh keluargaku dirumah saat aku pulang kampung dengan membawa piala setinggi paha menggunakan bus lintas pulau.
Tulisan ini adalah bentuk terimakasih terhadap Gatot Wondo Utomo, sahabatku yang luar biasa. Disaat jauh dari keluarga, aku tidak merasakan sendirian. Ada orang yang mendukung dan mengapresiasi perjuangan. Disaat lelahnya, masih menyempatkan waktu jadi bagian ceritaku. Orang yang mengajarkan semua tentang perbuatan baik, etika, dan arti sahabat. Individu yang menjadi panutan dalam bersikap. Semoga semakin banyak cerita yang kami lakukan bersama, ditambah keluarga kecil kita masing-masing.
Terimakasih banyak Tot.